21 February 2014

Movie Review: I, Frankenstein (2014)


From the producers of Underworld, kalimat yang tercantum pada poster tersebut sesungguhnya telah dapat mewakili apa yang coba ditawarkan oleh I, Frankenstein. Masih sama, formula yang sama, dan kembali ada Kevin Grevioux didalamnya, I, Frankenstein kembali coba menawarkan fantasi bersama balutan action dan sedikit nafas horror. It's not bad, it's just, terrible.

Berawal dari sebuah masalah yang melibatkan rasa dendam dan juga wanita, Adam Frankenstein (Aaron Eckhart) kabur menuju kutub utara dari kejaran Dr Victor Frankenstein (Aden Young), yang juga merupakan sosok yang menciptakan Adam, makhluk raksasa hasil daur ulang dari potongan mayat. Namun misi Victor tersebut gagal akibat cuaca, tapi tidak bagi perjalanan Adam yang kemudian bertemu dengan sekumpulan setan sebelum akhirnya diselamatkan oleh Gargoyles yang membawanya menuju Ratu mereka, Lenore (Miranda Otto), dan komandan mereka, Gideon (Jai Courtney).

Sebuah tawaran langsung diperoleh Adam, dimana Lenore memintanya untuk bergabung bersama kaum Gargoyles dalam pertarungan melawan kaum setan sebagai upaya melindungi manusia, walaupun ia tolak. Namun takdir berkata lain, beberapa ratus tahun kemudian Adam kembali harus berhadapan dengan hal yang sama, kali ini melibatkan Pangeran Naberius bernama Charles Wessex (Bill Nighy), bersama ilmuwannya yang bernama Terra Wad (Yvonne Strahovski), dan menghidupkan kembali pertikaian antara kaum setan dan kaum Gargoyles.


Jika membahas konsep dasar, I, Frankenstein sebenarnya tidak hadir tanpa membawa sebuah misi yang jelas. Ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh Stuart Beattie dalam upaya yang sebut saja merupakan hasil kanibalisme dari Underworld series milik Kevin Grevioux, yang terbukti dibalik respon negatif mampu melipat gandakan budget miliknya dan bertahan selama satu dekade. Pertama mungkin tema sempit terkait kemanusiaan dengan materi isolasi dan solusi, serta berikutnya membangun arena eye-candy tanpa otak. Yap, style over substance sudah jelas tergambar dari film dengan tipikal seperti ini, sebagai penonton anda bukan hanya disarankan namun wajib untuk menekan ekspektasi, dan kemudian menikmati semua kekacauan yang dihadirkan sembari berharap itu akan menyenangkan.

Tapi, ini tidak menyenangkan, mungkin lebih tepatnya sangat tidak menyenangkan. Dapat terlihat dengan jelas bagaimana Stuart Beattie seperti bukan hanya tampak setengah hati namun juga dipenuhi rasa ragu pada dua tujuan utamanya tadi, ia bingung mana yang harus digunakan sebagai jalur utama sehingga kombinasi yang dibentuk pada dua bagian tadi pada akhirnya terasa sangat sangat dipaksakan. Dari sisi cerita Stuart Beattie sudah gagal sejak awal dalam membentuk dasar utama, imajinasi. Oke, berikut ada gargoyle vs setan, baik melawan jahat, anda mengerti, mari kita lanjutkan. Tidak masalah memang jika selanjutnya apa yang ia berikan memiliki kadar yang ringan, namun secara mengejutkan I, Frankenstein justru dikemas penuh dengan nada serius yang justru berakhir canggung.

Tentu saja canggung, karena sejak awal tidak ada pondasi yang kokoh pada konsep yang ia bawa. Jelas mengejutkan ketika kemudian kita disuguhkan dialog-dialog bernada serius yang beberapa terasa cheesy di dalam alur cerita mondar-mandir dengan banyak celah tak masuk akal itu, karena materi yang ia miliki justru terasa lebih pas sebagai sebuah parade visual dengan sentuhan komedi. Secara konstan terus berbicara tentang nasib manusia tanpa keterlibatan manusia didalamnya, itu salah satu dari sekian banyak lelucon rusak yang menjadikan film ini tampak palsu, tidak memiliki jiwa yang membuka jalan bagi imajinasi penontonnya untuk ikut bermain bersama karakter. Andai saja hal tersebut dapat tampil sedikit lebih baik, I, Frankenstein mungkin tidak akan menderita terlalu besar.

Benar, andai saja plot klise yang ia berikan mampu tampil sedikit lebih menarik, I, Frankenstein mungkin dapat menjadi sebuah popcorn movie yang memenuhi ekspektasi, karena di elemen kedua sesungguhnya ia tidak tampil buruk. Bukan berarti ia tampil memukau memang, namun apa yang menyebabkan penontonnya dapat terus merasakan nada gelap cerita justru lebih banyak berasal dari kinerja visual. Bermain dimalam hari dipenuhi dengan pertarungan yang beberapa diantara cukup menarik dengan kedalaman mumpuni, celakanya hal tersebut tidak mampu menipu atensi penonton dari rasa kesal terhadap cerita yang terlanjur menjadi concern utama. Rasa ragu Stuart Beattie diawal tadi yang kemudian membuat mindset penonton berubah dan menilai ini sebagai kumpulan lelucon, terus tersenyum menyaksikan hal-hal serius yang justru terasa lucu.

Nilai minus lain yang dimiliki oleh I, Frankenstein adalah ia tidak punya sosok sentral yang mampu menjadi pusat seperti Kate Beckinsale dengan latex hitamnya itu. Hal tersebut sesungguhnya sangat penting untuk menyokong materi sempit dan datar yang mereka peroleh. Yang mampu sedikit memberikan daya tarik di bagian ini justru bukan Aaron Eckhart yang membuat Adam tampak tidak memiliki percaya diri, namun Bill Nighy sebagai demon-prince, yang mungkin memperoleh banyak keuntungan dari perannya sebagai Viktor di Underworld, walaupun tetap tidak mampu menyelematkan cerita dari cengkeraman rasa bosan.


Overall, I, Frankenstein adalah film yang tidak memuaskan. Target utama yang sangat rendah dengan mengharapkan sebuah hiburan bodoh yang menyenangkan tetap tidak berhasil diperoleh dari film yang tampak berupaya membangun sebuah series baru ini. Menggunakan formula yang sama dengan Underworld; I, Frankenstein bukan memberikan sebuah pergerakan positif namun justru menambah beberapa nilai minus, pondasi yang tidak kokoh, diselimuti rasa ragu yang menjadikan materi serius tampak lucu, serta visual yang tidak mampu menjadi pengalih atensi. Ini kacau, seperti merangkai berbagai potongan kecil secara paksa dan berakhir canggung.



0 komentar :

Post a Comment