13 October 2014

Movie Review: Hope (Wish) (2013)


"Why did this happen to our little girl?"

Jika ditanya arti anak dalam kehidupan mereka, banyak orang tua akan menjawab anak sebagai alasan mereka hidup dan bekerja keras, sumber dari senyuman di wajah mereka, hingga permata yang menyinari kehidupan mereka. Ya, permata, anak ibarat permata bagi para orang tua, sosok yang akan berkilau ketika mereka telah dewasa, yang juga menjadi sumber kebahagiaan terbesar orang tua karena merupakan hasil dari kerja keras mereka di fase awal ketika menjaga, merawat, dan menuntun anaknya saat mereka masih kecil. Film ini menghadirkan sebuah kehancuran di fase awal tadi, Hope/Wish (Sowon): if it was your kid, can you call it an accident?

Demi masa depan yang cerah bagi putri kesayangan mereka yang sangat menggemari Kokomong, Im So-won (Lee Re), Im Dong-hoon (Sol Kyung-gu) beserta istrinya Kim Mi-hee (Uhm Ji-won) terus fokus untuk bekerja keras pada pekerjaan mereka. Di pagi hari Kim Mi-hee sudah sibuk mengurus So-won sembari bersiap untuk membuka stationary shop yang berada di rumah mereka. Sedangkan Im Dong-hoon lebih padat lagi, ia bekerja di sebuah pabrik lokal yang membuatnya jarang menghabiskan waktu bersama So-won, hanya memberikan sebuah respon sederhana ketika ditanyai tentang tugas rumah anaknya, bahkan mengikat rambut So-won saja ia tidak bisa. 

Suatu hari kehidupan dengan pola yang sama itu seketika berubah. Pekerjaan menjadikan Mi-hee dan Dong-hoon tidak dapat mengantarkan So-won menuju ke sekolah yang jaraknya tidak begitu jauh, sehingga So-won memutuskan berangkat sendiri menggunakan payung karena sudah terlambat. Namun lingkungan yang kala itu sudah sepi, serta tidak adanya sahabat So-won bernama Han Young-seok (Kim Do-yeob) yang biasanya selalu setia menemaninya, memberikan sebuah bencana bagi So-won, berasal dari pria asing yang ingin berbagi payung dengannya, yang menghasilkan sebuah panggilan telepon dari polisi bagi Mi-hee dan Dong-hoon.


Film yang berada dibawah kendali Lee Joon-Ik ini merupakan sebuah dramatisasi dengan perpaduan yang manis. Kita punya sebuah konflik yang kejam dan kontroversial, kejahatan dan kekerasan pada anak kecil dibawah umur yang akan dengan mudahnya membuat penonton terbakar amarah, tapi disisi lain hadir sebuah penceritaan yang seolah di isi dengan beberapa bongkahan es berukuran kecil yang sesekali mampu meredam emosi penontonnya, tanpa harus mematikan kobaran api pada konflik utama. Hal tersebut yang menjadi alasan mengapa kisah yang sebenarnya jika ditilik lebih dalam tidak memberikan sesuatu yang benar-benar baru ini anehnya justru berhasil memberikan dua jam yang terasa “menyenangkan”, ada sebuah rollercoaster emosi yang lembut dan manis dibalik kesan manipulatif yang memang telah ia dorong ke posisi terdepan.

Ya, ini adalah kisah manipulatif yang menyenangkan, sebuah drama tearjerking yang terkadang akan membuat anda terdiam, terenyuh, bahkan mungkin meneteskan air mata tanpa harus memberikan pertunjukan murahan yang seolah mengemis atensi dan emosi penontonnya. Mengalir dengan lembut merupakan kunci kesuksesan tesebut, ada kesan percaya diri pada kisah yang ditulis ulang oleh Jo Joong-hoon dan Kim Ji-hye dari kisah nyata yang terjadi enam tahun silam itu, apa yang ingin ia sampaikan berhasil ia bangun dengan kokoh dan kemudian ia tempatkan di pusat cerita, citra mengerikan dari kasus utama tetap ia jaga dengan intensitas yang tepat, tapi cara ia mewarnai proses memperkuat pesan tersebut juga dipenuhi dengan hal-hal sederhana yang tidak kalah menariknya, terkadang terasa tajam, pedas, dan mereka penuh dengan pesona.


