03 August 2022

Movie Review: Persuasion (2022)

“All that is meant for one, is meant to find the one.”

“Kalau masih cinta, jangan memaksa untuk move on.” Lantas bagaimana cara agar dapat segera melupakan dan memulai kembali kisah cinta yang baru? Saya juga tidak tahu jawabannya, karena cara cinta bekerja di setiap orang tentu berbeda-beda, ada yang hanya butuh satu minggu untuk langsung melupakan dan mencoba memulai kembali, tapi ada pula yang berjuang untuk menghapus memory indah bersama sang mantan kekasih dalam hitungan tahun bahkan lebih dari setengah dekade. Hal apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut, sehingga ada yang mudah tapi ada pula mereka yang kesulitan? When pain is over, the remembrance of it often becomes a pleasure. ‘Persuasion’: a Bridgerton knock-off.


Anne Elliot (Dakota Johnson) merupakan anak satu dari tiga anak perempuan pria bangsawan bernama Sir Walter Elliot (Richard E. Grant). Saudarinya Mary Elliot (Mia McKenna-Bruce) telah menikah dengan Charles Musgrove (Ben Bailey) dan dikaruniai anak, sedangkan Elizabeth Elliot (Yolanda Kettle) masih sama seperti Anne, sedang mencoba menemukan pria yang akan menjadi pendamping hidupnya. Suatu ketika Ayah mereka terlilit hutang sehingga keluarga yang kerap dibantu oleh Lady Russell (Nikki Amuka-Bird) itu terpaksa menjual rumah dan pindah ke kota lain. Hal tersebut coba dimanfaatkan oleh sepupu Anne, Mr. William Elliot (Henry Golding) yang ingin agar tahta tidak jatuh ke tangan orang lain.

Anehnya, William menjadi pria pertama yang berhasil membuat Anne jatuh hati lagi setelah cukup lama menolak jatuh cinta lagi karena masih kesulitan untuk move on dari mantan kekasihnya. Delapan tahun yang lalu, Anne dan Frederick Wenthworth (Cosmo Jarvis) berencana untuk menikah, mereka saling mencintai satu sama lain tetapi keluarga Anne membujuk wanita muda itu untuk mengakhiri hubungan. Itu karena kala itu pekerjaan Wenthworth hanyalah seorang pelaut kelas bawah. Kini Wenthworth kembali dengan status sebagai pria yang lebih kaya dari sebelumnya, dan sama seperti Anne dirinya juga masih menyimpan rasa cinta yang dulu pernah kandas itu.

Di 20 menit pertamanya ‘Persuasion’ mendorong kesan unik dan menarik yang kuat, terasa kentara sekali naskah mencoba menjadi perpaduan antara gaya konvensional dengan sentuhan modern. Tapi faktanya duet penulis beda usianya cukup jauh, Ronald Bass kini berusia 80 tahun dan Screenwriter yang pernah meraih Oscars lewat film ‘Rain Man’ berkolaborasi dengan kompatriot yang berusia lebih muda cukup jauh, Alice Victoria Winslow. Tentu tidak ada batasan termasuk usia dalam industri kreatif tapi “lebih sulit” menyatukan dua kepala yang memiliki visi berbeda. Di 20 menit pertama Sutradara Carrie Cracknell mencoba mendorong pesona modern dari pada karakter terutama Anne Elliot untuk membuat akses penonton lebih mudah berkenalan dengannya, tapi di sisi lain narasi bertutur secara konvensional.


Formulanya sendiri mungkin dapat terasa ganjil bagi beberapa kalangan penonton, tapi menempatkan karakter utamanya berkomunikasi dengan penonton merupakan ide yang baik untuk membentuk pondasi utama cerita secara cepat. Latar belakang masalah langsung mudah untuk dipahami, tidak hanya tentang yang terhalang rasa ragu dan kini diselimuti penyesalan itu saja, tapi berikut juga dengan beberapa plot tambahan lain seperti masalah keuangan. Semuanya menyatu di satu jalur dengan hilir yang sederhana dan sangat umum, yakni cinta lama bersemi kembali. Jadi tidak heran meskipun ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Jane Austen yang rilis tahun 1818, penonton tidak kesulitan untuk dapat memahami dan pula merasakan apa yang coba disajikan oleh ‘Persuasion’. Sangat baik, di awal.

