17 October 2014

Movie Review: 3 Nafas Likas (2014)


“Aku mencintaimu, dulu, kini, dan nanti.”

Apa sebenarnya arti bahagia? Apakah kebahagiaan itu punya limit atau batas? Apakah ketika kita telah mendapatkan apa yang kita inginkan kita harus berhenti mencari rasa bahagia? Pertanyaan-pertanyaan tadi sangat sederhana, dan film ini coba menggambarkannya dalam bentuk sebuah biopic tanpa harus kehilangan kemampuan pesan yang ia bawa untuk tampil universal. 3 Nafas Likas, inspirasi sederhana dari Sumatera Utara.

Ia bukan gadis kecil biasa, ia bisa bersikap layaknya para perempuan muda ketika diminta tolong oleh orangtuanya, tapi ia juga merupakan wanita muda yang tangguh. Namanya Likas beru Tarigan (Tissa Biani Azzahra), ia dapat mengalahkan anak laki-laki ketika bermain gundu hingga ketika sedang ujian, mimpi yang ia miliki tidak sederhana seperti para perempuan muda di tahun 1930-an kala itu. Likas ingin menjadi guru, ia tidak takut dan siap menghadapi segala rintangan didepannya, tidak pernah berhenti untuk mencari kebahagiaan, proses yang menghasilkan kehidupan penuh ketenangan yang kini ia (Tuti Kirana) rasakan ketika sedang diwawancarai oleh wanita bernama Hilda (Marissa Anita).

Perjalanan hidup Likas (Atiqah Hasiholan) memang menarik, dari cita-cita tinggi hingga upaya memperjuangan kesetaraan gender, ada pesona dari tindakan yang ia lakukan, hal yang membuat seorang tentara bernama Djamin Ginting (Vino Bastian) jatuh hati padanya, yang kemudian menjadi suaminya dan melengkapi tiga sosok penting dalam kehidupan Likas. Likas selalu memegang teguh janjinya pada tiga orang tersebut dalam setiap tarikan nafasnya, sesuatu yang memberikan semangat dalam setiap perjuangannya serta kerinduannya pada cinta.


3 Nafas Likas merupakan salah satu film di tahun ini yang berhasil membuat saya menaikkan ekspektasi awal. Film yang bercerita tentang perjalanan hidup istri pejuang kemerdekaan dari Sumatera Utara bernama Djamin Ginting ini terasa sangat menarik di bagian awal, semua seperti tertata dalam komposisi yang pas ketika Likas masih kecil, dengan irama yang manis tidak ada yang terasa terbuang percuma di bagian ini. Sedikit mengejutkan memang karena disamping mencoba membentuk pondasi awal cerita bagian awal dari naskah yang ditulis oleh Titien Wattimena ini punya banyak komentar sosial skala kecil yang bukan hanya sukses menggelitik, tapi juga terasa tajam, dari isu merantau hingga kasih sayang keluarga, ada pula permasalahan gender yang pada jaman itu masih sangat kuat, hingga masuk kedalam konflik utama terkait mimpi dengan menggunakan pendidikan sebagai jalannya. Mereka terasa menarik.

Apresiasi layak diberikan pada Rako Prijanto karena mampu menciptakan start yang kuat, terutama pada bagaimana ia membentuk greget pada cerita yang terbangun secara perlahan itu, secara bertahap, dan itu berhasil membuat penonton bukan hanya merasa tertarik pada sosok Likas tapi juga mulai ikut menaruh simpati padanya, seolah ingin mendukungnya, merasa sedih ketika mimpinya terhalangi, dan merasa penasaran pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Keberhasilan bagian ini untuk tampil manis juga tidak lepas dari kemampuan para aktor, dari Arswendi Nasution, Jajang C. Noer, dan tentu saja Tissa Biani Azzahra, tik-tok dialog dan masalah yang mereka tampilkan mengalir dengan lembut, dan disertai dengan sisi teknis terutama pada permainan gambar yang mumpuni, 3 Nafas Likas adalah salah satu film yang punya paruh awal paling menarik di tahun ini.


