16 November 2012

Movie Review: Hope Springs (2012)


Mempertahankan sesuatu akan selalu lebih sulit daripada ketika anda meraihnya. Begitupula dengan cinta, dimana awalnya pasti akan sangat indah, namun belum tentu dapat berakhir dengan indah, apalagi ketika telah berjalan selama 31 tahun. Hal tersebut dialami oleh sepasang suami istri yang telah berada diusia senja mereka, Arnold (Tommy Lee Jones), dan Kay (Meryl Streep), telah tidur di ranjang yang berbeda, dan kamar yang berbeda pula, dalam periode yang cukup panjang, akibat gairah cinta yang telah hilang.

Kay dan Arnold memiliki kehidupan yang monoton. Di pagi hari mereka sarapan bersama, berpisah ketika Arnold pergi kerja, bertemu kembali ketika senja, makan malam bersama, setelah itu Kay mencuci piring, sedangkan Arnold menonton acara golf hingga tertidur dikursi, dan pada akhirnya kembali ke tempat tidur mereka masing-masing. Ya ya, tidak bisa dipungkiri hal tersebut pasti banyak dialami oleh pasangan suami istri yang telah lanjut usia, ketika rasa cinta mereka mulai memudar seiring daya tarik pasangan yang juga perlahan memudar.


Apa yang akan anda lakukan jika mengalami hal tersebut? Anda harus mengambil inisiatif, melakukan action untuk merubah semua itu, ketimbang larut dalam kesedihan dan pasrah menjalani semuanya. Kay melakukan itu, ketika ia mulai bosan dengan semua aktifitas yang monoton, Kay ingin memperoleh kembali “pernikahan” yang pernah ia rasakan sebelumnya. Dia ingin menyalakan kembali api asmara yang telah padam dari Arnold yang kini sangat dingin. Sebuah informasi yang ia temukan dari sebuah buku berhasil membantu misi Kay, dan akhirnya berangkat ke Maine untuk mengikuti konseling pernikahan selama satu minggu dengan seorang terapis bernama Dr. Feld (Steve Carell).

Sangat menyenangkan menyaksikan sebuah cerita yang tidak bisa dibantah adalah sebuah fakta yang banyak terjadi jaman sekarang. Ketika pernikahan hanya dianggap sebuah catatan sipil diatas kertas dengan tinta berwarna hitam, maka hasilnya adalah sebuah hubungan pernikahan yang dingin tanpa intimitas satu dengan lain. Kay adalah salah satu contoh korbannya. Arnold yang keras, cerewet, dan cuek, bukanlah seorang pria romantis dan sepertinya kurang mengerti arti “menikah” yang sesungguhnya. Perlakuan Arnold kepada Kay tampak seperti sebuah ikatan kontrak, dengan banyak hafalan serta aturan, tanpa adanya rasa kasih sayang.

Hope Springs adalah sebuah rom-coms yang mampu memadukan rasa suka dan duka dengan menggunakan cerita utama yang bisa saja terasa usang untuk sebagian orang. Seperti mayoritas rom-coms, anda dapat dengan mudah menebak kemana cerita akan berjalan. Ya, ini salah satu kelemahan film ini. Debut Vanessa Taylor sebagai penulis cerita tampaknya kurang begitu berhasil bagi saya. Memang premis awal yang ia ciptakan sangat menarik, namun sayangnya tidak berkembang hingga akhir. Hmmm, sedikit monoton karena kreatifitas yang Taylor berikan terlalu sempit. Dialog antar karakter jelas sangat menyenangkan, namun itu karena performa dari para pemeran yang sangat baik, bukan karena script yang mumpuni.


Ya, pemeran utama bermain dengan sangat baik. Hal itu pula yang membantu David Frankel dalam mengendalikan film ini. Frankel cukup sukses memanfaatkan script sempit yang ia miliki untuk terus menjaga daya tarik cerita agar tetap stabil. Benar, cukup stabil, karena dibeberapa bagian anda mungkin akan merasa sedikit bosan, meskipun langsung ditutupi oleh beberapa momen seperti kehadiran twist serta joke. Lagu-lagu yang diselipkan kedalam cerita juga memiliki fungsi yang sangat baik, mampu menggambarkan perasaan yang sedang dialami oleh tokoh dalam cerita.

Lantas apakah ini film yang menarik? Jika melihat dari segi cerita, film dengan durasi 100 menit ini tidak akan memberikan sesuatu yang spesial kepada anda. Hope Springs memang mampu memberikan sebuah informasi tentang apa yang mungkin dirasakan oleh pasangan suami istri ketika mereka telah tua. Film ini juga mampu membuat saya tertawa lepas dengan joke-joke implisit, yang hebatnya tidak menghilangkan “kedewasaan” yang dimiliki oleh cerita.

Kekuatan utama film ini jelas ada pada tiga pemeran utamanya. Yakinlah, semua akan berbeda jika bukan mereka yang berada di tiga bangku utama. Meryl Streep adalah legenda. Streep selalu mampu tampil baik dalam setiap film yang ia mainkan, bukan dalam artian ia mampu membuat film tersebut menjadi megah, namun karena Streep selalu berhasil menjadikan karakter ia mainkan memiliki daya tarik bagi penonton. Streep menjadikan Kay seperti tampak nyata, seorang istri yang akhirnya meledak akibat semua tekanan yang ia hadapi. Begitupula dengan Tommy Lee Jones dengan Arnold-nya. Jones bukanlah seorang yang saya kenal ahli dalam genre komedi romantis. Namun, lewat pembawaannya yang tenang namun menjengkelkan, serta sarkasme-sarkasme yang ia tampilkan, Jones mampu membuat saya jengkel dan tertawa secara bersamaan. Chemistry yang ia bangun bersama Streep juga terasa manis. Yang sedikit aneh mungkin adalah Steve Carell. Jika anda mengharapkan sesuatu yang telah menjadi ciri khas dari Carell, maka bersiaplah untuk menerima sebuah kejutan yang berbeda.


Overall, Hope Springs adalah rom-coms yang menyenangkan. Ya ya ya, lupakan saja segala kekurangan yang disebabkan oleh script film ini. Dengan penampilan natural yang memukau dari kedua pemeran utamanya, film ini mampu membawa saya untuk tertawa dan tertekan selama 100 menit, dan juga menyampaikan pesan yang mereka miliki. Meryl Streep dan Tommy Lee Jones akan menjadikan anda ikut bersimpati kepada permasalahan yang mereka hadapi. Tidak megah memang, namun juga sangat sayang untuk dilewatkan.

Score: 7,5/10

0 komentar :

Post a Comment