"I love you, dammit."
Setiap orang punya cara yang berbeda dalam
mengekspresikan rasa cinta mereka, menunjukkan perhatian dan rasa sayang pada
sosok yang mereka sayangi dan cintai, namun dibalik perbedaan tersebut ada satu
hal atau sistem yang selalu sama terkait rasa cinta, perjuangkan dan jangan
biarkan rasa itu pudar dan pergi. Masalah yang muncul ketika sistem tersebut
tidak dilaksanakan dengan baik coba digambarkan oleh film ini, Man In Love (When A Man Loves A Woman), an effective story about love and lost.
Meskipun ia dengan tanpa berat hati memberikan
sejumlah uang kepada temannya yang sedang kesulitan, Han Tae-il (Hwang Jung-min) tetaplah seseorang dengan kegelapan
yang mengelilinginya. Han Tae-il merupakan seorang penagih hutang yang cukup
ditakuti, ia selalu mampu mengintimidasi orang yang akan ia tagih dengan
cara-cara gila, yang juga menjadi alasan mengapa ia merupakan sosok favorit Doo-chul (Jung Man-sik), sahabat yang
kini menjadi boss-nya. Tapi suatu ketika hati nurani Han Tae-il berhasil
mengalahkan sikap masa bodoh pada pria yang belum pernah merasakan jatuh cinta
itu.
Seorang pegawai bank bernama Joo Ho-jung (Han Hye-jin) menjadi penyebabnya, anak perempuan dari
seorang pria yang sedang sakit parah. Ayah Ho-jung ternyata belum membayar
hutangnya, dan Han Tae-il memberikan penawaran baru dimana Ho-jung harus
menjual organ tubuh miliknya jika ia kembali tidak bisa membayar hutang ayahnya
tepat waktu, tawaran yang dengan terpaksa diterima oleh Ho-jung. Namun ketika
sedang melangkah keluar dari rumah sakit pria bertampang preman ini merasakan
sesuatu yang berbeda, rasa yang tidak ia temukan ketika sedang menagih hutang
selama ini.
Hwang Jung-min kembali menunjukkan kemampuannya dalam menarik
perhatian penonton, dan kemudian membuat mereka merasa tertarik serta penasaran
dengan apa yang akan selanjutnya dilakukan oleh karakternya. Itu penyebab dari
start sangat kuat yang dimiliki Man In
Love, nafas gangster yang menjadi
pondasi utama langsung terbentuk dengan baik, sementara itu kisah romansa yang
kelak akan semakin mendominasi itu juga diselipkan dengan cermat. Ada kesan
segar disini dibalik kisah bad guy-good
girl yang sudah sangat familiar, terlebih dengan kemampuan Han Dong-wook dalam membentuk tahapan yang perlahan semakin
mempertebal isu stockholm syndrome itu, transisi yang tidak kasar untuk
mengkombinasi kisah crime, romance, dan sedikit drama keluarga ini.
Predictable memang, dan materi-materi yang ia gunakan
juga cenderung klise dengan bertumpu pada rasa empati penonton terhadap kisah
kelam yang dimiliki dua karakter utama, tapi gambling untuk menyatukan hal-hal
klasik yang menjadi ciri khas drama korea itu tidak terasa menjengkelkan sama
sekali di paruh pertama. Ada gerak cekatan disini, cerita juga terus terasa
menarik terlebih dengan penggunaan teknik kilas balik yang efektif itu, dimana
hal-hal manis terkait cinta yang super standard itu terasa manis dan sesekali
bahkan tampak menawan, unsur gelap dari elemen gangster juga tidak padam,
sedangkan konflik terkait keluarga juga mampu ditempatkan dan diberi tugas
dengan porsi yang tepat. Satu jam pertama dapat dikatakan sebuah kemasan ringan
yang sangat mudah untuk dinikmati.
