11 March 2022

Movie Review: The Tinder Swindler (2022)

“The man I loved was never real.”

Tidak perlu cantik untuk dapat “terlihat” cantik, tidak perlu tampan untuk “terlihat” tampan, sekarang sudah banyak aplikasi yang dapat melakukan “tweak” terhadap wajah hingga tubuh yang dapat dipilih hingga orang tersebut menemukan “image” palsu tersebut yang dapat membuat mereka merasa puas. Tidak salah, memang telah menjadi sifat manusia memiliki keinginan untuk menampilkan dirinya dalam bentuk yang lebih baik, dan itu perannya juga penting kini, bahkan beberapa job interviews sekarang juga menaruh visual sebagai salah satu faktor penting. Aksi yang sedikit curang tadi juga berperan penting ketika seseorang sedang mencari cinta, berpose memakai sunglasses dengan background café tepi pantai jelas meninggalkan impresi seorang sosialita? Bagaimana dengan foto di dalam private jet? ‘The Tinder Swindler’ : the dangerous side of emotional manipulation.   

 

Cecilie Fjellhøy merupakan wanita berusia 29 tahun asal negara Norwegia, ia tinggal di London dan telah menggunakan aplikasi Tinder selama tujuh tahun. Dia, sangat, menyukai Tinder. Namun sayangnya dari semua pria yang ia suka di aplikasi dating tersebut yang berhasil membuat Cecilie sangat jatuh hati adalah Simon LeViev, pria berusia 28 tahun yang memenuhi syarat pria stylish yang Cecilie sukai. Tidak heran kemudian akun instagram milik Simon langsung dicek oleh Cecilie, jumlah followers yang banyak hingga gaya hidup yang Simon tunjukkan lewat foto maupun video di akunnya tersebut membuat Cecilie merasa tertarik untuk bertemu.

Cecilie kemudian melakukan swipe-right pada akun Tinder milik Simon, dan tidak butuh waktu lama respon diterima Cecilie. Pria sibuk yang menyebut dirinya sebagai putra maestro berlian asal Rusia-Israel bernama Lev Leviev itu mengirim pesan pada Cecilie dan menawarkan untuk “to meet for a coffee” karena keesokan harinya akan meninggalkan London. Lokasinya di hotel bintang lima, Four Seasons Hotel London, dan menjadi awal mula bagi Cecilie terjebak di dalam sebuah skema yang disusun oleh pria necis yang mengaku sebagai COO LLD Diamonds tersebut. Cecilie bukan satu-satunya wanita yang “ditipu” oleh pria dengan nama asli Shimon Hayut itu.

Kebebasan yang tersedia tadi memang terasa menjengkelkan terkadang tapi di sisi lain merupakan sesuatu yang akan sulit untuk terelakkan dengan perkembangan teknologi sekarang ini. Adaptasi dan koreksi jelas menjadi bagian dari perubahan itu sendiri, kamu yang awalnya tidak terbiasa dan menganggap orang-orang tersebut sebagai sosok alay atau aneh karena membuat “image” palsu mereka, perlahan jadi terbiasa dan menganggap itu sesuatu yang biasa, bagian dari proses koreksi pada standard yang ada. Dampak domino kondisi tersebut adalah tingkat waspada setiap orang yang tentu semakin tergerus karena pihak-pihak yang menggunakan image palsu tadi tidak lagi terasa mencolok, tidak lagi terasa aneh. Hal tersebut yang lantas dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk meraih keuntungan.


Sutradara Felicity Morris mencoba mendorong isu tersebut di sini, menempatkan ‘The Tinder Swindler’ tidak hanya sebagai penggambaran bahaya dari berbagai hal yang berpusat pada aplikasi Tinder saja, namun juga sebagai sebuah alarm terhadap kondisi terkini di mana manusia semakin mudah untuk menormalisasikan hal-hal yang justru berbahaya, seperti aksi cheating tadi. Itu mengapa ketika menonton film ini ada berbagai rasa yang hadir bersamaan di benak saya, saya dibuat jengkel tapi juga menyesalkan respon dari para korban yang begitu mudah jatuh ke dalam tipu muslihat Simon Leviev. Presentasinya memang terlihat sederhana tapi menariknya dibantu editing yang oke dari Julian Hart ‘The Tinder Swindler’ menjadi demonstrasi tentang peluang dan kelalaian yang exist di dating platform online seperti Tinder.

