09 May 2014

Movie Review: Like Father, Like Son (2013)


"At what point does a father truly become a father?"

Banyak orang tua yang pasti punya penafsiran berbeda terkait pertarungan antara uang dan kasih sayang, melihat anaknya terus tumbuh dari melintasi empat, lima, dan enam tahun menciptakan semangat yang membara untuk bekerja lebih giat demi masa depan mereka, tapi celakanya justru perlahan menjauhkan mereka dari “another real job” mereka sebagai orang tua, memberikan perhatian seperti bermain bersama dengan kegiatan sederhana. Ladies and gentlemen, Mansion dan Ferrari belum menjadi keinginan dari anak berusia enam tahun, mereka dapat merasa bahagia hanya dengan mandi bersama orangtua mereka di dalam sebuah bak mandi ukuran kecil yang sempit. Money can get you closer into happiness, but they still can’t buy that thing directly. Like Father, Like Son (Soshite Chichi ni Naru), captivating, affecting, charming.    

Dalam sebuah wawancara dalam rangka tes masuk sekolah dasar, Ryota Nonomiya (Masaharu Fukuyama) diajukan sebuah pertanyaan oleh dua sosok yang duduk dihadapannya, diantara ia dan istrinya, Midori Nonomiya (Machiko Ono), siapa menurut Ryota yang paling mirip dengan karakteristik yang dimiliki anak laki-laki mereka yang berumur enam tahun, Keita Nonomiya (Keita Ninomiya). Ryota menjawab Keita mirip dengan istrinya, karena ia merasa Keita tidak memiliki sikap agresif dengan semangat berkobar yang ia miliki, alasan dari kesuksesannya sebagai arsitek yang kemudian membatasi interaksi sosial antara ayah dan anak seperti waktu bermain yang ia punya dengan Keita, meskipun disisi lain Ryota terus berupaya untuk mendidik Keita menjadi disiplin dengan kegiatan tambahan seperti les piano.

Rasa ragu memang telah lama menghantui Ryota, terlebih dengan penilaian orang-orang disekitarnya yang merasa Keita tidak punya kemiripan dengan dia dan istrinya. Hal tersebut sering kali membatasi rasa bahagia Ryota, hingga suatu ketika masalah yang lebih besar hadir. Ryota dan Midori diminta hadir oleh rumah sakit tempat Keita dilahirkan, dan disana mereka menemukan fakta bahwa Keita bukan anak kandung mereka. Keita tertukar dengan bayi lain yang lahir dihari yang sama, Ryusei Saiki (Shogen Hwang), yang tumbuh besar dibawah didikan Yudai Saiki (Lily Franky) dan Yukari Saiki (Yoko Maki). Dua keluarga itu diberikan pertanyaan sederhana, sebelum tahun ajaran baru dimulai apakah mereka mau untuk menukar "anak orang lain" yang sudah sangat mereka cintai tersebut?


Bagi saya terkadang sebuah film yang dapat masuk kedalam kategori “memuaskan” itu hanya perlu sebuah syarat yang sangat sederhana, ia dapat menyentuh dan kemudian bermain-main dengan emosi penontonnya. Ya, simple, sesederhana itu, alasan mengapa sangat mudah karya-karya dari sosok asal Jepang bernama Hirokazu Koreeda untuk klik dengan saya, dari Nobody Knows, Still Walking, I Wish, hingga yang paling konyol dengan mempertanyakan eksistensi pada Air Doll. Sedikit kurang yakin apakah kata “Master” layak diberikan padanya, namun jika berbicara tentang mengubah cerita dengan konflik super sederhana menjadi sebuah drama yang natural, hangat, dan kuat, sosok satu ini adalah jagoannya. Itu kembali hadir pada Like Father, Like Son.

Sangat sederhana, pada Like Father, Like Son Koreeda mengajak penontonnya untuk mengamati proses atau tahapan dari aksi mencari solusi dari sebuah permasalahan yang bukanlah sesuatu yang baru apalagi menyegarkan. Bersama komposisi yang cermat dalam gerak santai premis sederhana itu akan membawa masuk sebuah drama keluarga yang melakukan kombinasi antara perjuangan terhadap trauma menghancurkan dengan aksi memeriksa jiwa, keduanya dilakukan oleh Ryota yang menjadi fokus utama dengan berlandaskan sebuah pertanyaan umum: bagaimana sebenarnya menjadi sosok ayah yang “benar” bagi anaknya? Yap, hanya itu, bukan pertanyaan terbaik antara si kaya dan si miskin, hanya sebuah konflik sederhana yang membantu memperkuat aksi memeriksa yang tidak berupaya membuka jalan menggunakan masalah tadi untuk menemukan jawaban diakhir cerita.


