22 July 2021

Movie Review: Shiva Baby (2020)

“Nice cum stain.”

Saya berkenalan dengan karakter utama bernama Danielle dalam kondisi sama sekali tidak tahu isi dari sinopsis film ini, melihatnya punya hubungan “spesial” dengan pria yang jelas-jelas membayarnya sejumlah uang membuat saya merasakan ada sesuatu yang ganjil di dalam dirinya. Tidak rumit memang, dari orangtuanya yang terlihat agamis serta fakta bahwa Danielle masih belum mendapat pekerjaan, kesan ganjil itu terus berputar, dan saya merekomendasikan hal tersebut untuk juga kamu lakukan, karena kejutan yang hadir dari Danielle memang sangat besar. ‘Shiva Baby’ : a passive-aggressive pep talk with a catchy dramaturgy.


Wanita muda bernama Danielle (Rachel Sennott) jelas merupakan sosok kesayangan bagi kedua orangtuanya, Debbie (Polly Draper) dan Joel (Fred Melamed), tidak heran ketika Danielle akhirnya tidak di rumah tempat diadakannya acara Shiva keduanya langsung kooperatif saat Danielle mencoba membuat agar mereka satu suara terkait statusnya. Danielle hampir lulus dan hingga kini belum menetapkan pilihan, mereka sepakat mengatakan bahwa Danielle telah menerima beberapa interview jika kelak para tamu lainnya bertanya. Karena di antara para tamu ada Maya (Molly Gordon).

Maya merupakan sahabat Danielle tapi kini mereka sedang perang dingin. Di sisi lain Maya juga menjadi perhatian karena baru saja diterima di sebuah sekolah hukum, kontras dengan situasi Danielle. Rumah tempat acara berlangsung itu tidak begitu luas dan jumlah tamu cukup banyak sehingga membuat Danielle merasa kesulitan untuk “kabur” agar tidak berinteraksi secara langsung dengan Maya. Hingga sebuah kejutan hadir lewat Max (Danny Deferrari), pria yang beberapa jam sebelumnya baru saja ditemui oleh Danielle. Max kemudian disusul oleh Istrinya, Kim Beckett (Dianna Agron), seorang pengusaha, dan anak mereka.

Ketika mengecek durasi yang sudah berjalan saya kaget melihat angka 14 something di layar, belum seperempat jam tapi sudah berhasil menunjukkan bagaimana hidup karakter utama kita itu yang sudah berantakan sekali. Merupakan versi layar lebar dari film pendek berjudul sama, Sutradara dan Screenwriter Emma Seligman sangat piawai dalam merangkai dramaturgi, menciptakan sebuah sandiwara kehidupan di mana tampil karakter-karakter “kacau” yang kemudian bertemu, saling bertabrakan dan perilaku serta interaksi mereka lantas mulai digali semakin dalam. Di sini Emma memasukan Danielle ke dalam kandang singa, keluar lalu masuk ke kandang singa.


Begitu seterusnya, tetap bergulir dengan image yang sudah terpatri sejak awal bahwa Danielle adalah sosok yang “kotor” dan mengembangkan hal tersebut untuk memicu rangkaian aksi dan reaksi yang dipenuhi dengan excitement. Di menit ke 14 tadi saya sudah merasa hidup Danielle ini sudah kacau tapi ternyata itu baru sekedar sebuah pondasi bagi “kekacauan” lain yang kemudian menyusul hadir. Dari ekspresi wajah, dari gesture yang ia perlihatkan serta tentu karakter lain yang berada di lingkaran serupa dengannya, penonton dibuat tertawa geli menyaksikan acara keagamaan itu berubah menjadi sebuah panggung teatrikal dengan limpahan komedi memikat.

