22 February 2014

Movie Review: Endless Love (2014)


“Cinta nomor satu, tanpa cinta, lebih baik saya mati.” Pasti akan ada mereka yang menilai kalimat tadi lebih terasa sebagai sesuatu yang bodoh ketimbang romantis, karena tidak dapat dipungkiri pola berpikir terkait percintaan yang terlalu sederhana seperti itu mungkin masih menjadi makanan yang sangat lezat tiga dekade yang lalu, namun kini cukup sulit untuk diterima di era modern sekarang ini, terlebih ketika melibatkan kata instan didalamnya. Ah, tidak masalah kok, klise, standard, yang penting harus punya permainan emosi yang memuaskan. Nah, itu yang tidak dimiliki oleh film ini, Endless Love, a super bland love story.

Dibalik permasalahan yang eksis disekitarnya, baik itu terkait kakak serta ayahnya Hugh Butterfield (Bruce Greenwood), Jade (Gabriella Wilde) merupakan sosok yang memiliki kriteria idaman para pria. Cantik, datang dari keluarga yang berbobot, gadis berusia 17 tahun ini bahkan sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan studinya ke sekolah kedokteran. Namun ternyata semua kehidupan nyaman dan aman yang ia alami tidak serta merta memberikan rasa puas pada Jade, ada sesuatu yang masih terus terpendam dalam jiwanya.

Jade haus akan cinta, dan momen itu tiba, pria bernama David Elliot (Alex Pettyfer) yang ternyata telah menjadi pemuja rahasia Jade sejak lama. Pada pesta kelulusan David memulai upaya pertamanya yang hebatnya langsung tepat mengenai sasaran, daya tarik dan gairah tumbuh dengan instan dari kedua arah. Namun sayangnya kemudahan yang mereka peroleh tidak hadir dalam waktu lama, semua berasal dari status David yang berasal dari keluarga kelas menengah, merupakan anak dari seorang montir, dan kemudian menciptakan dinding pembatas diantara mereka.


Sinopsis diatas terdengar klasik dan cheesy bukan? Ya, memang harus seperti itulah Endless Love hadir, penuh materi mellow dengan dramatisasi super familiar yang mungkin akan memecah penontonnya pada dua kelas, tersentuh, atau justru merasa disgusted. Adaptasi kedua dari novel Scott Spencer ini masih memiliki ciri tersebut, namun yang menarik disini adalah cerita yang ditulis ulang oleh Shana Feste dan Joshua Safran seperti ingin memberikan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pendahulunya. Strukturnya masih sama, namun yang menjadi masalah adalah konsep baru yang mereka bawa itu walaupun terkesan berani namun justru menciptakan sesuatu yang lebih buruk.

Saya bukan penggemar berat dari versi 1981, namun setidaknya karya Franco Zeffirelli tersebut masih memperlakukan cinta yang menjadi fokus utama sebagai sesuatu yang berharga, ia ingin menunjukkan the power of love, sebuah daya yang mampu merubah sesuatu disekitar mereka (bukan magic tentu saja). Namun di versi terbaru ini Shana Feste dan Joshua Safran justru ingin menggambarkan cinta sebagai sebuah rasa tunggal tanpa lawan dalam konteks negatif, bahkan cenderung self-destruction. Tidak masalah memang jika karakter berada pada usia dewasa dan matang, namun untuk kelas remaja bahkan baru mengenal cinta konsep tersebut sangat tidak sesuai, bahkan cenderung mengganggu.

Sebenarnya hanya itu hal utama yang penting, sebuah pondasi dasar yang kokoh, karena kita semua sudah tahu apa yang akan hadir berikutnya, dari jatuh cinta, hadir kendala, muncul opsi, dan kemudian konklusi. Permainan emosi sangat penting pada tipe film seperti ini, dan Endless Love gagal memenuhi syarat tersebut. Ini terlalu sederhana untuk menggambarkan kompleksitas cinta lengkap dengan bumbu isu sosial lewat ayah overprotektif yang sudah sering kita temukan, ya sebut saja Romeo + Juliet. Ini juga terlalu hambar, penonton seperti disuguhkan sebuah lamunan tanpa nyawa yang kemudian diwarnai dengan melodrama tanpa sensasi yang menarik di paruh kedua, manipulatif dan canggung hadir bersamaan.

Dengan kehadiran semua kekurangan tersebut sesungguhnya Endless Love masih dapat menjauh dari jurang kehancuran andai saja sejak awal ia menempatkan sebuah taruhan yang besar pada konflik yang diusung. Perjuangan untuk meraih cinta yang menjadi fokus utama itu tidak mampu menginspirasi, hal tersebut dikarenakan ia tidak disokong dengan materi mumpuni, hanya obsesi tingkat tinggi yang hadir disini, kita tidak dapat merasakan ketulusan dari kisah dan karakter untuk dapat ikut berfantasi dan menaruh simpati. Ya, bahkan ini baik ketika bermain pada perang antar pria, yang celakanya di beberapa bagian justru mampu tampil lebih menarik ketimbang konflik utama.

Kondisi tersebut tercipta disebabkan performa Hugh Butterfield yang walaupun tidak megah namun mampu menghadirkan sebuah karakter gelap dari kisah romansa klasik. Sayangnya pencapaian tersebut tidak cukup membantu menutupi nilai minus pada elemen ini. Gabriella Wilde dan Alex Pettyfer gagal menjadi tumpuan utama yang mumpuni. Tidak ada chemistry yang menarik diantara mereka, tidak ada sebuah gelora emosi dari api cinta diantara Jade dan David, penampilan datar dan hambar dari Gabriella Wilde dan Alex Pettyfer tidak berhasil mencegah invasi rasa bosan dan muak pada hal-hal klise yang menemani mereka untuk mencuri posisi utama.


Overall, Endless Love adalah film yang tidak memuaskan. Tidak mempermasalahkan hal-hal klise yang ia hadirkan, karena memang seperti itulah sebuah kisah cinta, dipenuhi hal klise. Namun yang menjadi masalah adalah Shana Feste tidak berhasil menghadirkan kunci tunggal untuk menjadikan materi klise tadi menjadi sebuah petualangan cinta yang menarik, permainan emosi. Ini datar, hambar, sedikit terasa berantakan, dan tanpa sensasi emosi yang mumpuni merubah hal klise tadi menjadi sebuah lika-liku melodrama yang perlahan menjengkelkan. 



0 komentar :

Post a Comment