03 September 2021

Movie Review: Holler (2020)

“You stay here because you're weak.”

Tidak semua orang memiliki keberanian yang lebih dari cukup untuk mengambil keputusan “melangkah maju”, kerap kali mereka selalu jalan di tempat saja karena merasa takut setelah berputar-putar dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan tentu merupakan bagian penting dalam mengambil keputusan namun rasa takut itu justru sering kali membuat orang menyerah sebelum mencoba dan memilih berdiam diri di zona nyaman mereka. Mau mencoba sama saja dengan langkah pertama untuk meraih sesuatu yang kamu ingin, tapi tetap saja dengan catatan kamu yakin bahwa kamu bisa. ‘Holler’ : a poignant and quite evocative life drama. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Ruth (Jessica Barden) merupakan siswi high school yang setiap hari harus berjuang bersama kakak laki-lakinya Blaze (Gus Harper) bekerja sebagai scrap metal, barang bekas yang kadang mereka dapatkan secara “illegal” untuk kemudian dijual kembali ke penadah bernama Hark (Austin Amelio). Ruth memang memiliki tampang cuek tapi remaja perempuan ini sebenarnya memiliki potensi di bidang akademis. Tidak heran jika Blaze kemudian mencoba mendorong Ruth agar mau keluar dari Ohio dan kuliah di salah satu perguruan tinggi, ide yang sebenarnya ditentang oleh Rhonda (Pamela Aldon), Ibu mereka.

Rhonda sendiri telah absen dari kehidupan kedua anaknya karena masih mendekam di penjara akibat kecanduan narkoba. Kondisi ekonomi yang sulit memaksa kedua anaknya itu untuk bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup mereka, hingga suatu hari muncul pemberitahuan bahwa rumah mereka akan disita, Ruth dan Blaze lantas memutuskan untuk mengambil jalan pintas. Mereka bergabung dengan Hark dan tim miliknya yang ternyata selama ini menjalankan misi terselubung di malam saat hari telah gelap gulita, yakni menyelinap masuk ke dalam pabrik atau bangunan tua dan mencuri besi tua berharga di dalamnya.

Memang dibutuhkan kesabaran yang sedikit lebih ekstra mengingat film yang ditulis dan juga menjadi debut film layar lebar bagi Sutradara Nicole Riegel ini merupakan sebuah character study yang benar-benar bertumpu pada gejolak internal di dalam diri karakter utamanya. Sangat mudah pula untuk merasa jenuh di babak pertama jika kamu sedari awal mengarahkan ekspektasi kamu pada kemunculan berbagai konflik yang kemudian akan menggerakkan narasi. Konflik sendiri memang eksis di dalam cerita namun eksposisi yang ditampilkan oleh Nicole Riegel lebih bertumpu pada progress yang sedang terjadi di dalam hati dan pikiran seorang Ruth.

Tidak secara gamblang memang dipresentasikan namun dari kemampuannya dalam berhitung serta fakta bahwa ia diterima di sebuah kampus sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa Ruth merupakan seorang wanita muda yang memiliki potensi di bidang akademis. Penonton dibuat tahu dan sadar akan hal tersebut, sama seperti sadar bahwa kehidupan yang dijalani oleh Ruth, Blaze, dan mungkin banyak penduduk lain di kota mereka itu berada di posisi yang sulit secara ekonomi. Nicole Riegel menggunakan scrap crew sebagai jalan untuk mendorong konflik pendukung tidak hanya sebatas untuk mengembangkan cerita tapi mempertebal isu utama.

Satu di antaranya memang bagaimana kerasnya perjuangan para kelas pekerja itu tapi ada isu lain yang menurut saya merupakan spotlight utama film ini sejak awal, yakni meraih mimpi. Kita tentu tidak tahu apakah kampus tersebut dapat menjadi tempat yang tepat bagi Ruth atau tidak namun timbul rasa ingin agar wanita muda yang eksentrik itu mengambil aksi berani untuk memperbaiki kehidupannya. Proses memang dibutuhkan di sana dan saya suka dengan cara hal tersebut ditampilkan di sini oleh Nicole Riegel. Memang tidak bersih dan detail apalagi eksplisit tapi punya fokus yang terkunci rapi dan membuat berbagai konflik pendukung itu membangun koneksi dengan baik satu sama lain untuk terus mendorong fokus utama.

Sedari awal kita tidak pernah ditunjukkan alasan mengapa Ruth seperti merasa berat untuk keluar dari Ohio, namun dapat mengerti perasaan galau yang terus berputar di dalam pikirannya itu. Di satu momen ia sempat meminta keringanan pada salah satu gurunya demi menyelamatkan hasil akademisnya, sikapnya memang terkadang seperti tidak acuh namun Ruth sebenarnya merupakan sosok yang memiliki ambisi, ia bahkan tidak terima ketika sang guru menawarkannya opsi lain yang menurutnya “tidak cocok” dengan dirinya. Ruth terjebak, berkaca pada keadaan ia lantas belajar bahwa ada opsi bagi dirinya untuk keluar dan memperbaiki diri. Penonton dibawa menyaksikan Ruth menemukan apa yang benar-benar ia inginkan.

Tidak ada ekploitasi yang terasa berlebihan di sana, justru ada sensitifitas yang oke dari Nicole Riegel sehingga sebagai penonton kamu perlahan juga seolah merasa ikut tenggelam di dalam situasi yang sedang dihadapi oleh Ruth. Secara bertahap Ruth mempelajari dunia yang keras dan membosankan itu, ia takut namun juga sembari terus menimbang sambil menunggu keberanian itu muncul. Berbagai kisah pilu yang terjadi di lingkungan Ruth hadir sebagai bumbu, membuat kesan “seram” jadi terasa semakin nyata meskipun disajikan sederhana, tiap langkah dan aksi Ruth dikemas dengan mengedepankan intimitas yang kuat, menarik simpati dan juga empati serta membuat gejolak batin seorang Ruth bergerak semakin dekat dengan garis akhir.

Maka tidak heran jika sebuah aksi nekat di bagian akhir itu meski tampak sederhana dan tidak banyak omong tapi terasa seperti sebuah kemenangan, sama seperti aksi Ruby di film ‘CODA’ ada semacam perasaan puas dan bahagia di sana. Mengamati Ruth dan gejolak batinnya memang tidak selalu cerah tapi ada vibe dan tone yang kuat diletakkan di dalam narasi, menggiring penonton dengan sabar menantikannya mengambil keputusan. Character driven tentu ‘Holler’ juga beruntung punya aktris bernama Jessica Barden dan bagi kamu yang sudah menonton serial-tv ‘The End of the F***ing World maka kamu tidak akan terkejut Barden mampu membentuk Ruth dengan sangat baik seperti itu.

Overall, ‘Holler’ adalah film yang cukup memuskan. Poignant and quite evocative, sebuah debut penyutradaraan yang manis dari Nicole Riegel, ia menyajikan secara sederhana perjuangan yang dihadapi kaum pekerja lengkap dengan problematika ekonomi di dalamnya. Character study yang benar-benar bertumpu pada gejolak internal di dalam diri karakter utamanya, ‘Holler’ berbicara tentang perasaan galau seorang remaja beranjak dewasa yang mulai berpikir tentang mimpi dan ambisinya, melihat rasa takut bertarung dengan realita yang kemudian membuka mata karakter utamanya untuk tidak berdiam diri di zona nyamannya. Sederhana tapi sukses tepat sasaran. Good one. Segmented.






1 comment :

  1. "It can be summed up in three very beautiful words: jobs, jobs, jobs."

    ReplyDelete