Nah, apa yang menjadikan hal sederhana itu mampu klik dan terus tampil menarik atensi adalah cara ia digambarkan yang dibalik kesan natural dan sempit itu mampu mewakili kondisi umum yang mayoritas terjadi pada zaman sekarang. Apakah menjadi seorang ayah lantas hanya memberikan seorang pria tugas untuk mati-matian mencari uang hingga hanya menyisakan satu hari dalam seminggu untuk anaknya, bahkan hanya punya dua hingga tiga jam dimalam hari untuk berinteraksi kecil. Apakah itu yang anak-anak inginkan dari ayahnya? Apakah hal tersebut akan membuat pria menjadi Superman bagi anak mereka? Hal-hal tersebut yang dibentuk kedalam sebuah potret menakutkan yang terasa lembut oleh Hirokazu Koreeda, menghujamkan isu-isu tajam dalam keseimbangan antara sisi serius dan juga sisi fun.

Yap, seimbang, ada drama yang tidak pernah berhenti menyajikan sisi sensitif yang berpotensi menciptakan ledakan besar dalam seketika, namun dalam aksi mondar-mandir yang dibumbui gambar-gambar mumpuni itu hadir pula humor-humor hangat yang mampu mengundang tawa. Ini perpaduan aneh dan unik, a bit disturbingly fun, penonton di isolasi dalam emosi rumit dan kompleks yang tidak pernah berhenti untuk menarik dan mengulur kemungkinan hadirnya harapan dalam kecemasan tiada henti yang menciptakan ketegangan intens yang kondisi tenang (I hate and love that situation), tapi disisi lain juga mendapatkan senyum lewat kasih dalam keluarga yang tidak pernah mendekati level terlalu sentimental dan hanya mengandalkan kedalaman emosi, dan juga kegembiraan lewat funny moment skala kecil yang mayoritas hadir berkat hal-hal polos.


Jujur saja jika menilik materi tidak ada yang special dari Like Father, Like Son, ia bisa jatuh menjadi monoton dan terasa predictable, namun dengan kontrol yang tenang Hirokazu Koreeda berhasil membangun materi standard tadi menjadi sebuah narasi yang berbobot, memadukan pertanyaan tentang manusia bersama akumulasi emosi dalam bentuk yang hangat. Kemampuannya dalam membentuk ruang agar penonton ikut terlibat pada cerita bersama simpati dan empati tidak hanya akan menghasilkan rasa takut dan juga sindiran tajam pada kaum dewasa yang telah menikah, ini bahkan cukup kuat untuk memberikan rasa takut pada mereka yang masih single, membuat mereka melihat kembali power dari mental yang mereka punya karena menjadi orang tua bukanlah sebuah lelucon dengan mengandalkan ego dan mengesampingkan “another real responsibility” sebagai orang tua.

Keberhasilan Like Father, Like Son menyajikan kekacauan yang tenang dan indah itu juga berkat kinerja divisi akting yang tampil mumpuni. Seperti kebiasaan yang ia punya, Koreeda kembali tidak menjadikan aktor cilik hanya sebagai boneka belaka, menjadikan mereka sisi lain kekuatan film, dan Shogen Hwang serta Keita Ninomiya mampu menyampaikan sudut pandang anak terhadap orang tua mereka dengan baik. Masahara Fukuyama yang menjadi fokus utama berhasil menghadirkan gejolak jiwa dengan perpaduan ego yang tajam dan kasih yang hangat. Machiko Ono bertugas sebagai pion yang membantu dan memperkuat polemik Ryota, dan ia berhasil. Lily Franky menampilkan sisi lain cerita juga dengan performa lucu yang baik, dan juga memperkaya pertanyaa utama terkait “being a real father.” Sedangkan Yoko Maki menjalankan tugasnya dengan baik dalam menjaga potensi ledakan dalam cerita.


Overall, Like Father, Like Son (Soshite Chichi ni Naru) adalah film yang memuaskan. Sebuah aksi mempertanyakan tindakan manusia dalam struktur kaku yang terus bergerak lugas dan terkontrol dengan baik dalam kehangatan menyenangkan dan tampilan natural yang memikat, Hirokazu Koreeda sekali lagi berhasil menghadirkan sebuah drama keluarga yang kuat dibalik kesederhanaan pada hal biasa yang ia miliki. Berawal dari sebuah isu “money can’t buy you a happiness” hadir aksi mengamati yang tenang dan intens, eksplorasi lembut mengandalkan kompleksitas emosi dalam sebuah potret bagaimana perputaran cinta antara ayah dan anak bahkan keluarga yang seharusnya terjadi. Just like What MaisieKnew did, on their early age the most important thing child needed from they parents is not a money, they just want an attention, thoughtfulness, they just want to be "respected" as a child. Segmented.    








0 komentar :

Post a Comment