30 July 2022

Movie Review: Ghost Writer 2 (2022)

“Setidaknya aku pernah jadi bagian kecil dari hidup kamu. Dan itu cukup.”

“Bekerja sama dengan hantu” tentu saja merupakan sebuah ide yang menarik tapi biasanya film yang menggunakannya sebagai materi cerita akan cenderung dominan bermain di ranah komedi, ketimbang horor yang tentu saja lebih akrab diasosiasikan dengan sosok hantu. Maka jangan anggap remeh film yang mencoba menggabung dua elemen tadi, karena di samping mengemban tugas utama mengocok perut para penonton di sisi lain ia juga akan mencoba membuatmu bertemu dengan berbagai momen mengerikan untuk sekedar sejenak menggedor jantung, dan lebih baik lagi jika ia mampu mempermainkan emosi penonton, walau sedikit saja. Tiga tahun lalu film ‘Ghost Writer’ hadir, dan kini kerjasama beda alam itu berlanjut lagi menjadi semakin luas dan besar. Lebih bagus? ‘Ghost Writer 2’: horor komedi catchy dan menghangatkan hati.


Kesuksesan besar novelnya menjadi best seller yang juga membuatnya kini dikenal banyak orang tidak serta merta membuat Naya (Tatjana Saphira) merasa senang karena di sisi lain banyak pula komentar negatif yang ia terima. Salah satunya adalah anggapan orang-orang yang kini lebih mengenalnya sebagai cenayang dibandingkan sebagai seorang penulis novel. Naya yang mencoba untuk terus sabar pada akhirnya jengah, salah satu aksi yang ia ambil adalah memutuskan untuk tidak akan menulis novel horor lagi. Keputusan tersebut sangat disayangkan oleh Bu Broto (Asri Welas) termasuk Alvin (Ernest Prakasa), yang akhirnya menawarkan Naya untuk terlibat di proyek antologi.

Celakanya sebuah musibah menimpa Naya: karena masalah persiapan pernikahan, calon suaminya, Vino (Deva Mahenra), mengalami kecelakaan di lokasi pembuatan film. Vino “meminta bantuan” Naya untuk mempertemukan sosok hantu bernama Siti (Annisa Hertami) dengan anak perempuannya. Siti yang datang merantau ke Jakarta dan ditipu oleh pria bernama Topan (Tanta Ginting), kini juga menjadi arwah gentayangan karena masih memiliki urusan yang belum selesai sehingga tidak bisa menuju ke alam baka. Ditemani Darto (Endy Arfian) dan Billy (Mohammad Iqbal Sulaiman), Naya mencoba menemukan anak dari Siti sembari berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan deadline proyek antologi tadi.

Berganti Sutradara dari Bene Dion Rajagukguk ke Muhadkly Acho tidak membuat di film keduanya ini ‘Ghost Writer’ mengalami perubahan yang besar, formulanya tetap sama tapi kini dengan sedikit tweak kecil di bagian cerita. Jika sebelumnya penulisan novel menjadi fokus utama, kali ini meski kembali kesulitan dalam proses menyusun karya terbarunya tapi Naya dihadapkan pada masalah yang lebih luas. Dan saya suka dengan cara Nonny Boenawan bersama Muhadkly Acho mengembangkan cerita, dari sebuah kejutan mereka membuka banyak ruang baru pada naskah untuk mengulik berbagai isu dan pesan yang juga baru. Tidak melulu tentang “kerja sama” antara si manusia dan si hantu dalam proses penulisan novel, kini hadir beberapa masalah baru yang berhasil membuat cerita memiliki tambahan bobot yang oke. 


‘Ghost Writer’ sendiri merupakan horor komedi yang oke tapi dari segi cerita tidak mencoba untuk bermain terlalu jauh, Bene Dion cenderung bermain aman di debut penyutradaraannya itu. Bersama dengan Muhadkly Acho kali ini Nonny Boenawan coba untuk sedikit lebih berani, membawa dua konflik besar masuk ke dalam cerita sehingga narasi jadi terasa lebih berwarna. Menariknya ada koneksi yang manis di sana, yakni tentang keluarga yang lantas di penghujung cerita berhasil klik dengan baik pula bersama masalah antara Vino dan Naya. Ada runtutan yang oke di sana, tidak hanya hubungan sebab dan akibat saja tapi juga secara perlahan mendorong senjata rahasia yang ternyata telah dipersiapkan untuk “menghujam” penonton di babak akhir. Saya salah satu penonton yang tersenyum setelah terjerat panah itu.

