17 November 2021

Movie Review: We Couldn't Become Adults (2021)

“Eighty percent of the people in this world are trash, aren't they?”

Ketika kamu kecil dulu, apakah kamu memang ingin menjadi seperti dirimu yang sekarang? Jalan hidup setiap orang tentu berbeda, ada yang been born with a silver spoon in their mouth, tapi jelas ada yang kurang beruntung, mereka yang hidupnya akan berjalan seperti bajingan serta harus merasakan sakitnya jatuh dan bangun, seperti mereka yang kerja lembur tapi no matter how good they are tetap saja tidak diapresiasi misalnya. But, that's what the world is like, I guess we just have to accept it, yang terpenting adalah you go and do what you want to do karena jawaban atas pertanyaan “what is life?” setiap orang juga berbeda-beda. Film Jepang ini bercerita tentang itu dalam bentuk slice of life drama yang unik. ‘We Couldn't Become Adults’ : an album about freedom and desires.


Ketika berjalan pulang pria bernama Makoto Sato (Mirai Moriyama) tiba-tiba ditarik jatuh oleh seorang pria ke dalam tumpukan sampah di tepian jalan kota Tokyo, dia tidak marah namun justru tersenyum ketika pria tersebut berkata dengan nada yang sedikit memelas, ia bertanya mengapa orang-orang seperti Sato dengan penampilan rapi itu hidupnya berjalan begitu cepat melangkah ke depan, meninggalkan orang-orang seperti pria tadi yang kesulitan untuk dapat sukses serta merasa bahagia saat menjalani keseharian mereka. Sato sendiri kini bekerja di broadcasting industry tapi pekerjaannya kini bukan mimpi yang ingin Sato gapai ketika ia masih muda.

Sato dahulu bercita-cita untuk menjadi seorang novelist. Sato sendiri merasa bahwa di usianya yang ke-46 ia adalah seorang “boring adult”, ia kurang puas dengan hidupnya kini, hal yang sudah eksis sejak tahun 1999 ketika prediksi Nostradamus tentang hari kiamat tidak terjadi saat ia punya kisah kelam dengan Kaori Kato (Sairi Itoh), wanita yang ia kenal di tahun 1995 karena sama-sama menyukai Kenji Ozawa. Sama seperti karirnya yang harus jatuh dan bangun dari awalnya hanya bertugas sebagai kurir, Sato juga punya masalah dalam hal percintaan, sejak 1995 ia telah bertemu dengan wanita yang tidak tepat, salah satunya Su (Sumire). Tidak heran Sato seperti tidak serius dengan kekasihnya Megumi Ishida (Yuko Oshima).

Ekposisi sebuah film tidak perlu kaku, tidak harus melulu berangkat dari present dan kemudian bergerak ke depan, bisa saja arahnya justru diputar dan menciptakan flashback terhadap asal mula tercipta atau terjadinya konflik di present tersebut itu. Sudah banyak diterapkan memang di berbagai film dan Sutradara Yoshihiro Mori bersama Screenwriter Ryo Takada benar-benar mendapatkan keuntungan besar dari pemilihan teknik mundur di dalam eksposisi narasi di film ini. Cerdik tidak hanya pada bagaimana mereka memutar kembali waktu ke belakang saja namun juga pada kemampuan mereka untuk membuat tiap langkah mundur ke belakang yang kamu lakukan bersama karakter secara perlahan dan bertahap tentunya semakin membuat konflik utama di present time tadi jadi terasa semakin kuat.


Dan semakin menarik. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa kisah yang diadaptasi dari novel karya Moegara ini memiliki isu dan pesan yang tidak butuh waktu lama untuk langsung mencuri perhatian penontonnya, sebuah kisah tentang perjuangan hidup seorang manusia yang merasa masih sulit untuk bersinar terang. Di present time Sato tidak dapat dikategorikan gagal hidupnya, pertanyaannya adalah apakah ia puas dengan kehidupan yang ia jalani sekarang? Apakah pekerjaan yang sekarang tampak menguras energinya itu adalah pekerjaan yang telah ia dambakan dahulu? Pertanyaan yang tampak sederhana tapi jujur masuk dalam kategori powerful saat berurusan dengan mencuri atensi penonton untuk kemudian menempatkan mereka berada di sisi Sato. Hal tersebut juga bisa berlaku bagi mereka yang telah bersinar.