Paruh pertama merupakan bagian terbaik ‘Persuasion’, ketika modern-day vibe yang mendominasi narasi belum disibukkan dengan banyak konflik. Ada rasa penasaran begitu besar di sana terlebih dengan situasi “mau tapi ragu” yang dialami oleh dua karakter utama. Di sana masalah “rela memang tak semudah kata” lantas bermain, bagaimana Anne merasa terpaksa melepas Wentworth, begitupun sebaliknya, ketika waktu ternyata tidak mampu menyembuhkan rasa sakit. Penyesalan selalu menarik, tidak hanya melihat penyebabnya saja tapi juga menunggu aksi selanjutnya untuk dapat lepas dari kesedihan. Saya suka hal tersebut disajikan dengan berbagai isu lain yang terselip di dalam narasi, dari tentang pernikahan yang bukan “transaksi” di mana wanita hanya bisa sebatas patuh, hingga perjuangan terhadap cinta itu sendiri.


Termasuk di dalamnya tentang pernikahan yang beberapa hadir dari keluhan Mary Elliot. Klasik memang dan tidak heran jika perlahan ada rasa terikat dengan karakter Anne, apalagi dengan sokongan berbagai isu menarik seperti tadi, dari self-love, no life is without worry, hingga how the universe always has a plan. Rasa sakit dan juga harapan terus bermain di dalam cerita, menunjukkan karakter tidak hanya ragu pada apa yang ada di masa depan tapi juga berjuang to rely on the instructions issued by their own heart. Dengan pola demikian satu hal yang wajib ada adalah kemampuan narasi meyakinkan penonton bahwa ada cinta dengan kekuatan yang sangat besar exist. Kamu bisa merasakan ada rasa lama yang belum hilang di dalam diri karakter, tapi sayangnya kurang diekploitasi lebih jauh lagi oleh narasi yang justru membuat situasi tarik-ulur perasaan itu dipenuhi dengan ketidakpastian.

Yang jadi masalah adalah tidak adanya konflik pendukung untuk membuat perasaan antara dua karakter utamanya dapat berkembang, kita tahu ada gemercik cinta yang masih exist dan meskipun condong ke arah penolakan. Karakter pendukung seperti Louisa dan Mr. William Elliot hadir untuk membuat rasa yang sedang bergejolak di dalam diri Anne dan Frederick Wentworth diuji, tapi selain dari eksternal seharusnya juga ada “ujian” dari sisi internal. Ketimbang mencoba untuk mengkonfirmasi isi hati baik secara bersama maupun juga mandiri, keduanya justru lebih sering terlihat bersikap kekanak-kanakan dengan saling menunggu dan jual mahal. Mungkin jika di bagian tersebut diberikan eksposisi sedikit lebih detail maka punch di bagian akhir akan terasa lebih kuat, momen yang merupakan puncak tempat meledaknya emosi, hal yang sayangnya kurang terbentuk dengan baik di momen tarik-ulur tadi.


Memang niatnya jelas sejak awal, menunjukkan kekuatan yang dimiliki oleh cinta, tapi mungkin jika disertakan sedikit dramatisasi yang lebih intim cerita dapat terasa lebih menarik. Saya antisipasi itu sejak awal tapi narasi terus bermain di ranah rom-com, menyenangkan di awal tapi menjadi boomerang ketika masalah utama dibawa ke babak selanjutnya yang notabene membutuhkan emosi dengan intensity yang lebih kuat. Sangat disayangkan memang karena naskah sebenarnya cukup oke dalam memberikan ruang bagi berbagai baris kalimat menarik tentang hidup dan juga cinta, tapi sayang hasil akhirnya terasa uninspired secara satu kesatuan meskipun ditunjang oleh energi yang tergolong oke dari para Aktor, salah satunya tentu saja si bintang utama Dakota Johnson. Richard E. Grant dan Mia McKenna-Bruce adalah duet scene stealer yang menyenangkan.

Overall, ‘Persuasion’ adalah film yang kurang memuaskan. Salah paham bertemu kekacauan emosi, ‘Persuasion’ enggan menjadi rumit, cenderung menyajikan subjek dan juga masalah dalam bentuk yang disederhanakan sehingga penonton merasa hanyut. Sejak awal Carrie Cracknell sudah breaking the fourth wall lewat aksi lirikan mata Anne ke arah kamera, tapi sejak titik tengah narasi terasa goalless meski cukup oke dalam memainkan unsur khas film roman kontemporer, sebuah refleksi yang cukup menarik tentang rasa sakit akibat cinta serta proses dan perjuangan di dalamnya. Mungkin akan lebih menarik jika disajikan sebagai drama kontemporer, tapi ini jelas sebuah percobaan yang tidak buruk untuk mengikut jejak ‘Emma’ meski hasilnya memang tidak sama baiknya. Segmented.





1 comment :

  1. “You will find the one that's meant for you. The one who loves you enough to fight for you.”

    ReplyDelete