13 June 2021

Movie Review: The White Tiger (2021)

“What is a servant without a master?”

Ini merupakan salah satu film paling “berisik” dalam satu tahun terakhir ini. Dengan penuh rasa bangga karakter utama mengatakan bahwa kisah yang ia ceritakan di sini merupakan sebuah “glorious tale” padahal ia dibesarkan layaknya binatang, bahkan ia tidak diajarkan bahwa gigi harus dibersihkan. Menariknya dia adalah gambaran dari begitu banyak manusia yang berjuang untuk memperbaiki kehidupan mereka, mengamati kisah hidupnya yang tidak hanya berbicara tentang mimpi saja tapi juga perjuangan kotor di dalamnya. ‘The White Tiger’ : a noisy antihero story from Delhi.


Di tahun 2010 seorang entrepreneur bernama Balram Halwai (Adarsh Gourav) tidak menunggu waktu lama mengejar kesempatan agar dapat berkenalan dengan Perdana Menteri China, Wen Jiabao yang berencana berkunjung ke India. Cara yang ia pakai terasa unik, Balram menuliskan perjuangan hidupnya dari mulai nol hingga akhirnya menjadi pengusaha sukses dalam bentuk sebuah email kepada Wen Jiabao. Isu yang coba ia ceritakan di sana adalah kondisi ekonomi rakyat India yang saat ini terjebak di dalam keadaan perbudakan.

Balram sendiri lahir dari keluarga miskin di sebuah desa bernama Laxmangarh, yang di mana warganya seperti merasa nyaman hidup di dalam perbudakan. Balram ingin membawa perubahan, ia memutuskan pergi Delhi tapi bukan untuk sekolah namun menjadi supir bagi sang penguasa, The Stork (Mahesh Manjrekar). Balram merasa ia punya peluang untuk menjadi supir bagi anak The Stork, Ashok Shah (Rajkummar Rao) yang baru saja pulang dari Amerika bersama sang Istri, Pinky (Priyanka Chopra Jonas). Balram belajar dari kesuksesan Ashok, termasuk trik kotor sembari terus mengamati “peluang” lain yang ia dapat raih.

Ketika streaming film saya selalu senang menulis di smartphone baris kalimat dari dialog antar karakter yang saya rasa menarik, dan jumlah yang saya temukan dari film sangat sangat banyak. Contoh sederhana adalah jagoan utama kita berkata bahwa seorang entrepreneur yang sukses selalu mencoba mencari tahu rahasia dari kompetitornya. Kalimat muncul di bagian awal cerita, seolah mencoba membentuk opini penonton bahwa isi surat elektronik yang ditulis oleh Balram itu merupakan sebuah kisah perjuangan hidup para underdog meraih kesuksesan. Sutradara dan screenwriter Ramin Bahrani ingin agar kamu jatuh hati pada Balram Halwai.


Itu tidak lepas dari salah satu isu utama yang dikemas dengan baik di bagian awal, yakni social class atau social castes. Ramin Bahrani tidak bermain implisit terkait ini, secara frontal menunjukkan bagaimana caste system merupakan salah satu masalah modern day yang semakin eksis, Kebebasan membuat kompetisi yang semakin ketat lantas menciptakan pembagian kelas ekonomi, dari sana lahir penilaian negatif pada kasta sosial yang lebih rendah. Di sanalah letak daya tarik kisah yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Aravind Adiga ini, bahwa pendekatan yang diterapkan oleh Ramin Bahrani membuat ‘The White Tiger’ tampak seperti celebration of crime.

Sumbernya ada pada Balram, dia karakter yang menarik. Kamu bisa lihat dan rasakan semangat Balram untuk memperbaiki kehidupannya dan juga keluarganya tapi itu tidak mudah, meski punya hak untuk bermimpi menjadi Perdana Menteri tapi tetap saja sebagai poor man dia punya punya kesempatan yang terbatas untuk ia “buang” dengan mudah. Dari titik itu freedom bertarung dengan individualism, hingga tiba sebuah kalimat yang mengatakan bahwa cuma ada dua cara bagi si miskin cara untuk menjadi kaya, antara politik atau kriminalitas. Balram trying to win his freedom, dia melihat “keindahan” dunia dan mencoba untuk keluar dari kelas budak.


Aksi Balram pulalah yang membuat ‘The White Tiger’ punya pesona dark comic unik, permainan perspektif pada prinsip bahwa pengusaha harus menciptakan peluang. Ramin Bahrani menjaga dengan baik pesona narasi yang dipegang kendalinya oleh Balram, eksposisi terhadap tahapan mencari kebebasan dan menaiki tangga sosial itu juga tidak diganggu dengan ekposisi cengeng yang terkesan mengemis. Justru penggambarannya tampil brutal layaknya sebuah api yang sedang bergerak menuju sebuah bom, konflik terkait korupsi, loyalty, serta kemiskinan ditemani isu tentang psikologi berada di bawah perbudakan. Ya, ‘The White Tiger’ adalah ironi.

Sebuah ironi yang membuat saya tersenyum geli. Walaupun tidak mengemis atensi tapi ada kesan sedikit memaksakan, pesona narasi oke tapi alur tidak selalu dinamis, plotnya terasa energik tapi emosi terasa kurang. Hal serupa dengan editing yang rapi serta cinematography yang oke tapi pesan utama yang dibawa tidak menghasilkan punch yang sangat kuat. Itu mengapa ‘The White Tiger’ ini terasa berisik karena meski membawa cukup banyak isu dan pesan narasi didominasi upaya meyakinkan penonton pada kondisi sosial serta polemik di dalam kehidupan Balram, terlebih di awal kita sudah ditunjukkan secara gamblang hasil akhir perjuangan itu.


Story gets much darker begitupula dengan dramatisasi, Balram dan kisah hidupnya seperti sebuah “show” yang terus berpindah antara isu dan konflik sembari menanti revelation yang sebenarnya sudah penonton ketahui. Cerita terasa repetitif ketika Ramin Bahrani mencoba memperkuat isu dan pesan yang diusung, seolah mendesak penonton untuk semakin larut di dalam permasalahan hidup Balram. Untung saja karakter mampu mempertahankan pesona menarik mereka, Adarsh Gourav tampil menawan sebagai seorang antihero, pesonanya terasa oke, sedangkan Rajkummar Rao dan Priyanka Chopra Jonas mampu menjadi supporting yang mumpuni.

Overall, ‘The White Tiger’ adalah film yang cukup memuaskan. BAFTA hingga Oscars mengganjar script yang ditulis olah Ramin Bahrani nominasi screenplay terbaik, itu pencapaian yang layak karena jalinan cerita yang ia tulis punya semacam energi yang mampu mendorong kisah kelam itu agar terasa eksentrik untuk diikuti. Masalahnya terletak pada eksekusi yang sedikit “over” sehingga membuat punch akhir terasa tidak sama menawannya seperti ketika karakter Balram baru meninggalkan desanya Laxmangarh. Sebuah kisah perjuangan mengejar mimpi yang charming, brutal dan tidak cengeng tapi sayangnya terkesan sedikit memaksakan. Good one.








1 comment :

  1. "The moment you recognize what is beautiful in this world, you stop being a slave."

    ReplyDelete