Penampilan Sato mungkin tampak telah bersinar jika dibandingkan dengan orang yang menariknya jatuh ke dalam tumpukan sampah, tapi penggambaran perjuangan yang ia bangun sejak akhir abad ke-20 itu juga dapat meraih hati penonton yang kini mungkin telah bersinar, mereka yang hidupnya telah berada di kelas yang dianggap oleh beberapa karakter sesuatu yang justru tidak spesial. Di sini Yoshihiro Mori dan Ryo Takada tidak mendorong pemahaman bahwa “hidup tidak perlu sukses” namun justru menjadikan kisah Sato untuk merangkul penonton menggunakan frasa klasik, yakni Hakuna Matata, no worries and take it easy. Itu menjawab satu pertanyaan di atas tadi, bagaimana Sato memberitahu kepada penonton di usianya yang kini telah menginjak angka 46 tahun dia justru merasa seperti boring adult.


Berarti ada “interesting adults”? Apa tolak ukur kategori tersebut? Saat mengikuti kisah mundur Sato saya menemukan beberapa pertanyaan seperti itu yang berhasil disajikan oleh Yoshihiro Mori secara implisit namun manis, tidak terkesan preachy tapi justru punchy. Apa itu menjadi dewasa? Bagaimana aku akan hidup kelak? Apa yang akan aku lakukan di masa depan? Beberapa pertanyaan yang mungkin telah dilalui oleh kamu yang kini berada di penghujung usia 20’s tapi kerap jadi sahabat karib bagi mereka yang baru beranjak dewasa. ‘We Couldn't Become Adults’ menciptakan banyak ruang bagi pemikiran tadi untuk bermain di dalam pikiran penontonnya, cara yang mereka terapkan dalam menjalani hidup selama ini lengkap dengan resikonya.

Ya, lengkap dengan resikonya, contohnya ada pada Kenta Sekiguchi sebagai orang yang mengikuti jalan “pilihannya”, he go and do what he want to do. Sedangkan Sato ada di kategori “between” yang tahu bahwa dia tidak sepenuhnya bahagia namun memutuskan untuk bertahan menjalani formula yang telah ia terapkan sejak muda, tidak heran jika ia menganggap dirinya sebagai boring adult. Menariknya tidak ada momen yang membosankan di sini, Yoshihiro Mori bersama Ryo Takada membentuk script dan ekposisi layaknya curahan hati Sato yang seolah berkata pada penonton “aku punya cerita menarik, apakah kamu mau dengar?” Mereka sukses menciptakan dan menata proses bercerita yang mundur itu untuk menarik simpati penonton dan mengeksploitasi isu dan pesan tentang hidup yang terasa umum dan sederhana itu.


Saya pikir itu salah satu alasan mengapa film ini terasa begitu menghanyutkan saat diikuti karena sukses menyajikan visualisasi “titik empati sebagai seorang manusia” dengan menekan terus teknik ekposisi yang unik itu. Tidak ada misteri karena sejak awal saya sudah tahu kondisi Sato, tapi anehnya ketika terus berputar-putar sambil bergerak mundur secara perlahan saya berulang kali tersenyum pada penggambaran terkait perjuangan hidup Sato dan karakter lain. Tentu tingkat “kesulitan” tiap orang akan berbeda dalam menjalani hidup, tapi saya rasa semua akan bisa klik dengan kisah Sato yang dikemas agar terasa umum oleh Yoshihiro Mori. Apalagi Sato sendiri konsisten membuat saya semakin penasaran berkat kinerja akting Mirai Moriyama yang memikat itu dan juga para aktor lain yang mengelilingi dirinya.

Overall, ‘We Couldn't Become Adults (Bokutachi wa Minna Otona ni Narenakatta) adalah film yang memuaskan. Lebih seperti album memang di mana setiap karakter punya keinginan mereka sendiri terkait apa yang ingin mereka capai serta kebebasan dalam memilih cara meraih impian mereka. Lengkap dengan nuansa 90’s yang terasa kental, tidak hanya sukses menyentil para penonton untuk mengingatkan mereka pada kerasnya dunia, film ini juga berhasil menebar “semangat” yang memikat dan kuat about reach out of darkness, tentang bagaimana you can be whatever you want to be, termasuk memiliki ordinary life, namun dengan catatan penting yakni saat kamu ditanya what is life kamu sudah tahu jawaban versimu sendiri. Ganbatte! Segmented.







1 comment :

  1. “I wonder if I'll do this job my whole life. It scares me sometimes.”

    ReplyDelete