31 May 2021

Movie Review: Stowaway (2021)

“What we need is oxygen.”

Dapatkah Mars menjadi pengganti Bumi? Colonization of Mars, sebuah gagasan yang jawabannya saat ini semakin gencar ditelusuri oleh para ahli di bidang astronomi. Sesuatu yang tidak heran memang jika pada akhirnya manusia mulai berusaha untuk mencari “rumah baru” di luar bumi, terlebih dengan ditunjang teknologi yang terus berkembang pesat. Tapi tentu di balik penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh space agencies seperti NASA, ESA, hingga SpaceX, ada trial and error di dalam proses menemukan jalan terbaik mencapai kolonisasi di mars. ‘Stowaway’ : a vanilla sci-fi. (Warning: the following post might contains mild spoilers)


Sebuah misi yang diberi nama MTS-42 baru saja lepas landas dari bumi melakukan perjalanan menuju ke planet Mars. Misi tersebut beranggotakan Komandan Marina Barnett (Toni Collette), seorang Biologist bernama David Kim (Daniel Dae Kim) serta Zoe Levenson (Anna Kendrick), medical researcher yang berperan sebagai Dokter di perjalanan yang akan menempuh waktu selama dua tahun tersebut. Pesawat yang mereka tumpangi berhasil tersambung dengan baik di kapal utama yang bertindak sebagai penyeimbang untuk gravitasi buatan berbasis inersia.

Tapi tidak lama setelah tiba mereka bertemu dengan sebuah kejutan besar. Namanya Michael Adams (Shamier Anderson), launch support engineer yang “tertinggal” dari misi sebelumnya. Kejutan lain muncul, alat pengendali karbondioksida (CDRA) kapal mengalami kerusakan sedangkan senyawa organic litium hidroksida yang menjadi solusi sementara tidak dapat “menopang” ketersediaan oksigen di dalam kapal. Hal tersebut menempatkan empat orang crew di posisi tertekan, karena kini mereka butuh supply oksigen tambahan untuk tetap bertahan hidup.

Bersama kompatriot-nya Ryan Morrison yang kembali menjadi rekan dalam menulis script, Sutradara Joe Penna kembali menyajikan sebuah survival story yang dari segi materi cerita langsung berhasil tampak menjanjikan. Memang harus diakui hal itu banyak terbantu pula dengan teori serta gagasan dari menemukan rumah baru di planet Mars, sesuatu yang dulu mungkin tampak konyol namun kini perlahan justru tampak promising. Ketika mengetahui bahwa pesawat yang membawa tiga crew itu sedang menjadi bagian dari misi serupa rasa tertarik terhadap cerita langsung naik, saya penasaran dengan bagaimana penggambaran perjuangan dari misi seperti ini.


Tapi seperti judulnya film ini memang mencoba mendorong satu fokus yang hadir melalui karakter Michael. Lewat Michael Sutradara Joe Penna mencoba menunjukkan bagaimana rintangan dan tantangan yang harus dihadapi di dalam misi perjalanan luar angkasa, yang notabene segala sesuatunya telah direncanakan dengan sangat matang terlebih dahulu. Kesalahan harus berada dalam skala sekecil atau seminimal mungkin, tidak heran ketika muncul “tambahan” satu penumpang semua sistem berubah menjadi berantakan ketika sebuah masalah hadir. Itu sesuatu yang terasa mengerikan dan itu berhasil dibentuk dengan baik oleh Joe Penna.

Joe Penna sendiri sebenarnya sudah tidak asing dengan survival movie seperti ini karena debutnya sebagai Sutradara film layar lebar adalah film serupa berjudul ‘Arctic’ yang dibintangi oleh Mads Mikkelsen, sebuah drama yang terasa impresif terutama dalam membawa masuk penonton untuk seolah ikut merasakan experience yang sedang dijalani oleh karakter. Hal sama juga terjadi di sini, sebuah harrowing story yang kali ini mengambil latar luar angkasa, Joe Penna menghadirkan sebuah proses di mana masalah berkembang secara perlahan dengan cengkeraman yang terasa cukup oke. Apalagi Joe Penna kembali sukses menarik simpati penonton terhadap karakter. 


Tidak hanya simpati penonton saja sebenarnya karena hampir mayoritas isi film ini terasa identik dengan ‘Arctic’ baik itu dari determinasi karakter yang dikemas seolah terasa tidak terlalu matang, tidak mencoba menghadirkan dramatisasi yang terlalu sentimental, hingga tentu saja isu humanity yang sesekali mencuri spotlight narasi. Ada harapan yang bertarung dengan rintangan di mana Joe Penna dan Ryan Morrison kembali menggunakan ambisi serta ketekunan karakter menemukan solusi sebagai amunisi membuat cerita berkembang. Zoe memegang peran terbesar, compassion di dalam dirinya bertarung dengan dilema yang muncul dan dibangun perlahan.

Hal terakhir tadi yang membuat ‘Stowaway’ pada akhirnya terasa tidak mampu berkembang menjadi sebuah sci-fi thriller yang benar-benar kuat dan absorbing, yakni pacing. Ada momentum yang hilang di antara momen ketika kesepakatan 20 hari itu terbentuk dengan momen ketika Extravehicular Activity (EVA) mulai menuju ke garis start-nya. Seharusnya ada tekanan yang semakin besar di sana mengingat situasi yang dialami empat manusia tersebut hanya menyisakan dua opsi, antara hidup atau mati. Kekurangan itu yang membuat ketika EVA muncul punch yang hadir justru terasa biasa, penggunaan solar flare juga kurang membantu narasi untuk step up higher.


Kelemahan di atas sebenarnya juga muncul di film ‘Arctic’ sehingga saat mengetahui bahwa Joe Penna ternyata menggunakan pola serupa saya tidak merasa terganggu. Plus dan minus kedua film memang terasa sama, both a bit uneven, namun yang membedakan ialah film ‘Arctic’ punya Mads Mikkelsen yang bersinar terang sebagai Overgard. Sedangkan film meskipun punya Toni Collette dan Anna Kendrick sayang karakter mereka tidak pernah mampu bersinar. Zoe memang punya momen di akhir cerita tapi sayangnya tidak menjadi puncak yang kuat karena sepanjang cerita harus berbagi spotlight sama rata dengan karakter lain.

Overall, ‘Stowaway’ adalah film yang cukup memuaskan. Survival story di angkasa sudah menjadi sebuah setting yang potensial sebenarnya bagi film ini, beberapa dari mereka berhasil tampil baik terutama pada kesan “mengerikan” dari rintangan pada misi kolonisasi Mars dan tentu saja, visual effect. Dari awal hingga akhir atensi saya juga berhasil dikunci tapi sayangnya pacing lambat membuat narasi kehilangan momentum di beberapa bagian cerita, thrill dan suspense tidak berhasil terus bertumbuh menjadi sesuatu yang besar dan kuat. Mendarat dengan baik memang tapi dengan kesan yang vanilla.








1 comment :

  1. “We are taking the first steps to being able to call Mars a second home.”

    ReplyDelete