19 September 2021

Movie Review: The Audition (2019)

“What counts is hearing the notes before you play them.“

Setiap orang memiliki mimpi, ambisi, dan obsesi mereka masing-masing, tapi kadang hidup tidak memberimu jalan yang mudah untuk dapat mewujudkan ketiga hal itu. Kerena ketika mereka menjadi tidak terkendali maka tantangan yang kamu jalani akan bertemu dengan tekanan dalam berbagai bentuk, salah satunya gejolak emosi. Di film ini seorang guru musik menemukan talenta yang ia anggap sebuah permata yang harus ia poles agar dapat semakin bersinar, celakanya itu ternyata pintu masuk bagi berbagai masalah muncul di dalam hidupnya setelah selama ini bersembunyi. ‘The Audition (Das Vorspiel)’ : a Whiplash with violin.


Alexander Paraskevas (Ilja Monti gugup) saat menjalani audisi masuk sebuah sekolah musik dan penampilannya mendapat hasil kurang oke dari tim penilai, beberapa di antara mereka menilai Alexander merupakan seorang violinist atau pemain biola muda yang akan sulit untuk dikembangkan kemampuannya. Tapi pendapat berbeda muncul dari wanita bernama Anna (Nina Hoss), justru merasa bahwa kekurangan Alexander saat tampil tadi terasa normal terjadi akibat demam panggung, bahkan Anna merasa yakin jika Alexander dapat melewati semester pertama dengan baik. Pada akhirnya Alexander diterima di sekolah musik tersebut dan dibimbing oleh Anna.

Membimbing Alexander kemudian menjadi fokus utama Anna tiap kali ia datang ke sekolah di pagi hari, Anna selalu menunggu kedatangan Alexander tiap hari melalui jendela ruang kelas mereka. Anna sangat berambisi serta terobsesi untuk memoles kemampuan Alexander dan mencipakan gejolak emosi di dalam dirinya, membuat hubungannya dengan suaminya Philippe Bronsky (Simon Abkarian) juga mengalami perubahan, begitupula dengan penilaian sang anak Jonas (Serafin Mishiev) kepada Ibu-nya itu.

Seperti judulnya film ini langsung dibuka dengan sebuah proses audisi, semacam tahap ujian masuk tahunan untuk bergabung dengan sebuah sekolah musik. Di sana penonton langsung dibawa melihat betapa kerasnya saringan masuk tersebut, tidak butuh waktu lama seseorang dari tim menilai tanpa belas kasihan langsung meminta salah satu peserta untuk berhenti dan keluar dari ruang audisi. Belum sampai tiga menit padahal namun Sutradara Ina Weisse langsung menciptakan tantangan utama dalam bentuk yang apik, lantas dari sana mulai berkembang menjadi sebuah proses mengejar mimpi yang sebenarnya sederhana. Jika sebatas menilik sosok Alexander.


Tapi yang kemudian hadir adalah sebuah penggambaran dari obsesi yang ternyata dimiliki oleh sosok lain di samping Alexander yakni Anna. Sederhananya sosok Anna ibarat Terence Fletcher di film Whiplash yaitu seorang guru musik yang mencoba untuk terus “mendorong” muridnya agar dapat mencapai performa terbaiknya, itu karena ia tahu si murid memiliki talenta dan juga potensi besar. Sedang Alexander adalah Andrew Neiman, tapi di sini spotlight tidak dominan tertuju kepada dirinya melainkan perjuangan Anna serta dampak dari obsesi yang ia miliki untuk membuat Alexander bukan menjadi sekedar robot yang diprogram hanya untuk memainkan notasi saja seperti ketika ia awal bergabung.

Anna sendiri karakter yang unik, di sebuah restoran kita bisa lihat ia tampak ragu saat diminta oleh Philippe untuk menentukan di meja mana mereka akan makan, ia juga melakukan hal serupa pada saat menentukan menu makanan dan minumannya. Ada semacam tekanan berupa gejolak emosi di dalam diri Anna dan dikembangkan dengan baik oleh Ina Weisse, sebuah character study di mana penonton mengamati perubahan yang terjadi di dalam diri Anna. Presentasinya sendiri terasa cukup subtle sedangkan ekposisi terhadap konflik juga tidak dikemas secara terlalu eksplisit. Tapi ada progress yang menarik diikuti di sana, mudah dipahami dan tentu mudah pula untuk ikut dirasakan.


Perjuangan Anna di sini adalah emosinya terhadap musik tapi isu kegagalan manusia dalam mengatasi kontrol ambisi dan obsesi terhadap emosi miliknya lewat Anna itu terasa sangat universal. Selalu akan tekanan tiap kali tantangan tiba, apalagi ketika tantangan itu juga menjadi semacam arena bagimu untuk melawan rasa takut yang selama ini masih menghantuimu. Alexander lack of confidence, tapi begitupun Anna, the concert menjadi konflik pendamping yang mempertebal penilaian kita terhadap ketidakmampuan Anna dalam mengendalikan emosinya. Termasuk ketika ia dengan cepat langsung menuliskan beberapa perubahan di dalam notasi milik Jonas dengan sikap dinginnya itu.

Ada sensitifitas yang oke dan dibentuk secara manis oleh Ina Weisse, membuat kisah yang berputar di dalam sebuah keluarga itu menjadi sebuah refleksi yang menarik terhadap beberapa isu dan konflik umum terkait human relationship. Dengan piawai Ina Weisse berbicara tentang obsesi manusia terhadap kesempurnaan yang sekarang telah menjadi momok menakutkan bagi banyak orang, talenta dan performance jadi tolok ukur baku yang terkadang membuat manusia lupa pada arti menjadi bahagia yang sederhana. Mimpi, ambisi, dan obsesi Anna tentu bukanlah sesuatu yang salah tapi di sini kita bisa lihat sisi berbahaya dari kombinasi ketiga hal tersebut, tidak heran jika momen ketika Anna melihat Jonas di bagian akhir itu terasa eerie.


Impresi yang menjadi buah dari tatanan cerita yang dibentuk dengan baik oleh Ina Weisse sejak awal. Berbicara tentang seni, talent dan nilai penting dari pencapaian, bahasa visual yang digunakan terasa tenang, melangkah secara perlahan mengikuti karakter berhadapan dengan “ujian” mereka masing-masing. Dan tentu saja alasan mengapa ‘The Audition’ sukses mengikat atensi juga tidak lepas dari kinerja akting dari para aktornya, seperti Ilja Monti dan Simon Abkarian yang terasa understated itu. Bintang utamanya jelas Nina Hoss (Barbara, Phoenix), karakter Anna merupakan makanan empuk baginya, inner struggle ia tampilkan dengan nuanced performance yang manis, ia juga membuat that “not quite my tempo” moment terasa memorable.

Overall, ‘The Audition (Das Vorspiel)’ adalah film yang memuaskan. Berawal dari mimpi, ambisi, dan obsesi manusia kerap jatuh ke dalam masalah akibat tekanan berupa gejolak emosi yang kemudian timbul dan tidak mampu dikendalikan. Sebuah character study with quite sweet and lovely turmoil di sini Ina Weisse menampilkan semacam refleksi terkait human relationship dan dampak serta pengaruhnya pada inner struggle tiap manusia, dikemas rapi dengan tensi dan tempo yang terkendali serta tentu saja dibungkus dengan acting performance yang memikat dari the one and only Nina Hoss.






EOS 2021

1 comment :

  1. “Whenever I’m play I’m thinking of how I’ll fail.”

    ReplyDelete