07 May 2014

Movie Review: The Lunchbox (2013)


"Sometimes the wrong train will get you to the right station."

Cinta tidak hanya dapat menjadi rumit, cinta juga dapat pula menjadi sesuatu yang sederhana, bersemi ataupun hancur karena sesuatu yang sederhana, ia dapat datang dan pergi juga dari hal yang sederhana. Hal tersebut yang menjadi pondasi film asal India ini, menceritakan gejolak cinta bersama kehidupan dengan cara yang unik menggunakan sebuah delivery system makanan bernama Dabbawala. The Lunchbox, a tender and funny love story.

Setelah membantu anak perempuannya bersiap untuk pergi sekolah, Ila (Nimrat Kaur) langsung bergegas menuju dapur untuk mempersiapkan makan siang bagi suaminya, Rajiv (Nakul Vaid), sebelum seorang pria tua datang dengan sepedanya untuk menjemput makanan tersebut, dan mengantarkannya. Pada hari itu Ila mencoba resep baru atas saran seorang wanita tua (Bharati Achrekar) yang tinggal di lantai atas, upaya untuk mendapatkan perhatian dari suaminya dengan berharap mendapatkan respon yang lebih hangat kelak ketika Rajiv telah pulang bekerja, hal yang selama ini sudah jarang Ila dapatkan.

Pernikahan Ila memang sedang goyah, Ila terus dirundung kondisi bingung pada rasa cinta yang ada diantara ia dan suaminya, dan itu semakin bergejolak ketika suatu saat ia mengetahui bahwa masakan yang selama ini ia buat dengan penuh semangat itu dikirim ke orang yang salah. Pria itu adalah Saajan Fernandez (Irrfan Khan), seorang duda yang bekerja sebagai akuntan, sosok yang sempat menjadikan Ila tersenyum ketika melihat lunchbox miliknya kembali dalam keadaan kosong. Pertarungan antara rasa ragu dan perhatian yang ia peroleh menciptakan percakapan penuh suka dan duka yang intim antara Ila dan Fernandez, lewat surat didalam lunchbox.


Hal menarik yang paling utama adalah sikap berani dari penulis sekaligus sutradara, Ritesh Batra, untuk merubah haluan dari proyek yang pada awalnya akan dibentuk sebagai sebuah dokumenter ini. Berawal dari daya tarik terhadap jasa pengiriman makanan berbiaya murah bernama Dabbawalla yang kinerjanya telah mendapatkan pengakuan dari berbagai lembaga dan media dunia, salah satunya Harvard, kemudian muncul berbagai kisah personal yang menarik dan pada akhirnya melahirkan ide bagi Ritesh Batra untuk membentuknya kedalam sebuah naskah. Tapi perspektif Ritesh Batra sepertinya masih dipengaruhi oleh misi utamanya tadi, yang menyebabkan kesan sederhana terus berada di garis terdepan, hal positif terbesar dari The Lunchbox.

Ya, sederhana, ini mengajak penontonnya untuk masuk kedalam sebuah dramatisasi berisikan penggambaran terkait berbagai isu hanya berawal dari sebuah pepatah yang sudah sangat terkenal, "memuaskan pria dengan memuaskan perutnya." Ada budaya yang mungkin menjadi fokus utama ketika ini masih berada di jalur menjadi sebuah dokumenter, dari aksi eksplorasi terhadap budaya di Mumbai India, tanpa malu-malu dilengkapi dengan lingkungan penuh sesak dari kereta hingga angkutan penjemput anak sekolah, hal yang terus menemani fokus utama cerita pada sebuah polemik kehidupan yang dibentuk dalam sebuah dilema percintaan. Tidak ada yang baru pada romansa yang ia punya, standard, predictable, tapi ada nyawa yang hangat dan lembut didalamnya.

