21 July 2021

Movie Review: Yakuza and The Family (2021)

“If I'm seen with you, they'll call me a criminal.”

Yakuza merupakan salah satu dari sekian banyak kata yang sangat lekat asosiasinya dengan Jepang, organisasi kriminal seperti mafia dengan kode etik keras serta punya wilayah kekuasaan yang teroganisir. Kelompok pria yang menggunakan setelan jas warna hitam dengan rambut licin serta memiliki banyak tattoo di tubuhnya, Yakuza hingga kini masih dinilai sebagai ancaman bagi keselamatan oleh penduduk Jepang itu sendiri. Tapi preman juga manusia, punya rasa punya hati. ‘A Family’: a neat ode to the struggle of the Yakuza. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Di tahun 1999, seorang remaja bernama Kenji Yamamoto (Go Ayano) datang ke acara pemakaman ayahnya dan kemudian pergi bersama dua temannya. Di jalan ia lantas mencuri sebuah tas dari bandar narkoba, tapi hanya uang yang mereka ambil sedang narkoba yang bernilai besar di dalam tas itu Yamamoto buang ke laut. Aksinya itu menarik perhatian Hiroshi Shibasaki (Hiroshi Tachi), pemimpin kelompok Yakuza the Shibazaki-gumi, kompetitor the Kyoyo-kai. Di tahun 2005 Yamamoto sudah menjadi anggota kepercayaan Shibasaki, ia juga mulai mencoba menjalin hubungan asmara dengan pelayan bar bernama Yuka Kudo (Machiko Ono).

Suatu ketika satu rekan dari pria dengan panggilan Lil Ken itu tewas ditembak dan dugaan awal adalah ulah Kyoyo-kai atas perintah Masatoshi Kato (Kosuke Toyohara). Tapi Shibasaki justru memutuskan menyerahkan kasus itu kepada polisi setelah bernegosiasi dengan Kazuhiko Osako (Ryo Iwamatsu). Lil Ken tidak terima dan justru mencoba membalaskan dendam secara langsung, sebelum mendapat kejutan lewat kemunculan seniornya, Nakamura Tsutomu (Kitamura Yukiya). Akibat perbuatannya itu Yamamoto harus berurusan dengan kepolisian dan ketika kembali ia mendapati kenyataan bahwa Yakuza sudah tidak lagi memiliki taji.

Film ini “doesn't shy away” dari image para Yakuza itu tapi memadukannya dengan sesuatu yang mungkin selama ini kurang akrab dengan image Yakuza, yakni manusia yang punya hati. Mungkin kamu juga merupakan satu dari sekian banyak penonton yang penasaran dengan kehidupan para Yakuza, persis seperti yang ditanyakan oleh Yuka kepada Yamamoto, bagaimana sebenarnya Yakuza menjalani hidup mereka yang otomatis telah lekat dengan image liar, brutal, serta menakutkan itu. Mengapa mereka tetap menggunakan kacamata meskipun sudah malam? Lalu kenapa Yakuza saling sapa dengan menggunakan kata-kata seperti Boss atau Brother?


Dibentuk oleh Michihito Fujii layaknya proses investigasi terhadap sosok Yakuza, memberi ruang yang sangat lega bagi konflik dan juga karakter untuk membangun struktur cerita yang terbagi menjadi beberapa babak itu. Pemisahnya sendiri adalah waktu di mana narasi start di lebih daru satu dekade yang lalu untuk kemudian tiba di tahun 2019 yang telah dipersiapkan babak pamungkas. Untuk tiba di sana butuh waktu satu jam yang terasa worthed jika menililk bagaimana konflik serta karakter berhasil dibentuk. Tidak hanya karakter saja yang pesonanya bersinar dengan baik tapi juga konflik, berkembang perlahan tapi membuat penontonnya penasaran.

Dan yang saya suka meskipun tampak rumit tapi basis utama cerita terasa sangat sederhana, tidak jauh-jauh dari persaingan sengit antar kelompok Yakuza dalam hal upaya memperebutkan wilayah kekuasaan. Jalannya juga sederhana, yakni senggol bacok, you kill my family and I’ll kill your family too, dan pola seperti ini di banyak film tentang Yakuza lantas mengeskalasi konflik dengan cepat untuk menuju sebuah pertempuran. Hal tersebut yang membuat ‘A Family’ terasa lebih segar karena meski kamu tahu ada masalah yang belum tuntas dan mungkin menciptakan ledakan besar tapi kamu tidak dibuat menginginkan itu terjadi sesegera mungkin. Itu karena narasi sejak awal menempatkan karakter Yakuza sebagai a not fully heartless human.


‘A Family’ justru bermain seperti sebuah surat cinta bagi eksistensi dari kelompok yang katanya masih dianggap sebagai salah satu "organisasi kriminal paling canggih dan terkaya" itu. Stereotip memang cara Michihito Fujii mainkan kekerasan bersama pembalasan dendam yang tetap menjunjung rasa hormat itu, tapi lewat sosok Kenji Yamamoto ia mencoba menyajikan penggambaran realistis terhadap kondisi Yakuza saat ini, perjuangan mereka setelah undang-undang anti-gangster diterbitkan oleh pemerintah Jepang. Diciptakan semacam dinding yang membatasi interaksi Yakuza dengan citizens dan hasilnya Yakuza seperti mendapat sanksi sosial secara indirect.

Itu yang menjadi fokus film ini tidak heran cukup banyak waktu di setengah durasi digunakan untuk membangun kejayaan Yakuza, penggambaran yang dipersiapkan secara matang agar babak akhir menghasilkan kontras terhadap situasi sulit Yakuza, dipaksa menanggung resiko kesulitan berintegrasi dengan lingkungan sosial mereka yang juga mencoba “menjauh” dari mereka. Itu menempatkan Yakuza pada kondisi sekarat. Ada isu dan pesan yang menarik di sana sebenarnya tapi tidak mendapat kesempatan lebih untuk menciptakan punch yang kuat, hanya on target saja seperti karakter yang tampil kompeten but not fully developed with minimal bonding.


Michihito Fujii membuat tiap konflik tampil efektif untuk menciptakan jalan menuju babak akhir yang terasa kuat, tapi andai tampil lebih dari sekedar efektif mungkin emotional punch yang di bagian akhir itu bisa lebih dashyat. Karena potensi yang ia punya besar tapi justru memilih bermain aman, cenderung predictable, tidak seperti cinematography yang tampil berani dan kompeten itu. Tapi yang mengejutkan untuk film yang mencoba bercerita tentang banyak hal pesona dari ‘A Family’ terasa sangat konsisten, pencapaian yang tidak lepas dari kinerja akting memikat dari aktornya terutama Go Ayano sebagai tombak utama. Karakter terasa menarik hingga akhir. 

Overall, ‘A Family (Yakuza and The Family)’ adalah film yang memuaskan. Beberapa kekurangan kecil bukan tidak terlihat, ada yang terasa setengah matang malah, tapi Michihito Fujii berhasil menggunakan image Yakuza dalam pendekatan berbeda sehingga ada kesan segar yang kuat di sini, menciptakan ruang yang lebih luas bagi realitas rumit society di Jepang. Dipersiapkan dengan matang dan efektif baik cerita maupun karakter, Michihito Fujii menyajikan dengan baik sebuah ode bagi Yakuza dengan berisikan violence serta dramatisasi emosi yang terasa rapi, lembut dan memikat. 





 



2 comments :

  1. “The yakuza lost their human rights a long, long time ago.”

    ReplyDelete
  2. Endingnya keren cuma ga nyambung aja kenapa hosono bunuh saudara sendiri kenji

    ReplyDelete