Man In Love seperti di set untuk menjadi dua bagian, di babak
pertama Han Dong-wook ingin agar
kisah yang ditulis oleh Yu Gap-yeol itu
mampu untuk membuat karakter utama tampak menarik, membuat penonton merasa
peduli dengan karakter utama, dari cinta yang canggung dan perlahan mulai
terasa lembut, hingga konsep “be yourself”
ketika mencintai seseorang, yang imo sudah terasa kuno sekarang ini.
Berputar-putar, menghabiskan banyak waktu untuk mondar-mandir bersama karakter
dengan kontrak berupa lukisan itu, kesempatan yang mampu dimanfaatkan dengan
baik oleh Hwang Jung-min dan Han Hye-jin untuk bersinar, momen tanpa
kata dan mengandalkan ekspresi wajah yang mereka miliki perlahan mulai
memberikan hook yang kuat, mereka ingin agar penonton mencintai kisah cinta
mereka, dan jujur saja itu sangat berhasil.
Tapi bukankah kisah berisikan proses yang tenang
seperti itu terasa membosankan? Ya, itu mengapa hadir sebuah kejutan di paruh
kedua, yang sayangnya ketika ia telah selesai memberikan kita perjuangan cinta
dan mulai masuk kedalam isu “don't let it
go”, rasa tertarik saya justru perlahan juga mencoba untuk pergi. Tidak
hancur memang, dan ini mungkin akan terasa terlalu subjektif dimana kehadiran
bagian melodrama itu terasa mengganggu, dan semua yang ia inginkan agar dapat
penonton rasakan selalu hadir dengan kuantitas dan kualitas yang kurang tajam.
Cukup menyentuh, cukup memilukan, cukup emosional, babak ini seperti
perpanjangan menuju konklusi yang terbentuk kurang padat, kurang cekatan,
terlalu banyak hal klise yang jika di cut mungkin tidak akan memberikan dampak
yang terlalu buruk.
Man In Love tidak berhasil menjadi sebuah dramatisasi sederhana
yang memukau karena sepeti ada yang hilang ketika berubah arah. Meskipun terasa
offbeat, ketika Han Tae-il dan Joo Ho-jung bersama didalam satu frame
semua terasa menarik, ada sensasi yang menggelitik dari tingkah laku mereka,
hal-hal klise tentang cinta itu mampu menghasilkan senyuman, dan ketika mereka
mulai diputar untuk kembali menuju setting awal dari karakter mereka, rasa itu
tidak sama. Ya, tentu saja ada maksud untuk memperkuat penggambaran dari
kekuatan cinta yang dimiliki dua karakter tersebut, dan itu tampil dalam
kualitas yang tidak begitu buruk, namun dengan babak pertama yang telah mampu
menaikkan ekspektasi awal seperti ada yang kurang dengan apa yang film ini
hasilkan di akhir cerita, tangisan dibagian akhir yang seharusnya mampu membuat
penonton terenyuh itu tidak memberikan ledakan yang benar-benar kuat.
Overall, Man In
Love/When A Man Loves A Woman (Namjaga Saranghal Ddae) adalah film yang
cukup memuaskan. Sebuah film bertemakan cinta yang sangat standard, namun
dengan penampilan kuat dan memikat dari dua pemeran utamanya berhasil
memberikan petualangan lucu dan manis di babak pertama, yang sayangnya kurang
berhasil disambung dengan lembut ketika ia mulai mencoba memutar arah di babak
kedua, yang kurang berhasil menjalankan tugasnya sebagai melodrama yang
menyentuh sembari memperkuat makna dari cinta itu sendiri. Klise, standar, but still okay.
bagi saya film ini gagal menjadi tearjerker....cerita mengharukan yang terlalu beretele-tele seakan ingin memperlihatkan betapa sedihnya kehidupan sang tokoh utama malah membuat ceritanya menjadi sedikit mubazir dan membosankan. Nice review :))
ReplyDelete