Mengejutkan memang, karena dibalik aksi mondar-mandir itu ada sebuah kegiatan merenung tentang opsi dan pilihan dari dua karakter utama yang bahkan hingga akhir selalu membangun dan menyampaikan masalah yang mereka punya hanya dengan interaksi menggunakan surat. Ya, aneh, sudah ada email, tapi disini terlihat bagaimana aksi sengaja yang dilakukan oleh Ritesh Batra untuk mengunci percakapan hanya melalui aksi surat menyurat bekerja dengan sangat efektif, ia berhasil mempertahankan fokus dan menciptakan banyak ruang cerita lainnya untuk bermain-main bersama polemik klasik tentang cinta, membahas isu-isu dewasa yang mampu berputar-putar dengan rapi pada hal-hal kecil tanpa melepas begitu saja daya tarik pada fokus utama.


Ada alur cerita yang memang tidak menciptakan pergerakan besar namun tetap mampu menciptakan rasa dinamis. Komunikasi yang tercipta terasa tulus, ada harapan dan ketakutan yang diekspresikan dengan baik dalam dialog yang terasa natural disini, bagaimana dua sosok kesepian saling bercerita tanpa rasa ragu tentang kehidupan mereka karena bukan hanya telah merasa nyaman satu sama lain, namun disisi lain ada respon positif yang mendukung dan juga sikap saling percaya, hal paling penting dalam sebuah percintaan. Ini yang menjadikan The Lunchbox menarik, ia hanya memutar berbagai materi klasik dalam penggambaran efektif tanpa mecoba tampil megah, terkesan bermain aman dan merasa puas hanya dengan menampilkan hal-hal kecil yang hangat tanpa mencoba berjalan terlalu jauh.

Tentu tercipta positif dan negatif dan keputusan tersebut, terlebih dengan potensi besar yang ia miliki, namun ketika kita telah terjebak dalam tahapan yang sengaja dibiarkan sedikit demi sedikit terbakar menjadi sebuah ledakan kecil itu akan sulit untuk lepas dari hipnotis yang The Lunchbox berikan lewat pesona yang ia punya. Hadir sebuah kegelisahan yang bertumpu pada rasa ragu dari premis yang sangat tipis itu, dengan editing yang manis Ritesh Batra mampu meninggalkan kedalaman yang menarik pada hal-hal kecil terkait manusia dan cinta, mengadu perasaan dan logika dalam bentuk realistis yang mudah diakses tanpa menjadikan ia terlalu berat dan kaku dengan ditemani humor yang menyenangkan dari suara bibi dan juga pria baru bernama Shaikh (Nawazuddin Siddiqui). Komposisi yang pas.

Dialog-dialog manis yang mewarnai cerita juga dapat terus mencuri atensi berkat kinerja para aktor. Chemistry yang manis berhasil terbangun diantara Irrfan Khan dan Nimrat Kaur, dan itu dapat dikatakan impresif karena mereka mampu mengundang simpati mayoritas dengan mengandalkan ekspresi wajah dalam diam ketika membaca. Hal-hal kecil itu berhasil mereka jadikan menarik dengan koneksi halus yang mampu menciptakan dilema yang tetap hangat tanpa memakan kesempatan bagi point yang ingin mereka sampaikan untuk masuk kedalam pikiran penontonnya. Keputusan untuk menjaga "si bibi" tidak hadir di layar juga menjadi sebuah keputusan yang tepat, sama tepatnya dengan penggunaan Nawazuddin Siddiqui yang sering merubah suasana tenang menjadi sedikit cerah.


Overall, The Lunchbox adalah film yang memuaskan. Dalam sebuah kalimat sederhana, ini adalah hypnotize movie, hal yang terakhir kali saya alami pada Silver LiningsPlaybook. Ada kesan dangkal dan membuang potensi yang ia punya, namun keputusan untuk tampil sederhana sejak awal menjadikan Ritesh Batra leluasa untuk mempermainkan materi-materi standard dan klasik tentang kehidupan dan cinta kedalam sebuah studi karakter menggunakan dilema yang terus menebar pesona. Ya, pesona itu yang menjadikan nilai minus skala kecil menjadi tidak berarti berkat sebuah penceritaan yang terus menerus mencuri atensi dalam kehangatan, dan berhasil membuat penontonnya tersenyum kecil ketika credit muncul sembari bergumam, "kebahagiaan dapat hadir dari hal-hal kecil dan random." Segmented. 








0 komentar :

Post a Comment