06 March 2022

Movie Review: The Worst Person in the World (2021)

“Yes, I do love you. And I don't love you.”

Tinggal swipe di Tinder sebenarnya seseorang sudah bisa satu langkah lebih dekat dengan sosok kekasih idamannya, namun hasil akhirnya tentu bukan jaminan. Cinta memang bisa datang dengan cara yang tidak biasa, dan terkadang kamu hanya butuh memberikan akses agar cinta itu dapat hadir dan memperkenalkan diri kepadamu. Tapi bukankah hidup merupakan sebuah proses pencarian yang secara konstan membuatmu menginginkan lebih? Mengeksplorasi semua opsi? Kamu ragu apakah dia sosok yang tepat, kamu masih ingin menikmati hidup bebas, kamu tidak ingin terikat dengan komitmen terlalu dini. Bahkan ada yang bertahan meskipun sadar berada di situasi “rasa yang tepat di waktu yang salah.” Pertanyaannya: apakah itu salah? ‘The Worst Person in the World’: a romance about maturing process.


Masih muda atau tidaknya usia wanita bernama Julie (Renate Reinsve) tentu dapat berbeda-beda bagi setiap orang, namun di usianya yang ke-29 sosok yang berasal dari middle-class family yang tidak perlu terlalu khawatir tentang keuangan tersebut kerap membuat keputusan yang impulsif. Pada awalnya Julie adalah seorang medical student yang lantas pindah ke psychology, tapi setelah melihat-lihat camera roll di handphone miliknya wanita berparas rupawan itu malah pindah haluan, yakni ingin menjadi seorang fotografer.

Julie kemudian jatuh cinta pada seorang comic book writer bernama Aksel (Anders Danielsen Lie), berusia 44 tahun dan merasa bahwa perbedaan usia mereka terlalu besar. Mereka menjadi sepasang kekasih yang sepakat tidak memiliki bayi, kondisi yang seharusnya membuat Aksel lebih sering mempertanyakan hubungan itu karena ia menyukai anak-anak. Tapi justru yang lebih sering bimbang dengan perasaannya sendiri adalah Julie, meski merasa aman dengan Aksel yang dapat membimbingnya namun Julie kepincut dengan pria bernama Eivind (Herbert Nordrum), yang mampu membuatnya merasa nyaman dengan cara yang lebih adventurous.

Menjadi bagian penutup bagi "Oslo Trilogy" miliknya, di sini sebenarnya Sutradara Joachim Trier mendorong sebuah polemik yang tidak sepenuhnya baru tentang cinta dan lebih kepada memoles kembali berbagai macam masalah, isu, dan pesan klasik tentang itu. Dan apa yang disampaikan lewat script yang ia tulis bersama Eskil Vogt ini sejak awal punya potensi yang sangat besar untuk jatuh menjadi kisah romance yang sulit untuk diakses oleh penonton. Narasi sendiri dibagi menjadi 12 buah babak dengan prolog di awal serta epilog di bagian akhir, runtutan pengisahan meski tetap linear namun memiliki juggling sehingga tidak terkoneksi secara penuh antar bagian cerita. Durasi dari tiap babak tidak merata dan memiliki fungsi yang beragam pula. Tapi sejak awal hingga akhir saya hanyut tenggelam bersama perjuangan cinta Julie.


Perjuangan di sini konteksnya sangat sederhana, yakni menentukan pilihan dalam menjalani hidup, tapi yang menarik adalah di dalamnya terkandung cukup banyak hal menarik tentang cinta dan hidup yang terasa sangat familiar dengan kehidupan masyarakat sekarang ini, terutama bagi para millennials. Julie sangat mewakili image generasi tersebut, ia wanita muda berwajah rupawan yang melankolis dan mudah berteman dengan rasa bimbang. Jelas ada harapan bagi Julie dengan hadirnya dua orang pria sebagai opsi, tapi di sini Joachim Trier menggunakan Julie sebagai sebuah penggambaran bahwa dengan semakin berkembangnya pemikiran dan standard dari hal-hal yang dahulu sederhana kini banyak manusia justru menikmati "kerumitan" yang menyulitkan dirinya sendiri. Termasuk dengan cinta.

