08 September 2013

Movie Review: We're the Millers (2013)

 

"You never really know until you know."

Tentu saja ada alasan mengapa manusia dijuluki sebagai makhluk sosial, karena mereka perlu orang lain disekitarnya untuk menjadikan hidup mereka bertumbuh, salah satunya mungkin membuka jalan untuk menemukan apa yang selama ini tidak mereka dapatkan. We're the Millers coba membawa hal tersebut dalam petualangan bodoh, bagaimana hal palsu yang justru menuntun empat orang menuju kebahagiaan. Yap, sekali lagi, ini bodoh, klasik, standard, predictable, namun secara mengejutkan tampil menghibur dan menyenangkan.   

David Clark (Jason Sudeikis), seorang drug dealer, suatu ketika mengalami satu malam yang penuh warna, dari bertemu dengan sahabat lamanya, kemudian tetangganya yang ignorant dan berprofesi sebagai stripper, Sarah O'Reilly (Jennifer Aniston), berakhir dengan terlibat dalam sebuah pertikaian melawan beberapa anak muda hanya karena melihat Kenny Rossmore (Will Poulter), pria muda berusia 18 tahun yang juga tetangganya, berupaya menyelamatkan Casey Mathis (Emma Roberts), seorang gadis homeless. Celakanya itu menjadi momen from hero to zero bagi David.

Ia kehilangan barang dagangannya, serta uang hasil penjualannya. Namun aneh, bossnya, Brad Gurdlinger (Ed Helms), justru bersikap diluar dugaan. Alih-alih bersikap penuh emosi, Brad justru menawarkan pekerjaan baru bagi David untuk melunasi hutangnya itu, menyelundupkan ganja dari Meksiko dengan menemui pria bernama Pablo Chacon. Terinspirasi dari turis yang sedang bertamasya menggunakan mobil RV, David memutuskan untuk melakukan hal yang sama untuk menghindari kecurigaan dari pihak berwenang. Tapi satu kesalahan dilakukan David, memilih membawa masalah yang pada akhirnya menciptakan masalah.


Apa yang belakangan ini kerap hilang dari sebuah film komedi adalah kejujuran mereka untuk sejak awal mengaku bahwa mereka adalah film bodoh, tidak mencoba untuk tampil lucu dengan cara yang pintar dan jenius, murni ingin menjadikan anda tertawa dan terhibur. Kadang mereka terlalu sibuk bermain dengan visual efek, dan banyak diantaranya yang mencoba berjalan terlalu jauh di elemen lain sehingga menjadikan unsur komedi yang mereka miliki hanya punya kesempatan minim untuk tampil dominan. Mungkin sedikit subjektif, namun hal-hal tadi tidak saya temukan dalam kadar yang mengganggu pada We’re the Millers.    

We’re the Millers adalah film yang jujur, karena sejak awal mereka sudah mengaku bahwa ia adalah film yang bodoh. Sebut saja poster yang ia miliki, empat karakter dengan empat nilai minus pada tiap sosok, ayah pengedar narkoba, ibu stripper, anak lelaki yang masih perjaka, hingga anak perempuan yang bukannya feminim malah doyan kabur dari rumah. Dan itu berlanjut pada cerita yang dibentuk bersama oleh Bob Fisher, Steve Faber, Sean Anders, dan John Morris, masuk kedalam masalah bersama dengan tiga "masalah" lainnya, melintasi negara untuk melakukan tindakan kriminal. Tidak perlu pintar untuk menilai bahwa skenario itu adalah bodoh, namun eksekusi yang We’re the Millers tampilkan ternyata tidak sebodoh itu.

Keputusan Rawson Marshall Thurber pada We’re the Millers untuk tidak mencoba terlalu keras agar dapat tampil menjadi sebuah komedi yang lucu, pintar, dan megah ternyata memberikan dampak manis. Film ini seperti tidak menciptakan beban yang begitu berat, baik pada diri mereka sendiri begitupula pada penonton dalam bentuk ekspektasi. Hasilnya, perjalanan yang dipaksa ini menjadi sebuah kekacauan yang menyenangkan dan terasa lepas. Cerita yang dangkal dan predictable dijalankan dengan alur yang terasa santai, tidak melupakan tujuan utama mereka, namun disisi sebaliknya mampu mengolah dengan, ya, cukup baik, tema keluarga yang ia usung, terutama cara mereka mengembangkan point bahwa kasih sayang tidak mengenal dinding pemisah.


Memang standard, dan terkesan bermain aman, namun We’re the Millers mampu memadukan dengan efektif unsur halus tempat ia mencoba membangun sisi drama yang terkait dengan tema, serta unsur kasar yang menjadi arena berkumpulnya materi-materi fun yang ia punya. Itu yang menjadikan meskipun ia berjalan dengan cara yang cukup berantakan, namun tidak pernah membuat anda kesal apalagi bosan, sembari menanti hal bodoh apalagi yang akan mereka temui. Karakter yang biasa-biasa saja juga tidak tenggelam karena kerja sama tim yang apik antara empat pemain utama.

Yap, chemistry yang tercipta asyik, dimana keluarga Millers mampu saling melengkapi kemampuan individual, empat aktor utama menjalankan tugas mereka melemparkan lelucon-lelucon dengan tampak penuh percaya diri meskipun tidak semua bekerja dengan baik dan berakhir datar. Aniston dan Sudeikis mendapatkan karakter yang tidak menuntut perjuangan ekstra dari mereka agar dapat hidup. Sedangkan Emma Roberts hanya sebagai karakter pemantul konflik dalam menjalankan cerita, dengan porsi minim, sama seperti Nick Offerman, Kathryn Hahn, dan Molly Quinn. Will Poulter justru menjadi sosok yang mengejutkan dari divisi akting, bukan hanya mampu dalam menciptakan karakter pria naif dan nerd, namun ia ikut andil membantu tiga karakter lain agar tidak stuck dalam menggerakkan cerita.


Overall, We’re the Millers adalah film yang cukup memuaskan. Ini bodoh, ini predictable, namun dengan memasang ekspektasi yang tidak begitu tinggi ini menjadi lucu, menghibur dengan komedi klasik yang sederhana, sebuah film yang santai untuk mengisi waktu santai. Standard dan lucu, We’re the Millers berhasil menciptakan sebuah fantasi baru bagi saya, petualangan liar bersama orang yang kurang familiar menggunakan mobil, tentu saja tanpa unsur narkoba didalamnya. Oh ya, sedikit tambahan di bagian akhir juga menyenangkan, cerdik.



1 comment :

  1. Klasik dan santai? Oh menurutku ini gila dan woow, ini film komedi terbaik yg pernah ku tonton.

    ReplyDelete