Kisahnya sendiri dibangun dengan baik, berawal dari pertemuan korban dengan pria licik yang berengsek bernama Simon Leviev penonton ditarik secara perlahan untuk larut di dalam sisi indah kemudahan yang diberikan oleh Tinder, bagaimana dengan cara swipe saja kamu sudah satu langkah lebih dekat dengan pasangan hidup atau mungkin sekedar friends with benefit. Para korban mencari opsi pertama, berbeda dengan Simon Leviev yang menempatkan para wanita pada opsi kedua. Sebenarnya bukan hanya di Tinder saja hal seperti itu bisa terjadi, beberapa media sosial lainnya juga memiliki celah serupa yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan. Itu mengapa sejak awal hingga akhir Felicity Morris tidak menempatkan Tinder sebagai aplikasi yang “berbahaya”, justru cara penggunaannya yang menjadi sorotan.


Tidak ada momen di mana Felicity Morris mencoba melakukan glorifikasi terhadap aksi Simon Leviev, sejak awal hingga akhir ia ditempatkan pada posisi bersalah, tapi yang jauh lebih mengejutkan ketimbang ponzi scheme yang digunakan adalah fakta bahwa cinta dapat menimbulkan ilusi berbahaya dan lantas mengubah orang pintar menjadi bodoh. Itu hal paling mengejutkan di sini, ketika para korban wanita yang saking terpikatnya pada Leviev sehingga rela percaya pada kebohongan yang aneh sekalipun. Hal serupa pun bisa dialami oleh para pria sehingga tidak ada masalah gender di sana, kebetulan saja di sini pelakunya adalah seorang false prince di mana secara cerdik dan juga licik berhasil “membangun” image palsu sebagai seorang pria yang berasal dari keluarga konglomerat permata. Jelas sebuah momok menakutkan.

Let’s be real, alasan mengapa Cecilie Fjellhøy, Pernilla Sjöholm, dan Ayleen Charlotte terjebak di dalam perangkap milik Simon Leviev adalah selain karena mereka merasa tergiur pada kekayaan Leviev juga karena merasa nyaman dengan “perhatian” dari penipu tersebut. Dua hal itu yang ditata dengan baik oleh Felicity Morris sehingga ia berhasil mengeksploitasi secara manis tragedi yang tersimpan di balik peristiwa itu, mempersilahkan para korban untuk menyampaikan kronologis cara mereka tertipu serta terperdaya akan harta dan cinta. Simon Leviev sendiri tidak punya kesempatan untuk berbicara secara langsung tapi kumpulan pesan dan juga voice notes sudah lebih dari cukup untuk mengeksploitasi sisi negatif yang mungkin muncul dari penggunaan "kurang tepat" dari dating platform, dalam hal ini Tinder, yang dapat berubah fungsi menjadi sarang kejahatan.


Pencapaian tersebut juga tidak terlepas dari cerita yang dibangun oleh tiga wanita yang menjadi korban di sini, kisah yang mereka bagikan tidak hanya sukses menarik penonton menaruh simpati dan mungkin empati terhadap permasalahan yang dulu mereka hadapi saja, tapi juga membuka mata penonton semakin lebar terhadap isu bahaya yang tersimpan di balik dating platform jika tidak digunakan secara tepat. Felicity Morris mempersilahkan mereka berbicara, sharing their story, dan dari sana ia rangkai bersama beberapa visual yang menarik, dari landscape, screenshot chat, hingga reka ulang. Felicity Morris juga membentuk konklusi yang tergolong oke, membuat ‘The Tinder Swindler’ fun to follow dengan mencampur rasa kaget, marah, dan juga puas, sebuah stimulasi yang oke bagi kisah yang minim substansi.

Overall, ‘The Tinder Swindler’ adalah film yang memuaskan. Kebebasan berekspresi memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggungjawab untuk meraih keuntungan, Felicity Morris mendorong bahaya isu tersebut dalam sebuah penggambaran bahaya dari online dating application yang digunakan oleh seorang pria untuk meraih keuntungan dari beberapa wanita. Substansinya sendiri memang tipis tapi true crime documentaries ini sukses menjadi roller coaster menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi pintu masuk berbagai hal berbahaya bagi manipulasi emosi dan perilaku seseorang, mempermainkan emosi penonton sebagai alarm terhadap kondisi terkini di mana manusia semakin mudah untuk menormalisasikan hal-hal yang justru berbahaya.  






0 komentar :

Post a Comment