23 June 2022

Movie Review: Ngeri-Ngeri Sedap (2022)

“Sudah sukses-sukses kalian ya, sampai lupa sama yang bikin sukses.”

Rindu itu berat memang benar adanya, apalagi ketika harus terpisah oleh jarak yang jauh. Contohnya mereka yang pergi merantau sehingga meninggalkan keluarga yang mereka sayangi, dari pasangan, saudara, dan tentu saja Orangtua. Tapi sebenarnya yang merasakan rindu itu bukan hanya mereka yang pergi saja, namun juga mereka yang ditinggal merantau. Di film ini yang merindu adalah Orangtua, melepas anak-anak merantau setelah sukses mendidik mereka di kampung halaman, suatu ketika ingin mereka kembali dan mewujudkan “mimpi” Orangtua mereka. Tapi apakah kita hidup hanya untuk mewujudkan mimpi Orangtua? Tapi bukankah ada ajaran untuk selalu menghormati Ayah dan Ibu? Sebenarnya siapa yang paling penting di dalam sebuah keluarga? Keinginan Orangtua? Atau kebahagiaan anak? ‘Ngeri-Ngeri Sedap’: seperti Mie Gomak, tampak sederhana tapi enak.


Pak Domu (Arswendy Beningswara Nasution) dan Mak Domu (Tika Panggabean) kini mengisi hari tua bersama anak kedua mereka, Sarma E. Purba (Gita Bhebhita Butar-butar) di kampung halaman mereka di Sumatera Utara, sedangkan tiga anak laki-laki mereka merantau di pulau Jawa. Si sulung tentu saja bernama Domu (Boris Bokir) kini menetap di Bandung dan telah menyusun rencana pernikahan dengan seorang gadis Sunda, hal yang sangat ditentang oleh Pak Domu yang berprinsip bahwa orang Batak harus menikah dengan orang Batak pula. Anak ketiga, Gabe (Lolox) tinggal di Jakarta dan berprofesi sebagai pelawak, sayangnya popularitas yang berhasil ia raih tidak mengubah sikap Pak Domu, ia benci keputusan Gabe keluar dari kuliah hukum.

Sedangkan si bungsu, Sahat (Indra Jegel) setelah menamatkan kuliah di Yogyakarta tidak berniat untuk pulang, justru memilih untuk membantu seorang pria bernama Pak Pomo (Pritt Timothy). Lewat panggilan telepon Pak Domu dan Mak Domu sudah mencoba meminta ketiga anaknya itu untuk pulang ke kampung halaman mereka, apalagi akan diselenggarakan acara adat oppung mereka sehingga Domu, Gabe, dan juga Sahat diminta untuk hadir. Merasa lelah permintaan mereka tidak juga digubris, Pak Domu dan Mak Domu akhirnya sepakat untuk menggunakan cara lain: mereka memutuskan untuk berpura-pura akan bercerai! Tapi rencana yang awalnya tampak sederhana itu justru menjadi pintu masuk yang “membuka mata” anggota keluarga Domu.

Sedikit cerita, saya baru sempat menonton film ini di hari Jumat tanggal 10 Juni yang lalu, karena selama lima hari sebelumnya saya pulang ke rumah keluarga berkunjung ke Orangtua saya. Bukan di daerah Sumatera Utara memang, karena meskipun lahir di Ibu Kota provinsi tersebut saya justru tumbuh besar di pulau yang akan menjadi tempat Ibu Kota negara yang baru kelak, dan sejak di bangku sekolah menengah atas saya telah “keluar” dari rumah Orangtua untuk studi di kota lain. Hingga akhirnya saya kini menetap di pulau jawa, tinggal jauh dari Orangtua. Kurang lebih sudah 17 tahun saya menjalani itu dan hanya “pulang kampung” saat libur sekolah atau kuliah dan hari raya keagamaan saja, sesuatu yang mungkin akan tampak menyenangkan bagi beberapa orang karena otomatis dapat bebas menjalani hidup sesuai keinginan diri sendiri saja. Tapi kenyataannya tidak demikian. Karena rindu itu berat.


Memang di satu titik saat proses tumbuh dari remaja menuju dewasa kamu mungkin mendambakan kebebasan dalam menjalani hidup, salah satunya tidak ingin diatur oleh Orangtua, dan mereka sebenarnya paham akan hal tersebut. Untuk bisa menjadi manusia yang mandiri tentu kita harus berteman pula dengan masalah dalam hidup, sesuatu yang akan menempamu untuk menjadi lebih kokoh dan pada akhirnya akan mampu berdiri sendiri. Tanpa bantuan Orangtua. Tapi sebenarnya tidak peduli umur anaknya yang tidak lagi cilik, Orangtua tetap akan memandang anak mereka yang telah dewasa itu sebagai sosok “cilik” milik mereka, yang tetap butuh bimbingan dan kasih sayang mereka. Hal terakhir tadi kerap sulit untuk ditunjukkan oleh Orangtua secara langsung, percaya sang anak telah dewasa mampu dalam memilih bahagia. Alhasil mereka sering menahan rindu.