Celakanya berbagai hal positif tadi tidak semuanya terangkut ke babak selanjutnya, ke babak utama. Ketika semua telah terbangun dengan sangat baik, film ini justru mulai menderita tekanan dan beban dari misi yang ia bawa. Misi atau pesan yang ia bawa sangat banyak, dari keluarga dan mimpi di bagian awal tadi dan mulai melebar kedalam berbagai hal yang bukan hanya sebatas tentang cinta antara Likas dan Djamin. Dari tentang kehidupan, kemudian coba mengembangkan isu gender, semangat nasionalisme, hingga sokongan istri kepada suami, mereka hadir dalam kapasitas yang kecil, dan meskipun punya kualitas yang tidak semuanya begitu buruk tapi sesekali mengganggu irama cerita. mayoritas dari mereka dengan status datang dan pergi, sedikit yang tinggal dan membantu konflik utama untuk tumbuh.

Film ini terlalu banyak mencoba memasukkan berbagai inspirasi kecil tentang cinta dan kehidupan kedalam cerita, sehingga dampaknya aliran cerita jadi kurang lembut setelah Likas dewasa. Perputaran cerita memang masih oke, budaya Karo yang ia gambarkan juga tampil baik, tapi terkesan ada lompatan-lompatan yang dipaksakan kehadirannya, dan akhirnya fokus cerita pada hubungan antara Likas dan Djamin juga ikut memudar, potensi di bagian awal tidak pernah melangkah dan berkembang lebih jauh, bahkan daya tarik pada kehidupan Likas sendiri juga ikut terdegradasi. Andai saja berbagai filosofi itu dapat di kurangi kuantitasnya, atau pesan yang ingin disampaikan dapat di persempit, mungkin alur akan lebih kuat, irama ceritanya lebih halus, meskipun tidak dapat dipungkiri mereka memang punya kualitas yang tidak buruk.

Atau mungkin durasinya sendiri di perpanjang, sehingga ada ruang yang lebih besar bagi berbagai isu kecil itu untuk tergali lebih dalam, di eksplorasi lebih jauh dan lebih kuat. Dampaknya pasti positif, karena akan semakin memperkuat pesona dari perjuangan from zero to hero yang dilakukan Likas dan Djamin, karena itu yang terasa kurang dari film ini, pesona yang kuat diawal mulai tidak stabil ketika karakter telah dewasa, hit and miss, datang dan pergi. Hal tersebut kurang mampu dialihkan oleh penampilan dari divisi akting yang terasa mumpuni. Dengan Batak didalam darahnya Atiqah Hasiholan memberikan penampilan yang halus, meskipun aksen Karo yang ia tampilkan sendiri kurang tajam. Sementara Vino Bastian sebaliknya, aksen Karo yang ia berikan terasa tajam, penggunaan beberapa kata panggilan juga tampil dengan lafal yang baik, tapi kurang halus, sering terasa dipaksakan.


Overall, 3 Nafas Likas adalah film yang cukup memuaskan. 3 Nafas Likas ini seperti mencoba memasukkan 20 potong biskuit kedalam toples yang hanya dapat menampung maksimal lima belas biskuit. Pada akhirnya memang semuanya muat, tapi beberapa harus rusak bentuknya, dan jika dilihat dari luar akan ada sisi toples tersebut yang terlihat menarik, tapi juga ada yang tidak. Misi utamanya terkait perjuangan hidup itu memang tersampaikan dengan baik, petualangan panjang itu juga tidak pernah berhenti tampil menarik, tapi ketika ia telah berakhir power dari kekuatan cinta yang ia hasilkan tidak mampu meraih potensi miliknya di bagian awal tadi. 




0 komentar :

Post a Comment