Itu mengapa ‘Ghost Writer 2’ ini terasa mengejutkan, karena yang saya dan mungkin mayoritas penonton antisipasi sejak awal adalah sajian horor komedi seperti di film pertamanya itu, tapi ternyata ada punch yang lebih kuat dalam bentuk emosi ketika semua berakhir. Tidak merata ditebar sejak awal memang tapi berkat kepiawaiannya dalam menyatukan tiap potongan cerita agar konsisten terasa seperti satu kesatuan yang oke saat masuk ke babak akhir, Muhadkly Acho sukses menyajikan emosi yang manis dan memorable di akhir. Kuat tentu saja tidak, namun tergolong oke menjadi selimut yang membungkus perjuangan Naya untuk memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang ia sayang. Itu merupakan ide utama cerita di sini dan terasa oke, terutama tentang bagaimana membawa masuk masalah baru bagi karakter.


Dan menempatkan mereka di dalam situasi “penting” dengan taruhan yang menarik pula. Meskipun yang paling memorable dari film ini adalah panggung penuh emosi di bagian akhir, tapi perjalanan menuju ke sana juga terasa cukup oke. Permainan atmosfir oke, dan seperti yang saya tulis di awal tadi bahwa tidak mudah untuk menggabungkan horor dan komedi. Muhadkly Acho memberikan pengarahan yang baik , meski tidak terasa kuat namun elemen horror terasa oke terutama dalam penggunaan sosok hantu bernama Siti untuk menebar berbagai jump scare. Sedangkan elemen komedi juga tidak tenggelam, mampu berdiri sejajar dan saling mengisi dengan elemen horor. Banyak comic relief bertebaran, penempatannya terasa oke dan saling mengisi dengan momen-momen menegangkan menunggu kemunculan hantu, ataupun ketika drama dengan emosi mumpuni itu hadir.

Dua elemen tersebut sukses mengunci atensi penonton hingga akhir tidak lepas dari keberhasilan Muhadkly Acho dalam mengendalikan narasi, iramanya terasa konstan dan tidak ada kesan tergesa-gesa di sana. Alhasil penonton punya kesempatan untuk merasakan, baik itu kesan seram maupun ikatan emosi yang terselip manis di balik hiruk-pikuk pencarian anak dari mendiang Siti itu. Memang beberapa scene terasa sedikit terlalu longgar, mungkin bisa dibuat menjadi lebih padat dengan memangkas durasi sehingga lebih efisien, tapi ekposisinya tetap hadir dengan irama yang terasa catchy, bergeser dari satu masalah menuju masalah lain dengan baik dan membuat penonton merasa seperti ada rasa terikat dengan perjuangan karakter, terutama pada misi utamanya yaitu keinginan Naya untuk “membantu” Vino dan Siti.


Pencapaian tadi itu tidak lepas dari kinerja akting para Aktor, dari Tatjana Saphira yang kembali tampil oke dalam memerankan karakter Naya, Deva Mahenra yang meski perannya berpindah sisi tetap berhasil membuat Vino terasa menonjol di tiap kesempatan yang ia punya, serta duo Endy Arfian dan Mohammad Iqbal Sulaiman yang dengan menggunakan rencana menjadi vlogger genre horor mampu menjadi sumber lelucon yang oke menggunakan tingkah kikuk mereka. Pemeran pendukung seperti Asri Welas, Ernest Prakasa, Arie Kriting, hingga Annisa Hertami menjalankan tugas mereka dengan baik. Tapi yang meninggalkan kesan paling membekas di sini adalah kinerja akting Widyawati, sebagai Ibu yang terpaksa memberi restu ia konsisten menampilkan air muka yang menawan, termasuk ketika “ledakan” itu muncul serta ketika konklusi yang menghangatkan hati itu tiba.

Overall, ‘Ghost Writer 2’ adalah film yang cukup memuaskan. Tetap punya beberapa kekurangan tapi kesan akhir film ini terasa oke, pola “kerja sama” antara manusia dan hantu itu digunakan kembali tapi kali ini lebih besar, dengan suntikan konflik, isu, dan pesan yang membuat cerita mendapat tambahan bobot yang oke. Apalagi ternyata ada “senjata rahasia” yang telah dipersiapkan, jadi meskipun didominasi comic relief serta momen-momen menegangkan menggunakan sosok hantu, dibantu kinerja akting yang oke, hasil akhirnya justru terasa hangat dengan kualitas emosi yang memorable. Ini adalah lanjutan yang oke bagi Muhadkly Acho setelah debut sebagai Sutradara di film ‘Gara-Gara Warisan’, sebuah horor komedi yang catchy dan menghangatkan hati. Jarang ada film horror komedi Indonesia “menghangatkan hati” seperti ini.





1 comment :