Itu menjadi sebuah kejutan bagi saya, karena ketika tahu apa yang akan ia bahas pada awalnya sempat terpikirkan bagaimana cara yang akan ia pakai untuk memperpanjang cerita yang sebenarnya bisa saja selesai dalam dua kali persidangan itu. Seperti yang ia lakukan di Sunny (2008), disini Lee Joon-Ik tidak ingin agar konflik utama menjadi fokus tunggal bagi penonton, ada kombinasi dengan berbagai isu lain yang ia rajut dengan halus disini sehingga membentuk lapisan-lapisan yang saling membantu, dari gejolak mental yang dialami orangtua, rasa shock, rasa penyesalan, hubungan anak dan orangtua, hingga masuk ke lingkup yang lebih luas dengan melibatkan respon dari lingkungan sekitar terhadap korban, semua ditelisik dengan eksekusi yang efektif, mereka dimasukkan dalam kuantitas yang kecil tapi dengan kualitas yang sangat kontras.

Itu mengapa dibalik materi standard yang miliki Wish berhasil menjadi salah satu drama yang memberikan pengalaman emosi paling menarik di tahun ini, karena ia berhasil mempermainkan penonton dengan manipulasi yang cerdas. Seperti bermain tarik dan ulur, ia terus memprovokasi emosi tapi di sisi lain perlahan membuka pandangan terkait kebaikan, drama di ruang  persidangan yang di set dalam mode menunggu itu didampingi dengan aksi mondar-mandir berisikan pemulihan (lagu background yang dipakai manis) yang tidak hanya memperdalam rasa sakit tapi juga mulai menggerus pandangan kita pada aksi balas dendam yang telah identik sebagai jalan untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Seperti judulnya, hope, pandangan kita seperti di set untuk melangkah jauh kedepan, konsep klise dengan prioritas pada kehidupan yang berisikan permainan hubungan antara kebaikan dan kejahatan.


Anggap saja Wish sebagai film yang berisikan proses membangun kembali, lepas dari masa lalu untuk sesuatu yang lebih baik di depan sana. Ini mungkin akan mengecewakan bagi mereka yang tidak klik dengan konsep kebaikan untuk kejahatan, hikmah hasil dari musibah, yang sebenarnya justru menjadi salah satu hal menarik yang dihasilkan film ini. Ada konsep kedewasaan dalam hidup disini, bagaimana kemampuan anda untuk bangkit dan terus berlari merupakan jawaban yang paling tajam untuk orang-orang yang telah menjatuhkan anda. Hal tersebut berhasil disampaikan dengan baik oleh cerita dan juga divisi akting, dari Sol Kyung-gu yang menjadi penggerak utama cerita, berhasil tampil meyakinkan terutama pada rasa sakit seorang ayah lengkap dengan penyesalan, hal yang juga dilakukan dengan lembut oleh Uhm Ji-won. Sedangkan Lee Re adalah bintang utama, karakterisasi yang kuat pada penggambaran So-won sebagai korban tak berdosa.


Overall, Hope/Wish (Sowon) adalah film yang memuaskan. Materinya klasik, konflik yang ia bawa juga standard dan mungkin saja kurang menantang, pesan yang ingin ia sampaikan juga berpotensi terasa klise, formula yang ia gunakan untuk membangun cerita juga sangat familiar, tapi ketika hal-hal tadi di rajut dengan narasi yang cermat, menggabungkan hitam dan putih kehidupan dengan manipulasi yang dewasa dan cerdas, Hope/Wish berhasil memberikan dua jam dramatisasi yang lembut, manis, dan mungkin akan sulit untuk dilupakan. The loneliest person is the kindest, the saddest person smiles the brightest, because they don't want others to feel the same pain. Segmented. 







3 comments :

  1. Suka banget sama film ini! Dan akhirnya direview juga. Yeay! Masih ditunggu Bleak Nightnya, bang rory! :D

    ReplyDelete
  2. Film ini secara semena-mena mempermainkan emosi dan perasaan, benar-benar film yang bagus dan sangat tearjerker T_T perjuangan sang ayah dan ibu, semangat sang anak serta dukungan dari teman-teman dan orang sekitar benar membuat film ini menjadi sangat memorable. Review yang sangat bagus! :))

    ReplyDelete