07 May 2014

Movie Review: Brick Mansions (2014)


Tentu saja ada sebuah rasa senang ketika selesai menonton sebuah film ada point menarik yang dapat kita bawa pulang. Namun hal tersebut faktanya bukan menjadi sebuah hal yang wajib, harus, dan mesti hadir dalam komposisi yang kuat pada sebuah film, karena memperjuangkan hal tersebut dapat membunuh potensi yang dimiliki untuk dapat menjadi sebuah hiburan bodoh yang menyenangkan. Hal tersebut dialami oleh film ini, Brick Mansions. To make a “good” movie you need a “good” story.

Setelah mengalami kebangkrutan dan kekacauan massal, lima tahun kemudian pada tahun 2018 kota Detroit digambarkan telah menderita lebih parah akibat bencana tersebut. Bangunan pencakar langit dan kehidupan mewah memang masih eksis, namun disisi lain telah berdiri sebuah kota kecil didalamnya, sebuah kawasan penuh kriminal yang dibatasi dengan dinding pembatas berukuran raksasa bernama Brick Mansions. Kaum ghetto itu berada di bawah pimpinan pria bernama Tremaine Alexander (RZA), yang bersama pasukannya suatu ketika berhasil menciptakan masalah baru bagi walikota dan staff pemerintahan.

Tremaine berhasil memperoleh sebuah bom yang hendak ia gunakan sebagai bentuk perlawanan dari upaya pemerintah kota Detroit untuk membongkar dan membersihkan Brick Mansions. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah menunjuk seorang detektif bernama Damien (Paul Walker), ditugaskan masuk kedalam Brick Mansions untuk menjinakkan bom dengan timer yang terus menghitung mundur, bersama seorang kriminal lokal yang dianggap mengerti seluk beluk lokasi tersebut, Lino Dupree (David Belle), pria yang juga berupaya menyelamatkan mantan kekasihnya, Lola (Catalina Denis).


Ada yang mengatakan kau tidak bisa menaruh ekspetasi yang begitu tinggi dari film dengan “tipe” seperti ini, namun faktanya hal tersebut sedikit sulit untuk dijauhkan dari terlebih jika menilik nama-nama yang ambil bagian didalamnya. Tunggu dulu, bukan RZA tentu saja, tapi kehadiran kembali Luc Besson untuk menangani kisah yang pernah ia bentuk pada District 13 dan District 13: Ultimatum, ikut sertanya Robert Mark Kamen yang menjadi sosok dibalik stupid fun bernama Transporter dan Taken sekuel dan film series, kemudian juga munculnya nama ahli parkour David Belle untuk bertransformasi menjadi versi Amerika dari Leïto, well, ini tampak cukup menjanjikan pada awalnya terlebih dengan bantuan dari trailer yang dipenuhi gerak cepat dan tangkas itu.

Tapi setelah berjalan sedikit jauh dari garis start, Brick Mansions berubah dari potensial menjadi impotent. Tidak hidup, daya tarik yang ia miliki bukannya terus bertarung untuk mendaki mendekati angka sepuluh namun terus menerus berusaha untuk menjauh dari angka nol. Tentu saja ini style over substance, tapi bukankah dua hal tersebut tetap membutuhkan dukungan satu sama lain? To make a good movie you need a good story, dan Brick Mansions tidak punya itu. Berantakan, canggung, mempertahankan nafas cerita hanya dengan bermain-main bersama aksi melompat antar dinding yang celakanya kurang mampu tampil sama menariknya dengan pendahulunya satu dekade yang lalu itu.

Menarik, aksi parkour itu memang menarik, tapi dengan cerita yang tidak punya tujuan dan motivasi yang kuat, ditemani dengan karakter stereotype yang rapuh, perjuangan yang kini dipersempit menjadi hitungan jam yang dimaksudkan untuk menjadi penggambaran kaum bawah terhadap para penguasa ini lebih tampak seperti sebuah rangkaian yang terputus-putus, kumpulan berbagai scene sebagai arena show-off memanjakan mata. Adegan perkelahian dibumbui slow-motion, penggunaan ledakan dan aksi tembak, dan juga hal wajib seperti aksi kejar-kejaran menggunakan mobil, mereka disatukan bersama efek murahan dan juga lelucon standard yang di eksekusi setengah hati. Luc Besson dan rekan-rekannya seperti mencemooh penonton seraya berseru “ini yang kalian cari, bukan?”

Benar, itu yang penonton cari, namun dengan tampilan yang hidup bersama ketegangan yang mumpuni serta sisi lucu yang menyenangkan. Tapi yang diberikan Camille Delamarre justru sebaliknya, sebuah penggambaran dari isu terkait kesenjangan sosial yang dipenuhi perputaran monoton dan membosankan, bergerak karena bantuan adegan aksi bersama karakter yang tampak terus bingung dengan tujuan utama mereka, permainan plot tipis dalam narasi pemalas yang tidak berkembang tanpa pressure yang mumpuni dari salah satu arah yang mampu menghadirkan rasa bahaya dalam cerita, sudahlah gagal ketika mencoba tampil inspiratif dengan komentar sosial, ia juga gagal untuk memberikan kesan badass yang sering kali lebih terasa menjengkelkan.

Dari divisi akting tidak dapat dipungkiri Paul Walker menjadi fokus utama atensi, tapi sudah menjadi sebuah informasi yang umum bahwa aksi Paul di luar Fast and the Furious lebih sering tampil kurang standout jika tidak ingin disebut unimpressive. Hal tersebut kembali hadir disini, karakter Paul Walker seperti sebuah boneka yang dilempar kesana kemari dengan sebuah bekal memori masa lalu yang tidak pernah dimanfaatkan dengan baik. Ia bahkan terkesan sebagai pendamping bagi David Belle yang setidaknya mampu sedikit tampil menarik dengan adegan parkour itu. RZA sendiri menjengkelkan, bukannya memakai cara standard namun justru mencoba terlalu keras untuk menjadi penjahat yang tenang dan elegan, dan itu gagal.


Overall, Brick Mansions adalah film yang tidak memuaskan. jika anda bertanya potensi film ini masih memiliki hal tersebut, ini dapat saja menjadi petualangan dangkal yang lucu dan menyenangkan, namun tanpa bekal cerita yang kuat penonton seperti tidak punya ruang untuk ikut berjalan dalam cerita, hanya sebatas menikmati hiburan visual yang sayangnya juga cukup seimbang ketika berbicara berhasil dan gagal, sehingga sulit untuk klik dalam cerita tanpa pressure itu, menjadikan kisah yang mencoba sangat keras untuk tampak badass ini seperti sebuah tamasya karakter rapuh dalam sebuah labirin untuk mencari jalan keluar.







0 komentar :

Post a Comment