24 July 2022

Movie Review: Ivanna (2022)

“Kembalikan kepala saya!”

‘Danur’ dapat dikatakan merupakan seri film yang konsisten mencetak profit, sejak pertama kali muncul lima tahun yang lalu sudah tiga buah film rilis dan masing-masing berhasil menarik penonton di atas dua juta jiwa. Tidak heran jika kemudian muncul spin-off di mana yang pertama mencoba mengulik asal-usul karakter hantu bernama Asih, yang di film pertamanya juga menghasilkan pencapaian box office yang sangat mumpuni, meski film keduanya terkena dampak dari pandemi di tahun 2020. Lantas kali ini muncul spin-off berikutnya, dan karakter hantu yang coba diulik berasal dari film kedua, yakni Ivanna, sosok yang di luar dugaan justru membawa nafas segar bagi Danur Universe. ‘Ivanna’: well cooked spin-off.


Wanita muda bernama Ambar (Caitlin Halderman) bersama adik laki-lakinya Dika (Jovarel Callum) sedang dalam perjalanan menuju Panti Werdha Goede Tijoen van Dijk, sebuah panti jompo milik sahabat dari mendiang orangtua mereka yang saat ini dikelola oleh Agus (Shandy William) dibantu Suster Rina (Taskya Namya). Panti jompo tersebut dihuni oleh Nenek Ani (Yati Surachman), Kakek Farid (Yayu Unru), dan Oma Ida (Rina Hassim), di mana nama terakhir juga sedang menunggu cucunya Arthur (Junior Roberts) yang akan berkunjung untuk merayakan Idul Fitri bersama. Bangunan panti tersebut adalah sebuah rumah tua peninggalan Belanda dengan satu buah gedung tua lainnya berdiri di sampingnya.

Dika sebenarnya sudah memberitahu Ambar perasaan ganjil miliknya terhadap sumur di samping gedung panti, meski Ambar yang punya daya penglihatan kurang oke sebenarnya telah merasakan hal-hal aneh sejak mereka berada di dalam bus menuju panti. Memiliki kemampuan melihat hal-hal mistis setelah operasi mata, Ambar merasa terpanggil saat intercom di dalam panti berbunyi, mengeluarkan suara aneh mencoba meminta bantuan. Suara tersebut ternyata menjadi awal bagi Ambar yang lantas “bertemu” dengan Ivanna (Sonia Alyssa), perempuan Belanda yang di setengah dekade sebelumnya disiksa oleh tentara Belanda. Satu persatu misteri dendam Ivanna pun terungkap, dan keselamatan para penghuni panti kini terancam.

Saya bukan penggemar berat ‘Danur Universe’ karena jika bicara kualitas cerita lima buah film dari waralaba itu yang telah rilis punya kualitas yang paling oke berada di level cukup saja. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah melalui ‘Danur Universe’ MD Pictures di bawah arahan Manoj Punjabi membuktikan kepiawaiannya dalam mengutak-atik materi cerita agar dapat berkembang menjadi sebuah mesin pencetak profit. ‘Danur Universe’ tidak bisa dianggap sepele dalam hal itu, seperti yang saya sebutkan di awal tadi jumlah penonton yang telah datang untuk menonton lima filmnya tergolong besar, dan jelas ada alasan di balik pencapaian tersebut. Apa? Yakni branding kuat terhadap kata ‘Danur’ itu sendiri, berawal dari buku karya Risa Saraswati dan kini telah mengukuhkan diri sebagai salah satu dari beberapa “nama” yang lekat di telinga para penonton Indonesia jika berbicara tentang film horror.


Tidak heran jika kemudian kata ‘Danur Universe’ itu menempel tepat di bawah judul film ini di bagian awal, tidak hanya sekedar mencoba memberitahu kepada penonton saja, tapi juga merupakan sebuah trik untuk dengan cepat langsung menciptakan semacam koneksi dengan penonton yang sebelumnya telah menyaksikan film-film di ‘Danur Universe’ tadi, terutama film ‘Danur 2: Maddah’ di mana karakter Ivanna muncul. Tapi meskipun memiliki privilege seperti itu bukan berarti jalan sebuah film spin-off otomatis akan mudah, ambil contoh film ‘The Nun’ dengan karakter Valak yang kualitasnya tidak memuaskan, meskipun Valak telah terlebih dahulu menjadi antagonis di ‘The Conjuring 2’ and have a cameo di ‘Annabelle: Creation’. Kita bicara kualitas di sini, karena dari angka box office tetap profit besar.

Itu yang membuat saya terpukau dengan ‘Ivanna’ karena setelah lima buah film pada akhirnya ‘Danur Universe’ memiliki film dengan kualitas yang tidak hanya sekedar cukup saja. Lele Laila masih menjadi penulis cerita dan dari segi formula tidak ada yang terasa mencolok dari naskah yang ia tulis, beberapa kekurangan yang selama ini jadi bagian dari ‘Danur Universe’ juga masih kembali hadir di sini, yakni dialog antar karakter, yang tujuh dari sepuluh di antara mereka terasa kaku buat saya. Ya, cukup banyak memang kuantitasnya tapi meski demikian mereka tidak berada di level menjengkelkan, tapi andai saja percakapan antar karakter dapat berisikan tick-tock yang lebih fluid lagi mungkin penonton dapat merasa lebih “tenggelam” lagi di dalam suasana mencekam rumah tua itu, tidak hanya sekedar mengandalkan sosok Ivanna saja.