Hubungan antara Orangtua dan anak dengan berlandaskan rasa rindu itu yang lantas dikembangkan oleh oleh Sutradara dan penulis cerita Bene Dion Rajagukguk untuk menjadi masalah utama di sini. Lantas dari sana lahir ide yang liar namun cemerlang menjadi pintu masuk tawa, yakni aksi bepura-pura akan bercerai yang dilakukan oleh karakter Orangtua. Itu menjadi jangkar yang sangat kuat bagi cerita, membuat penonton mengantisipasi “ledakan” macam apa yang telah dipersiapkan oleh Pak Domu dan Mak Domu ketika rencana mereka telah berhasil kelak. Memang jembatan menuju babak akhir kurang kokoh tapi Bene dan timnya berhasil membuatmu menjadi bagian keluarga Pak Domu, mengamati apa saja masalah yang kerap kamu temui di dalam keluarga, rumah pertamamu yang seiring berjalannya waktu justru perlahan berubah statusnya. Isu dan pesan punya bobot yang lumayan berat tapi tetap mudah diakses. 


Terasa sangat dekat dan mudah diakses oleh penonton, karena faktanya memang demikian, ketika dewasa sulit untuk mencocokkan jadwal agar dapat pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga secara utuh. Dan saya suka pendekatan yang digunakan oleh Bene di sini, meskipun menggunakan budaya Batak namun isu dan pesan yang coba disampaikan terasa sangat universal dan mudah diterima oleh para penonton yang tidak berasal dari suku Batak. Masalah yang sederhana dieksekusi pula secara sederhana, tapi Bene telah siapkan beberapa punch yang tidak sederhana di babak akhir, seperti sebuah kompilasi tentang makna keluarga baik bagi karakter Orangtua dan tentu mereka para anak-anak. Termasuk tentang arti dari mencintai dan dicintai, Orangtua kepada anak, anak kepada Orangtua, dan cinta di usia senja, periode ketika manusia akan kembali memiliki sifat seperti anak kecil yang manja.

Yang saya suka jari telunjuk saya sebagai penonton tidak dituntun untuk mengarah pada karakter, dan memvonis satu dari mereka sebagai sumber masalah. Keluarga Pak Domu sedang punya masalah dan tidak ada yang benar di antara mereka, justru Bene menggunakan kepulangan tiga anak laki-laki dari perantauan itu sebagai ajang atau kesempatan bagi mereka untuk menelaah diri, terutama tentang ego, baik itu tentang harga diri, prinsip, realita kehidupan, hingga toleransi. Budaya dan juga adat istiadat suku Batak dikemas secara manis di sini, nilainya dijunjung tinggi tapi tanpa kesan menggurui, dari yang universal seperti hormatilah Ayahmu dan Ibumu hingga konsep tradisional lewat pernyataan “kalau bukan batak, ngak tahu nanti dia adat.” Bene menunjukkan bahwa nilai-nilai itu tetap penting dan harus dilestarikan, namun ada beberapa yang harus di cari “titik temu” sesuai dengan kondisi saat ini.


Sama seperti emosi dari drama serta komedi sumber tawa, sering kali beradu namun saling mengisi sehingga keduanya berhasil mencetak punch yang sama kuat di akhir. Bene juga piawai dalam menata komposisi tiap isu dan pesan pada polemik di dalam keluarga Pak Domu, sehingga meski tampak sederhana tapi cerita terasa enak ketika berputar-putar di dalam pikiran para penonton. Terlebih dengan kinerja para aktor yang terasa oke sebagai satu keluarga, dari sikap keras kepala Orangtua bercampur kasih sayang, betapa masakan Ibu tetap nomor satu, ada rasa familiar yang berhasil Bene dan tim bangun dan juga pertahankan hingga akhir sehingga apa yang mereka sampaikan di sini tidak hanya berhasil menyentuh hati penonton Batak berstatus Orangtua serta mereka para anak muda Batak di perantauan, tapi jauh lebih luas dan universal dari itu, yakni keunikan dan keindahan di dalam sebuah keluarga.

Overall, ‘Ngeri-Ngeri Sedap’ adalah film yang memuaskan. Berawal dari rindu di sini kamu akan dibawa menelisik dengan tawa dan mungkin air mata tentang apa yang tersimpan di balik arti kata keluarga, berisikan berbagai macam fakta yang didorong oleh Bene Dion Rajagukguk secara manis dengan menggunakan dasar kasih sayang di dalam sebuah keluarga, baik itu Orangtua kepada anaknya, anak kepada Orangtua, kepada saudara, dan tentunya antara suami dan istri. Budaya dan adat istiadat Batak dibentuk dengan baik, dari ideologi, hormat, dan nilai tradisi, tapi eksposisi terhadap isu dan pesan yang sederhana serta universal membuat narasi sangat mudah untuk menjangkau hati dan emosi penonton dalam cakupan yang lebih luas. Tertawa dan menangis, berfokus pada open-mindedness secara sederhana tapi tepat guna Bene Dion berhasil menciptakan salah satu film keluarga terbaik Indonesia.





1 comment :

  1. “Kalau anak berkembang, Orangtua pun harus berkembang. Jadi Orangtua itu ngak ada tamatnya. Harus terus belajar.”

    ReplyDelete