23 July 2022

Movie Review: Everything Everywhere All at Once (2022)

“Every new discovery is just a reminder, we’re all small & stupid.”

Enam tahun lalu sebuah film yang menggunakan “kentut” sebagai mesin utama penggerak cerita sukses memberi kejutan, berkisah tentang proses kembali pulang seorang pria yang terdampar di pulau terpencil dan berteman dengan mayat hidup yang doyan kentut. Ya, itu memang sebuah fantasi yang gila dan tentu terasa abstrak tapi justru berhasil membuat film tersebut terasa sangat berkesan dan memorable hingga kini. Dan kali ini duet Sutradara film tersebut mencoba memperluas arena bermain mereka dengan menggunakan ide yang tidak kalah menarik dan gila pula: bagaimana jika kehidupan yang kamu jalani kini adalah satu dari beberapa macam “versi lain” dari dirimu yang juga sedang berlangsung di tempat lain? Dan semuanya terkoneksi satu sama lain! Everything Everywhere All at Once’: another wild, weird, and wacky fantasy adventure from Daniels.


Masalah di dalam pernikahannya dengan Waymond Wang (Ke Huy Quan) bukan jadi satu-satunya beban pikiran wanita bernama Evelyn Quan Wang (Michelle Yeoh), dia juga perlahan kesulitan berkomunikasi dengan anak perempuannya Joy (Stephanie Hsu) yang kini lebih merasa nyaman berbicara dengan Becky Sregor (Tallie Medel). Evelyn yang bersama suaminya mengelola usaha laundry itu juga selama ini tidak mampu membuat Ayahnya yang banyak maunya, Gong Gong (James Hong), merasa senang. Dan daftar masalah itu bertambah semakin panjang ketika suatu hari Evelyn dan Waymond harus berurusan dengan otoritas pajak, Deirdre Beaubeirdra (Jamie Lee Curtis). Mereka terancam kehilangan usaha laundry yang telah mereka bangun.

Kepala yang penat dan seolah hendak meledak itu menjadi alasan mengapa Evelyn justru menilai Waymond gila ketika suaminya itu berkata bahwa Evelyn merupakan sosok satu-satunya yang dapat menghentikan Jobu Tupaki, formerly Alpha Joy, dan menyelamatkan dunia dari kehancuran. Evelyn semakin bingung karena Waymond mengatakan bahwa yang sedang berbicara dengan Evelyn kini adalah Waymond yang dikendalikan oleh Alpha Waymond, versi lain dari Waymond di alam semesta yang disebut “Alphaverse". Celakanya itu bukan cara Waymond agar proses perceraian mereka semakin cepat semata, karena di saat bersamaan Jobu Tupaki sedang verse-jump di seluruh alam semesta dan mencoba memanipulasi sesuka hati, dengan potensi terburuk menghancurkan multiverse.

Levelnya memang berlebihan dan wajar tidak semua orang dapat menerimanya, tapi meskipun awalnya canggung pesona yang ‘Swiss Army Man’ hadirkan begitu cepat mengikat atensi penonton kala itu. Cara yang sama kembali diterapkan oleh duet Sutradara Daniel Kwan dan Daniel Scheinert, atau lebih dikenal sebagai Daniels, yakni langsung mencoba menjejali masalah ke dalam pikiran karakter utama, seperti ada sebuah masalah pelik yang sedang berkecamuk di dalam diri Evelyn. Perkenalan Evelyn dan dunia serta orang-orang di sekitarnya dikemas cepat dan tepat, berisikan masalah dan juga stress seolah semuanya mencoba membebani karakter utamanya. Itu setting yang cantik mengingat setelah itu kemudian hadir sebuah kejutan besar: hidup Evelyn kini merupakan satu dari sekian banyak "Evelyn" di alam semesta lain.


Banyak kata yang bisa digunakan tapi kata gila mungkin dapat menggambarkan apa yang coba didorong oleh Daniels tadi, kembali sebuah fantasi penuh imajinasi liar dan gila berisikan proses self-discovery yang menariknya kembali berhasil tampil menghangatkan hati. Di sini para penonton dibawa menyaksikan karakter utama “tersandung” masuk dan keluar melintasi beberapa dunia parallel, menempatkan sebuah misi sederhana dengan solusi yang juga tergolong sangat sederhana. Konsep parallel worlds sendiri bukan sesuatu yang benar-benar baru kini, genre sci-fi sudah semakin akrab menggunakan the so-called multiverse yang meski sepintas terasa tidak masuk akal tapi efektif menciptakan arena untuk “memutar-mutar” karakter dan konflik. Menghindar dari resiko saturasi berlebihan, Daniels memanfaatkan itu.

Konsep tadi membuat Daniels sangat leluasa berekspresi dalam bercerita, memiliki banyak versi dari beberapa karakter, mereka mencoba menggambarkan berbagai hal yang dicampur ke dalam sebuah kemasan dengan gaya antic sejak awal hingga akhir. Dengan ensemble yang kecil dan berfokus pada family members di berbagai belahan “dunia lain” itu, aksi yang ditampilkan karakter mudah untuk terasa menggelikan dan konyol, namun uniknya ketika apa yang disajikan itu mungkin terasa dangkal namun di sisi lain kamu justru perlahan dibawa bergerak menuju kejutan lain, yaitu emosi. Evelyn berurusan dengan pertanyaan tentang apa yang salah dan harus dia perbaiki agar membuat hidupnya dan orang-orang yang ia sayangi menjadi lebih bahagia dan lebih baik lagi, dramatisasi “what-if” dengan mencampur beberapa dunia berbeda.


