13 October 2014

Movie Review: Man In Love (When A Man Loves A Woman) (2014)


"I love you, dammit."

Setiap orang punya cara yang berbeda dalam mengekspresikan rasa cinta mereka, menunjukkan perhatian dan rasa sayang pada sosok yang mereka sayangi dan cintai, namun dibalik perbedaan tersebut ada satu hal atau sistem yang selalu sama terkait rasa cinta, perjuangkan dan jangan biarkan rasa itu pudar dan pergi. Masalah yang muncul ketika sistem tersebut tidak dilaksanakan dengan baik coba digambarkan oleh film ini, Man In Love (When A Man Loves A Woman),  an effective story about love and lost.

Meskipun ia dengan tanpa berat hati memberikan sejumlah uang kepada temannya yang sedang kesulitan, Han Tae-il (Hwang Jung-min) tetaplah seseorang dengan kegelapan yang mengelilinginya. Han Tae-il merupakan seorang penagih hutang yang cukup ditakuti, ia selalu mampu mengintimidasi orang yang akan ia tagih dengan cara-cara gila, yang juga menjadi alasan mengapa ia merupakan sosok favorit Doo-chul (Jung Man-sik), sahabat yang kini menjadi boss-nya. Tapi suatu ketika hati nurani Han Tae-il berhasil mengalahkan sikap masa bodoh pada pria yang belum pernah merasakan jatuh cinta itu. 

Seorang pegawai bank bernama Joo Ho-jung (Han Hye-jin) menjadi penyebabnya, anak perempuan dari seorang pria yang sedang sakit parah. Ayah Ho-jung ternyata belum membayar hutangnya, dan Han Tae-il memberikan penawaran baru dimana Ho-jung harus menjual organ tubuh miliknya jika ia kembali tidak bisa membayar hutang ayahnya tepat waktu, tawaran yang dengan terpaksa diterima oleh Ho-jung. Namun ketika sedang melangkah keluar dari rumah sakit pria bertampang preman ini merasakan sesuatu yang berbeda, rasa yang tidak ia temukan ketika sedang menagih hutang selama ini.


Hwang Jung-min kembali menunjukkan kemampuannya dalam menarik perhatian penonton, dan kemudian membuat mereka merasa tertarik serta penasaran dengan apa yang akan selanjutnya dilakukan oleh karakternya. Itu penyebab dari start sangat kuat yang dimiliki Man In Love, nafas gangster yang menjadi pondasi utama langsung terbentuk dengan baik, sementara itu kisah romansa yang kelak akan semakin mendominasi itu juga diselipkan dengan cermat. Ada kesan segar disini dibalik kisah bad guy-good girl yang sudah sangat familiar, terlebih dengan kemampuan Han Dong-wook  dalam membentuk tahapan yang perlahan semakin mempertebal isu stockholm syndrome itu, transisi yang tidak kasar untuk mengkombinasi kisah crime, romance, dan sedikit drama keluarga ini.

Predictable memang, dan materi-materi yang ia gunakan juga cenderung klise dengan bertumpu pada rasa empati penonton terhadap kisah kelam yang dimiliki dua karakter utama, tapi gambling untuk menyatukan hal-hal klasik yang menjadi ciri khas drama korea itu tidak terasa menjengkelkan sama sekali di paruh pertama. Ada gerak cekatan disini, cerita juga terus terasa menarik terlebih dengan penggunaan teknik kilas balik yang efektif itu, dimana hal-hal manis terkait cinta yang super standard itu terasa manis dan sesekali bahkan tampak menawan, unsur gelap dari elemen gangster juga tidak padam, sedangkan konflik terkait keluarga juga mampu ditempatkan dan diberi tugas dengan porsi yang tepat. Satu jam pertama dapat dikatakan sebuah kemasan ringan yang sangat mudah untuk dinikmati.


Man In Love seperti di set untuk menjadi dua bagian, di babak pertama Han Dong-wook ingin agar kisah yang ditulis oleh Yu Gap-yeol itu mampu untuk membuat karakter utama tampak menarik, membuat penonton merasa peduli dengan karakter utama, dari cinta yang canggung dan perlahan mulai terasa lembut, hingga konsep “be yourself” ketika mencintai seseorang, yang imo sudah terasa kuno sekarang ini. Berputar-putar, menghabiskan banyak waktu untuk mondar-mandir bersama karakter dengan kontrak berupa lukisan itu, kesempatan yang mampu dimanfaatkan dengan baik oleh Hwang Jung-min dan Han Hye-jin untuk bersinar, momen tanpa kata dan mengandalkan ekspresi wajah yang mereka miliki perlahan mulai memberikan hook yang kuat, mereka ingin agar penonton mencintai kisah cinta mereka, dan jujur saja itu sangat berhasil.

Tapi bukankah kisah berisikan proses yang tenang seperti itu terasa membosankan? Ya, itu mengapa hadir sebuah kejutan di paruh kedua, yang sayangnya ketika ia telah selesai memberikan kita perjuangan cinta dan mulai masuk kedalam isu “don't let it go”, rasa tertarik saya justru perlahan juga mencoba untuk pergi. Tidak hancur memang, dan ini mungkin akan terasa terlalu subjektif dimana kehadiran bagian melodrama itu terasa mengganggu, dan semua yang ia inginkan agar dapat penonton rasakan selalu hadir dengan kuantitas dan kualitas yang kurang tajam. Cukup menyentuh, cukup memilukan, cukup emosional, babak ini seperti perpanjangan menuju konklusi yang terbentuk kurang padat, kurang cekatan, terlalu banyak hal klise yang jika di cut mungkin tidak akan memberikan dampak yang terlalu buruk.


Man In Love tidak berhasil menjadi sebuah dramatisasi sederhana yang memukau karena sepeti ada yang hilang ketika berubah arah. Meskipun terasa offbeat, ketika Han Tae-il dan Joo Ho-jung bersama didalam satu frame semua terasa menarik, ada sensasi yang menggelitik dari tingkah laku mereka, hal-hal klise tentang cinta itu mampu menghasilkan senyuman, dan ketika mereka mulai diputar untuk kembali menuju setting awal dari karakter mereka, rasa itu tidak sama. Ya, tentu saja ada maksud untuk memperkuat penggambaran dari kekuatan cinta yang dimiliki dua karakter tersebut, dan itu tampil dalam kualitas yang tidak begitu buruk, namun dengan babak pertama yang telah mampu menaikkan ekspektasi awal seperti ada yang kurang dengan apa yang film ini hasilkan di akhir cerita, tangisan dibagian akhir yang seharusnya mampu membuat penonton terenyuh itu tidak memberikan ledakan yang benar-benar kuat.


Overall, Man In Love/When A Man Loves A Woman (Namjaga Saranghal Ddae) adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah film bertemakan cinta yang sangat standard, namun dengan penampilan kuat dan memikat dari dua pemeran utamanya berhasil memberikan petualangan lucu dan manis di babak pertama, yang sayangnya kurang berhasil disambung dengan lembut ketika ia mulai mencoba memutar arah di babak kedua, yang kurang berhasil menjalankan tugasnya sebagai melodrama yang menyentuh sembari memperkuat makna dari cinta itu sendiri. Klise, standar, but still okay.






1 comment :

  1. bagi saya film ini gagal menjadi tearjerker....cerita mengharukan yang terlalu beretele-tele seakan ingin memperlihatkan betapa sedihnya kehidupan sang tokoh utama malah membuat ceritanya menjadi sedikit mubazir dan membosankan. Nice review :))

    ReplyDelete