21 May 2021

Movie Review: The Woman in the Window (2021)

“Stop watching our house or I'll call the police.”

Apakah layak melabeli seseorang gila ketika dia sedang berupaya untuk lepas dari permasalahan mental? Tentu tidak, justru yang harus kita lakukan adalah memberi bantuan terutama secara psikis agar ia dapat segera lepas dari situasi yang kerap membuat penderitanya merasa cemas hingga takut berlebihan, merasa tidak tenang seolah akan terjadi sesuatu yang buruk di sekitarnya serta pada dirinya. Karakter di film ini mengalami itu, ia cemas akan terjadi hal buruk terhadap tetangga barunya yang ia intip dari kaca jendela. Premis yang cukup menarik, bukan? ‘The Woman in the Window’ : an unprepared ambition.


Dr. Anna Fox (Amy Adams) merupakan seorang psikolog anak yang menetap di kota New York, tapi tidak seperti kebanyakan psikolog lainnya kini Anna menjalani hari-hari hanya dengan menonton film seorang diri di apartemen miliknya. Anna berhenti dari pekerjaannya itu dan justru saat ini menjalani sesi dengan seorang psikiater untuk membantunya lepas dari rasa cemas berlebihan. Ibu dari satu anak yang telah bercerai dengan suaminya Edward Fox (Anthony Mackie) tersebut merasakan takut untuk berinteraksi dengan orang selain tenant-nya David Winter (Wyatt Russell).

Anna tidak pernah lagi keluar dari apartemen sehingga tidak heran ia melampiaskan rasa ingin tahunya terhadap dunia luar melalui jendela. Suatu ketika hadir tetangga baru, keluarga Russell, diawali kunjungan pertama dari anak laki-laki mereka Ethan (Fred Hechinger). Setelah itu di hari yang berbeda berkunjung Jane (Julianne Moore) ke apartement Anna, wanita yang menyebut dirinya sebagai Istri dari Alistair Russell (Gary Oldman). Hubungan antar tetangga yang normal itu berubah ketika suatu hari Anna melihat terjadi aksi kekerasan di rumah keluarga Russell.

Saya suka dengan apa yang dilakukan oleh Sutradara Joe Wright terhadap script yang ditulis oleh Tracy Letts di bagian awal, kisah yang diadaptasi dari novel ‘The Woman in the Window’ karya A. J. Finn itu langsung mencuri perhatian dengan cepat lewat kesan ganjil yang dimiliki Dr. Anna Fox. Sebagai seorang Psychologist yang tugasnya menangani permasalahan psikologis Anna kini justru gangguan kecemasan bernama agoraphobia yang membuatnya merasa cemas dan takut untuk berada di lingkungan yang ramai. Joe Wright langsung menekankan kepada penonton bahwa Anna sedang bermasalah, dan permasalahannya itu menyimpan sesuatu yang misterius. 


Terus berkembang dengan baik sebenarnya sejak titik tersebut, terlebih ketika satu per satu karakter tetangga baru Anna itu muncul untuk menyapa dirinya lewat cara yang berbeda. Di sana kamu akan menerka apa niat mereka mendatangi Anna, bahwa mereka seolah menjadi senjata bagi Joe Wright untuk “memoles” permasalahan psikologis Anna menjadi semakin rumit, rasa takutnya terhadap orang asing tentu merupakan jalan termudah untuk menambah dosis pressure terhadap Anna, tidak hanya secara fisik saja namun tentu secara psikologis. Pertarungan di dalam batin dan otak Anna terpancar jelas lewat ekspresi wajahnya, dan narasi terus bergulir dengan cepat.

Tapi apa yang awalnya saya harapkan dapat menjadi sebuah psychological thriller yang padat ternyata justru berkembang ke arah yang berbeda. Sebenarnya Joe Wright sudah benar di bagian awal, cara dia membangun rasa curiga Anna adalah rasa curiga penonton pula terasa sangat baik, dibantu dengan elemen teknis yang oke seperti cinematography yang catchy penonton juga berhasil dibawa untuk terjebak di dalam situasi “terkunci” yang dialami oleh Anna. Permainan atmosfir terasa oke meskipun tone cerita memang tidak pernah terasa kuat di salah satu bagian tapi rasa curiga terus dipupuk semakin tinggi. Tapi itu semua hadir di bagian awal.


Yang muncul setelahnya adalah degradasi yang signifikan dari segi kualitas di setiap sektor, kecuali kinerja akting para aktor. Tempo yang dibangun Joe Wright terasa kurang klik dengan script, berbagai macam clue yang ia tinggalkan untuk membuat penonton merasa penasaran juga terasa underutilized. Sebenarnya titik ketika Anna semakin terganggu dengan perubahan di dalam hidupnya itu dapat menjadi sebuah penggambaran dari rasa sakit penderita gangguan mental, rasa takut dan bingung serta kondisi sendiri karena tidak adanya sang mantan suami membuat perjuangan Anna sebagai sebuah character study yang punya potensi mumpuni.

Tapi saya bingung mengapa Joe Wright dan Tracy Letts terlalu terburu-buru dalam bercerita, para “tersangka” punya kesempatan yang kecil untuk tumbuh di dalam rasa curiga para penonton, meski dibantu staging yang tidak buruk tapi tetap saja pesona mereka terasa tidak kuat dan kurang memorable. Apakah fungsi mereka memang sebatas itu saja? Setup yang dibentuk sejak awal sebenarnya sudah menarik tapi sayangnya cara Joe Wright mengeksplorasi serta mengeksploitasi konflik dan isu terasa kurang matang. Hadir kejutan tapi kesannya dadakan, seperti kurang persiapan sehingga tidak menghasilkan punch yang menyenangkan.


Tidak heran jika dari titik tengah hingga menuju konklusi jalannya narasi seperti menunjukkan sikap “menyerah” dari seorang Joe Wright, seolah ia mengambil jalan pintas saja agar semua plot dan karakter yang tidak terkoneksi dengan memikat itu segera tiba di garis finish. Sangat disayangkan memang mengingat para aktor sudah menampilkan upaya terbaik untuk membuat karakter mereka menarik, dari Julianne Moore, Gary Oldman, Fred Hechinger, Jennifer Jason Leigh, dan tentu Amy Adams yang di sini kembali menunjukkan bahwa dirinya merupakan salah satu aktris terbaik Hollywood saat ini lewat penggambaran yang memikat terhadap wanita yang dirundung rasa cemas.

Overall, ‘The Woman in the Window’ adalah film yang kurang memuaskan. Sepanjang film harus diakui saya terpukau dengan upaya yang ditunjukkan tiap aktor dalam membuat karakter mereka menjadi penuh dengan kesan misterius, mereka menarik, tapi tidak dengan narasi. Setup yang bagus di awal berakhir berantakan akibat tidak hadirnya jalinan cerita yang mampu membawa penonton agar terus terpaku serta bertahap semakin terikat pada problematika yang dihadapi Anna, kurang siap untuk tampak rumit dan terburu-buru pula mencari garis finish. Segmented.







1 comment :

  1. “Curiosity is evidence of a decreased depression pattern.”

    ReplyDelete