26 August 2021

Movie Review: Simulation Theory Film (2020)

They will not control us, and we will be victorious.

Menyebut diri mereka sebagai “trashy three-piece” grup band rock asal Inggris satu ini, Muse, dapat dikatakan merupakan salah satu dari mungkin beberapa band yang seperti tidak pernah kehabisan akal cara “bergembira” dengan musik yang mereka ciptakan. Berangkat dari alternative rock style mereka kemudian melebarkan sayap, progressive, space rock, hingga electronica di mana lirik mereka kerap mengandung barisan kata yang mencoba untuk membakar spirit hingga menembakkan kritik. Ini bukan film dokumenter tentang band Muse, melainkan sebuah concert film yang merekam aksi Muse di O2 Arena. Tapi ada yang gila dan spesial di sini. ‘Simulation Theory Film’ : a psycho hysteria madness.


Satu kelompok scientist sedang berusaha melakukan investigasi terhadap sebuah sumber misterius yang menghasilkan aktivitas paranormal yang tidak diketahui, dan mereka diarahkan menuju sebuah panggung konser yang berlokasi di kota London. Panggung tersebut merupakan arena tampil bagi grup band asal Inggris, Muse, yang juga menjadi bagian dari ‘Simulation Theory World Tour’ Muse di tanah Eropa tahun 2019. Para scientist tersebut diarahkan menuju sebuah cabinet dan salah satu dari mereka, Murphy, kemudian menyentuh cabinet tersebut. Celaka bagi Murphy karena meski tubuhnya telah terikat di sebuah tempat tidur namun his reality pindah ke konser Muse yang sedang berlangsung.

Murphy memang berhasil kembali namun satu makhluk misterius menggigitnya dan membuat Murphy berubah menjadi monster. Sesosok wanita misterius kemudian muncul dan mengatakan bahwa in their reality sebuah virus mematikan yang diberi nama "Truth Slayer" sedang dibuat dan disebar. Wanita yang menyebut dirinya NPC dari “mainframe” itu bagian dari kelompok yang lantas mengambil kendali siaran berita untuk menginformasikan bahwa virus yang di maksud adalah hoax, and that "there is nothing to fear". Sebagian besar area kota London telah dikarantina untuk menekan tingkat penyebaran dan menunggu solusi yang ternyata hadir lewat sosok bernama "The One".

Ketika berbicara tentang seniman dalam konteks paling luas, termasuk di dalamnya adalah musisi, merupakan salah satu hal penting untuk menunjukkan “kegilaan” mereka terhadap karya yang disajikan kepada para penikmat, dan di momen ketika kamu dapat merasakan “kegilaan” tersebut dan kemudian menikmatinya maka itu pertanda bahwa seniman tersebut tadi telah melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Di sini saya mencoba untuk objektif meskipun tidak memungkiri diri sebagai salah satu fans berat mereka membuat saya lebih mudah untuk menikmati concert film yang disutradarai oleh Lance Drake ini.


Konsep dasarnya sendiri masih sama seperti concert film pada umumnya, penonton dibawa masuk ke dalam O2 Arena di sini dan menyaksikan pementasan konser grup band Muse itu sendiri. Jelas mendominasi tentu saja live concert footage, showcases yang menunjukkan bagaimana tiga orang pria itu bergembira dengan kegilaan yang telah lekat dengan image mereka, mencoba menyajikan berbagai hal dengan kesan eksperimental yang tentunya juga sangat kental. Permainan staging panggung jelas menjadi salah satu spotlight, seperti permainan cahaya misal yang memberi support bagi cinematography yang mencoba menciptakan atmosfir intens sejak awal.

Intens di sini bukan hanya sekedar mendorong kamu masuk dan lantas duduk manis menikmati Muse menyanyikan lagu-lagu populer milik mereka, tapi juga merupakan bagian dari upaya untuk menata koneksi dengan berbagai scenes terpisah yang hadir hampir di tiap jeda antar lagu. ‘Simulation Theory Film’ ternyata mengusung sebuah misi berbeda yang membuatnya terasa memorable, menghibur penonton lewat lagu yang dibawakan langsung oleh Muse tapi juga mengeksakalasi makna, arti, hingga misi yang terkandung di balik lagu-lagu tersebut. Ada narasi yang bekerja terpisah di sana di mana tema tidak bermain terlalu jauh dari salah satu image Muse, yakni madness.


Muse let their madness show, tapi mereka juga ingin penonton film semakin “dekat” dengan kegilaan mereka lewat narasi yang berbicara tentang beberapa isu, dikemas simple tapi efektif dengan menggunakan sci-fi reality sebagai tiang utamanya. Di sini ada kombinasi, tidak hanya tentang apocalyptic saja tapi juga menyentil pula pesan tentang social alienation and government oppression, yang awalnya tampak seperti sebuah konser normal justru berubah menjadi dunia dengan konfrontasi ideologi di dalamnya. No, tidak berat, mereka hadir secara implisit karena di sisi lain saya juga merasa hanyut di dalam konser mereka, lagu-lagu populer seperti Psycho, Uprising, Supermassive Black Hole, Starlight, hingga Stockholm Syndrome jelas sangat menyenangkan.

Tapi sama seperti mayoritas lirik dari lagu-lagi milik Muse di film ini penonton juga dibawa mempertanyakan kondisi dunia yang ada di sekitar kita. Lance Drake dengan piawai menciptakan koneksi antara konser dan fiksi, menghasilkan kombinasi yang menurut saya juga meninggalkan aftertaste yang terasa menakutkan terlebih menilik kondisi dunia terkini. Ide tentang bagaimana manusia merupakan avatar di dalam sebuah permainan dengan sistem yang “rusak” menghasilkan punch yang kuat, isu tentang aksi tipu-tipu di media online yang berujung hoax juga terasa manis. Konsep dunia simulasi dikemas dengan baik dan seimbang dan mampu membuat penonton merasa seperti terjebak di dalam sebuah dunia baru, an intense fiction world.


Penggarapannya sendiri mencoba untuk tampak seperti sebuah blockbuster, sesuatu yang cukup asing untuk dilakukan oleh sebuah concert film. It’s gripping, potongan narasi saling klik dengan baik satu sama lain untuk menunjang tujuan utama sejak awal, yakni berbicara tentang dunia dan kondisi sosial di dalamnya yang seolah telah “disimulasi” oleh beberapa pihak. Mereka hadir dengan baik itu dalam bentuk fiksi serta tentu saja dentuman nada penuh lirik tajam dari band Muse, Dominic Howard dengan tabuhan drum yang tebal dan kuat, Chris Wolstenholme dengan basslines yang memacu denyut nadi, serta tentu saja Matt Bellamy yang seperti tidak pernah kehabisan energi membakar semangat penonton untuk terus bergembira bersama Muse di O2 Arena. And yeah, that CGI.

Overall, ‘Simulation Theory Film’ adalah film yang memuaskan. ‘Simulation Theory Film’ adalah sebuah concert film yang kreatif dan mungkin dapat dikatakan telah menciptakan standard baru bagi kategori ini. Muse membuat sebuah dunia buatan baru yang disimulasi dengan sangat baik sebagai media yang membantu mereka “berbicara” kepada para penontonnya, di samping lantunan lagu yang menggelegar, tampil dengan konsep yang ambisius dengan permainan visual serta adegan fiksi yang menyatu manis bersama pertunjukkan konser mereka di atas panggung. Such an impressive psycho hysteria madness. Segmented. 








1 comment :

  1. “Your world is already changing. The infection is spreading.”

    ReplyDelete