Tidak selalu fokus pada komedi tentu saja karena Emma Seligman tetap menaruh gejolak emosi yang dialami oleh Danielle sebagai spotlight utama, menjadi rangkaian kekacauan yang tampak dapat meledak kapan saja. Begitu banyak orang yang hadir di acara tersebut sehingga membuat rumah menjadi terasa sempit bagi Danielle yang claustrophobia-nya kemudian memicu rasa cemas dari kejutan yang hadir. Penonton dapat dengan mudah merasakan perasaan emosional Daniella, terasa sangat vibrant dan ada greget yang memikat, berjalan bersama kamera yang fokus pada Danielle menyoroti ekspresinya ketika hal-hal yang membuatnya semakin canggung sedang dan terus berkembang menjadi semakin besar di belakangnya, with bokeh mode.


Yang dilakukan ayah dan ibu dari Danielle memang baik jika berada dalam kuantitas yang tepat, tapi yang mereka lakukan di sini sedikit melampaui batas. Mereka seolah menempatkan Danielle sebagai boneka yang harus menuruti perkataan mereka, yang mungkin dampak dari sebuah kejadian di masa lalu di mana sang Ibu tahu bahwa Danielle melakukan “eksperimen” sebagai seorang Bi. Upaya mereka berdua untuk terus “menjual” anak perempuannya itu membuat cerita penuh dengan gesekan serta tensi tinggi karena kita tahu ada dua sosok yang memiliki kisah kurang baik dengan Danielle di sana. Kamu dibuat merasa gregetan pada apa yang akan terjadi dan hal tersebut dieksploitasi dengan kualitas yang konsisten mumpuni oleh Emma.

Di sana dramaturgy tadi bersinar terang, pendalaman karakter lewat cara sederhana tapi terus memacu atau memompa adrenalin penontonnya. Ekspresi dan gesture yang ditunjukkan Daniella merupakan bagian dari pendalaman karakter yang manis, dialog dibentuk sama baiknya dengan ditunjang cutting dan editing yang mampu menjaga ketukan serta irama narasi. Punya timing dan positioning manis terutama pada momen menyuntikkan score yang unik itu, kind of eerie sounds yang membuat drama ini tampak lucu tapi di saat bersamaa juga terasa seperti sebuah horror. Ini sebuah “horror” sebenarnya tapi dalam sudut pandang yang berbeda, menyaksikan Danielle berada dalam proses self-acceptance yang mengusik self-worth dirinya.


Hal tersebut dibaur dengan manis oleh Emma Seligman yang dalam durasi terhitung singkat justru berhasil menyajikan sebuah pep talk tentang berbagai isu sensitif tapi tetap mudah untuk dinikmati oleh banyak penonton. Saya semakin terpukau olehnya karena di debut penyutradaraan film layar lebarnya ini Emma Seligman juga sukses mengarahkan para aktornya sehingga mereka membuat masing-masing karakternya terasa menyenangkan, Fred Melamed dan Polly Draper sebagai orangtua yang unik, Danny Deferrari sebagai pria dalam situasi canggung, Molly Gordon tampl nakal dan Dianna Agron yang tatapannya terus menebar ancaman. Bintang utama tentu saja Rachel Sennott, ekspresi, gesture, hingga tatapan matanya, semua dipenuhi dengan emosi yang menawan.

Overall, ‘Shiva Baby’ adalah film yang sangat memuaskan. Hidup Danielle mungkin tampak sedang “kacau” dan apes sekali ia harus hadir di sebuah acara di mana isu tersebut coba “ditantang” lewat opini dan kejutan dari orang-orang di sekitarnya. Emma Seligman gunakan itu sebagai fokus untuk merangkai dramaturgi yang menawan, ia buat karakter saling bertabrakan dan lewat interaksi mereka menggali secara tepat isu seperti self-acceptance dan self-worth. Bermain layaknya sebuah horror namun dipenuhi dengan komedi dan drama yang exciting to follow, membuat penontonnya terus gregetan berkat permainan tensi dengan harmoni yang terasa serasi, akan sulit untuk melupakan ‘Shiva Baby’, such a charming and memorable chaos. 







1 comment :