Dari sana muncul pertanyaan di awal tadi, yakni apakah yang sikap Julie yang seolah bermain dengan perasaannya itu adalah sesuatu yang salah? Usia karakter utama itu digunakan oleh Joachim Trier untuk mendorong isu quarter-life crisis, periode saat manusia kerap kali merasa tidak aman, merasa ragu serta kecewa pada pencapaian yang telah diraih di berbagai hal, baik itu pada karier, keuangan, dan hubungan cinta. When you start to question who you are and still need time to find yourself. Jelas tidak ada orang berotak sehat yang ingin menjadi manusia terburuk di dunia, Julie pun demikian dan ia menarik empati dan simpati penonton terhadap situasinya itu. Ada permainan standar tentunya, bahwa yang menentukan caramu menikmati hidup adalah dirimu sendiri, bukan, teman, society, bahkan orangtua.


Namun di situ letak masalahnya, ketika seseorang mempersilahkan dirinya untuk memiliki banyak kebebasan dan peluang maka akan menjadi lebih sulit pula baginya untuk membuat keputusan. Julie tidak ingin memiliki anak di sini dan sikapnya itu menempatkan Aksel, pria yang sangat menyukai anak-anak, sebagai korban. Di sisi lain meskipun cara penyampaiannya yang lebih dewasa membuat Julie kesal, Aksel adalah pria yang dapat membuat Julie merasa aman, namun tidak mampu memberi rasa nyaman yang lebih baik dibanding Eivind. In a episodic way hubungan plus dan minus itu berkembang, dan seperti di kehidupan nyata maka sulit bagi Julie tidak excited dengan dunianya yang berakselerasi penuh warna, full of possibilities yang tidak pernah bisa dia putuskan.

Di sanalah letak keindahan ‘The Worst Person in the World’, sebuah penggambaran tentang maturing process yang tidak secara eksplisit menunjukkan diri demikian, lebih sering terasa seperti diary dari seorang wanita yang galau dalam menentukan pilihan. Keputusannya pindah dari medical student menjadi seorang fotografer saja merupakan sebuah clue bagaimana Julie ingin menjalani hidupnya, jadi sisi positif terkait sikapnya yang tidak takut menantang dirinya sendiri, siap menerima resiko buruk. Namun sikap tersebut pada dasarnya tidak bisa dikatakan lengkap tanpa ada komitmen di dalamnya, di sana Julie menghabiskan banyak waktu mengkhawatirkan apa yang bisa terjadi tidak sesuai yang ia inginkan. Galau, insecurity, makanan anak millennials yang membuat mereka kerap “melarikan diri” sejenak dari hidup.


Joachim Trier berhasil menonjok saya di film ini, mengingatkan kembali saya pada potensi bahaya situasi terjebak bersama banyak opsi dan rasa ragu yang membuat seseorang tenggelam dalam ketidakpastian. Ada confident di balik eksekusi Joachim Trier baik pada sektor cerita hingga cara ia mengarahkan elemen teknis, contohnya seperti voice-over yang kerap hadir memberi detail tambahan dan fast-paced editing yang menyenangkan. Tapi jika harus memilih faktor utama yang menyebabkan film ini terasa charming jawabannya karena karakter utamanya, Julie dengan pesona liar dan nakal yang terasa menyenangkan untuk diikuti, ditampilkan dengan sangat baik oleh Renate Reinsve tidak berlebihan menunjukkan sikap bebasnya sehingga mampu mempertahankan simpati dan empati penonton terhadap dirinya hingga akhir.

Overall, ‘The Worst Person in the World (Verdens verste menneske)’ adalah film yang sangat memuaskan. Selalu menarik jika berbicara tentang cinta namun tidak semua dari film romance mampu meninggalkan impresi yang kuat baik saat ia tampil di layar maupun ketika telah selesai. Apa yang disajikan oleh Joachim Trier klasik tapi justru cantik dan memorable berkat kemampuannya dalam membuat perjuangan Julie terasa dekat dengan apa yang dapat penonton temukan di kehidupan mereka, situasi ketika seseorang mempersilahkan dirinya untuk memiliki banyak kebebasan dan akhirnya kesulitan untuk membuat keputusan, struggling to figure out their own life. Berawal dari quarter-life crisis, berkembang sebagai sebuah maturing process, penutup "Oslo Trilogy" ini merupakan sebuah dark romantic comedy-drama yang akan saya kenang.





1 comment :

  1. “I wasted so much time worrying about what could go wrong. But what did go wrong, was never the things I worried about.”

    ReplyDelete