Ya, merasa lebih terperangkap lagi bersama karakter. Terasa mudah bagi penonton untuk langsung klik dengan suasana mencekam di dalam cerita, bukan hanya karena setting yang sejak awal memang sudah mencoba menebar banyak teaser tipis untuk menunjukkan bahwa karakter sedang bergerak mendekat ke dalam masalah saja, tapi juga karena keberadaan sosok Ivanna itu sendiri. Penggambaran latar belakang masalah di bagian awal memang singkat tapi terasa sangat efektif dalam mendorong kisah kelam yang berisikan tragedi memilukan. Dan tidak hanya sekedar membuat penonton memahami penyebab mengapa rumah yang kini digunakan untuk merawat para manusia lanjut usia itu memiliki pesona ganjil dan menakutkan namun juga membuatmu masuk ke mode waspada! Dan dari sana, bermain dengan paranoia.

Itu hal sederhana yang sangat penting untuk dicapai oleh tiap film horror sejak babak awal, sekalipun ia masih sibuk mengurai cerita tapi setidaknya ia langsung mencengkeram atensi penonton dengan kuat dengan cara membuat mereka merasa waspada. Kimo Stamboel sukses melakukan itu, dibantu dengan production design yang oke dalam memilih rumah tua dengan aura kelam, dirinya berhasil membawa masuk penonton ke dalam cerita dengan masalah yang sebenarnya bermain di ruang yang tergolong sempit itu. ‘Ivanna’ tidak luas dan langsung kokoh berdiri sebagai sebuah haunted house movies, tapi di sana letak keuntungan yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kimo. Haunted house memang sebuah strategi paling klasik di genre horror, tapi hingga kini masih belum lekang oleh waktu dan selalu mampu menghadirkan “permainan” yang menarik.


Karena dengan mengurung karakter di dalam satu lokasi otomatis mempermudah narasi untuk dapat lebih fokus dalam menebar terror dan mempermainkan paranoia penontonnya. Yang harus dilakukan adalah memoles berbagai kejadian ganjil klasik dengan memanfaatkan sosok supernatural untuk menempatkan karakter manusia dalam posisi tertekan. Beruntung di sini ada sosok Ivanna, yang meskipun dibekali dengan latar belakang yang tidak begitu banyak di awal tapi justru melalui patung yang mengerikan itu menjadi instrument penting untuk cerita mempertahankan alertness para penontonnya. Klasik memang, dan eksekusinya juga tidak benar-benar segar, tapi jangan anggap remeh trik tersebut karena jika tidak ditata dengan baik maka peluangnya juga sama besarnya untuk jatuh menjadi sesuatu yang tidak hanya klise saja tapi juga repetitif dan menjengkelkan.

Di sini hal tersebut tidak terjadi, Kimo dengan piawai memainkan dinamika cerita terhadap kapan ia harus menggunakan sosok Ivanna untuk menggedor jantung para penonton. Tarik dan ulur pun kerap terjadi, membuatmu waspada dan bersiap tapi kemudian zonk, menggodamu kembali dengan pemutar musik lalu mengguncang paranoia lewat sosok Ivanna. "Stop and go" semacam itu yang selalu mayoritas penonton nantikan dari sebuah film horor, dan senang rasanya Kimo dan tim sajikan itu dengan baik. Kamera menjadi mata bagi penonton membaca situasi, arahan Patrick Tashadian terus menempatkanmu seolah sedang ikut uji nyali di sebuah rumah tua. Apalagi dengan kondisi penglihatan Ambar yang samar itu, teror kerap muncul dari sana dan terasa oke, sangat efektif menciptakan situasi tegang dan membuat penonton merasa waspada akan kemunculan hantu.


Musik gubahan Fajar Yuskemal juga ikut andil dalam pencapaian manis tersebut, begitupula dengan suntingan Arifin Cuunk di meja editing. Kinerja akting para Aktor memang tidak luar biasa tapi cukup oke untuk mendorong pesona karakter mereka masing-masing, berfungsi dengan baik terhadap jalannya cerita yang dikendalikan dengan baik oleh Kimo Stamboel. Terutama dalam hal teror, bukan hanya melalui karakter Ivanna saja tapi juga menggunakan film atmosphere, pencahayaan menipu dengan penggunaan musik dan bayangan, he creates a sinister atmosphere. Mungkin hal itu dampak dari pemilihan konsep yang memudahkan Kimo untuk membuat semuanya bergerak cepat, sehingga tidak banyak momen di dalam narasi yang terasa longgar dan membuat penonton lepas dari cengkeram atmosfir menegangkan, sejak awal hingga akhir.

Overall, ‘Ivanna’ adalah film yang memuaskan. Merupakan anggota baru dari ‘Danur Universe’ namun menariknya justru spin-off ini yang berhasil menyajikan kualitas horror paling memikat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Naskah tidak kuat tapi efektif dalam membentuk runtutan masalah yang kemudian ditata dengan baik oleh Kimo Stamboel ke dalam bentuk visual, untuk menjerat atensi penonton sejak awal dan membawa mereka perlahan semakin tenggelam di dalam atmosfir mencekam hasil eksekusi mumpuni berbagai trik klasik genre horror. Terasa padat dengan cengkeram atmosfir menegangkan yang memikat, ‘Ivanna’ berhasil menebar teror, menggedor jantung, dan mempermainkan paranoia penontonnya.






1 comment :

  1. “Setiap darah saya yang menetes, akan menbuat hidup kalian semua tidak tenang!”

    ReplyDelete