Saya suka cara Everything Everywhere All at Once berbicara tentang something serious dengan membuat penonton "bergembira", terus mondar-mandir dipenuhi absurditas yang bergerak cepat itu dengan mengusung agenda yang tampil tajam, bersama dengan lelucon gila tapi menampilkan kisah tentang cinta, identitas diri, persahabatan, dan harapan secara manis. Mayoritas memang merupakan isu familiar di kehidupan yang ditampilkan secara ringan, dan meskipun bermain di nada yang playful dan konyol tapi Daniels mampu menghadirkan koneksi emosi yang menarik. Madness memang jadi platform utama di sini dan faktanya there is a lot to admire, tapi di sisi lain there is a lot to feel too berkat framework yang cantik pada cerita yang berhasil membuat penonton larut bersama emosi.

Contohnya seperti stress misal, tentang bagaimana manusia merasa tidak bahagia dan menyatakan bahwa hidup yang dia jalani telah gagal total. Merasa harapan tidak berhasil terpenuhi itu berakar dari rasa takut yang lantas menguasai perjuangan di dalam diri sendiri si manusia tadi. Daniels terus menggeber karakternya berpacu melewati berbagai skenario alternatif di mana keputusan serta hasil dapat berbeda, sebuah jalan manis menuju pesan dari isu klasik tentang hidup tadi. Narasi memang tampak rumit tapi inti dari ‘Everything Everywhere All at Once’ sebenarnya sangatlah sederhana, yakni sisi indah dari sebuah kegagalan. Saya tersenyum saat menyadari itu di akhir karena yang saya saksikan sebelum itu adalah perjuangan mencari solusi dengan ditemani berbagai adegan aksi martial arts yang mumpuni.


Ya, setelah bertemu hal gila sejak awal maka penonton terus dibuat penasaran pada hal gila macam apa lagi yang akan hadir selanjutnya, hadir dalam balutan visual dan sinematografi dengan gaya antic dan artistik, membuat kesan eksperimental jadi terasa kental. Sama seperti score gubahan experimental band Son Lux, kerap menjadi penyeimbang bagi gerak cerita yang liar, sangat energik dan serba cepat itu. Meski memang pace terasa kurang stabil, beberapa momen yang seharusnya menegangkan dengan berisikan tekanan seperti pertarungan melawan musuh misalnya, tapi justru tersaji sedikit longgar. Begitupula dengan konklusi di bagian paling akhir, saat motif cinta mengalahkan segalanya hadir punch yang tercipta terasa kurang kuat meski memang berhasil membungkus dengan baik perjuangan Evelyn.

Itu berkat kepiawaian Daniels, karena walau tampil terus meledak-ledak tapi konflik serta komedi di film ini tidak pernah terasa melayang-layang, mereka padat dan juga padu serta punya daya cengkeram yang baik. Sama seperti kinerja akting para aktor, terutama Michelle Yeoh yang di sini punya ruang yang luas untuk mempertontonkan kemampuan martial arts miliknya. Tapi bukan hanya itu saja yang terasa memikat, tapi juga bagaimana Michelle Yeoh menjaga sisi cheeky dan kualitas emosi dari karakter yang awalnya ditulis untuk Jackie Chan itu terasa seimbang. Pemeran lain seperti Stephanie Hsu, Ke Huy Quan, James Hong, dan Jamie Lee Curtis juga oke dengan karakter mereka masing-masing, menjadi pion-pion penting bagi perjuangan Evelyn menemukan jawaban serta nilai di dalam petualangan multiverse itu.


Evelyn, Joy, Waymond, hingga Deirdre merupakan karakter yang berhasil mendorong penontonnya untuk lebih berani lagi menghadapi tantangan, tidak lari dari masalah namun justru mencoba menemukan jawaban dan solusi. Karena multiverse di sini adalah menjadi semacam simbol dari Daniels terhadap missed opportunities yang kerap hadir di dalam hidup, dari opsi dan pilihan ditemani dengan cerita emosional tentang arti keluarga, keraguan pada diri sendiri, depresi, hingga yang lebih luas lagi yakni apa makna menjadi manusia di dunia yang semakin marak berisikan hal-hal tidak masuk akal ini. ‘Everything Everywhere All at Once’ reminds you of what it's like to be human, termasuk bahwa hidup merupakan anugerah yang sangat berharga terlepas dari semua kekurangannya yang akan kamu temukan dan juga rasa.

Overall, ‘Everything Everywhere All at Once adalah film yang sangat memuaskan. Just like a wild rollercoaster not everyone will enjoy this one, tapi kumpulan ide, fantasi, dan imajinasi konyol serta gila itu dikemas dengan percaya diri oleh Daniels, membuat konsep multiverse dan the parallel world menjadi sebuah sajian segar dan menggunakannya untuk berbicara tentang berbagai hal retoris dan simple tentang hidup namun tetap dengan kegembiraan gerak cepat yang absurd dan juga memikat. Konsep terus-menerus "ditulis ulang" yang dilakukan karakter utama merupakan sebuah sentilan yang cantik dari Daniels agar manusia tidak berhenti berjuang dalam hidupnya, dan menolak untuk menyerah. Yes, silly but at the same time poignant, it’s one of the most beautiful and humane films to come out in years. Segmented.





1 comment :

  1. “The only thing I do know, is that we have to be kind.”

    ReplyDelete