05 October 2020

Movie Review: Yes, God, Yes (2019)


“I thought I was gonna go to hell, for rewinding Titanic back to the sex scene three times.”

Bukankah manusia diperintahkan untuk beranak cucu? Lalu mengapa seks menjadi sesuatu yang tabu? Ya, tabu dan dosa jika kamu melakukan hubungan intim tersebut dengan orang yang bukan merupakan pasanganmu. “Any sex outside of one man, one woman, one marriage is against God's plan”, begitu bunyi satu baris kalimat di film ini yang juga menandakan bahwa masturbasi masuk ke dalam kategori tindakan tabu dan dapat mengakibatkan dosa. Tapi bukankah dari sisi medis masturbasi baik untuk kesehatan, dapat mengurangi stress misal? Ini yang terjadi ketika agama bertemu dengan hal-hal duniawi, sesuatu yang coba di tackle oleh film ini namun dalam cakupan yang lebih luas. ‘Yes, God, Yes’: a simple and juicy dramedy about being a human.


Bersekolah di Sekolah Katolik, Alice (Natalia Dyer) dapat dikatakan merupakan siswi yang sangat tepat untuk bersekolah di sekolahnya tersebut, karena ia tampak sangat taat mengamalkan ajaran agama. Tapi hal tersebut ternyata tidak membuat Alice mampu untuk melawan rasa ingin tahunya terhadap seks, hal yang seperti diajarkan oleh gurunya merupakan sesuatu yang tabu dan akan menghasilkan dosa besar jika tidak dilakukan oleh: seorang pria bersama dengan seorang wanita di dalam ikatan pernikahan, dan harus dengan tujuan utama untuk memperoleh anak. Masturbasi juga merupakan dosa. Alice merasa galau akan hal itu.

Penyebabnya berawal ketika Alice mengikuti permainan word scramble di internet, ia menerima email dari HairyChest1956@aol.com dengan subject ;-) yang berisikan sebuah foto telanjang yang sukses memancing rasa ingin tahu Alice, membawa dirinya berakhir di cyber sex. Alice merasa galau dengan “perasaan” yang tiba-tiba hadir di pikirannya itu, semakin kacau karena beredar rumor Alice telah "tossed the salad" teman sekolahnya. Agar dapat kembali ke “jalan yang benar” bersama dengan Laura (Francesca Reale) Alice memutuskan mengikuti retreat Kirkos, tapi celakanya di sana ia justru bertemu berbagai hal mengejutkan lainnya.  

Di film versi film pendeknya kala itu Sutradara Karen Maine berhasil mendorong sebuah isu menarik ke hadapan penonton, isu yang meamng mungkin dianggap tabu tapi layak untuk diperbincangkan karena menyangkut tentang dua sisi yang terasa sulit untuk diciptakan semacam koneksi, yaitu antara agama dan dunia. Bukan tidak mungkin, tapi sulit terlebih jika tidak disertai dengan bekal ilmu yang kuat di dalamnya karena agama itu suci sedangkan dunia tidak. Akan sangat mudah muncul pertentangan di antara kedua sisi, hal yang telah diwanti-wanti oleh Maine. Tidak heran ketika memanjangkan kisah Alice yang galau ketika bertemu dengan nafsu ini Maine telah mempersiapkan pesan utamanya dengan sangat kuat.


Letaknya konvensional yaitu di bagian akhir, namun untuk menuju ke sana penonton dibawa Karen Maine bertemu dengan berbagai gesekan yang tentu akan membuat sisi rohani dan duniawi dari para penontonnya saling berdiskusi. Tidak alot memang namun sukses menciptakan gemericik api kecil yang menarik terutama tentang karakter yang menjadi “buta” karena agama. Ya, menarik, sesuatu yang semakin mudah untuk kita temukan di dunia sekarang ini, baik itu di dunia nyata hingga di dunia maya dan kerap menimbulkan berbagai masalah, seperti aksi yang menolak untuk melihat secara lebih luas dunia di sekitarnya yang berakibat pada sikap intoleransi yang terasa semakin menjengkelkan. Dan menggelikan.

Ya, itu pula yang coba ditampilkan oleh Karen Maine di debut penyutradaraan film layar lebar-nya ini, ia menggunakan ruang yang lebih besar untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam berbagai isu. Cara yang ia gunakan adalah dengan membuat karakter utama kita, Alice, bertemu dengan berbagai hal menggelikan di sekitarnya. Meskipun menggunakan setting sebuah Sekolah Katolik, menggunakan beberapa ritus keagamaan, namun Karen Maine mampu membuat isu dan pesan yang berada di pundak Alice terasa jauh lebih luas dan dapat menyentil semua golongan agama dan manusia, sebuah pencapaian yang tidak lepas dari pilihan Karen Maine untuk mengisi sekeliling Alice dengan hal-hal yang sangat mudah kita temui sekarang ini.


Salah satunya adalah hoax. Alice harus berurusan dengan hoax dan hal tersebut berjalan secara beriringan dengan rasa ingin tahu Alice yang tumbuh secara perlahan terhadap hal-hal duniawi. Alice termasuk siswi yang taat menjalankan agama namun di sisi lain ia mulai merasakan hasrat yang besar terhadap seks, dari sebatas tergoda hingga mulai mencoba mencari tahu di internet. Hal tersebut membawanya masuk ke dalam masalah yang juga adalah pesan tentang bahaya yang dimiliki oleh internet. Tidak hanya internet, tapi juga potensi bahaya yang akan muncul ketika manusia mulai beranjak dari remaja menuju dewasa. Ini disajikan dengan baik oleh Karen Maine tanpa meninggalkan kesan eksploitatif yang mengganggu.

Sama seperti ketika ia mencoba menampilkan pesan tentang bahaya yang tersimpan jika manusia menjadi terlalu “naif” dalam menjalani hidup, karena kepalsuan bertopeng kini semakin merajalela. Tampilan luar yang menarik tidak serta merta mencerminkan kualitas yang tersimpan di bagian dalamnya, misalnya orang-orang yang bersikap layaknya ia merupakan sosok yang suci mungkin saja masih belum mampu untuk menjalin hubungan spiritual yang berkualitas dengan Tuhan. Ini point universal yang dikemas dengan sangat kuat oleh Karen Maine, bukan hanya tentang sekedar apakah ini salah atau benar di dalam ajaran agama saja namun lebih luas dari itu, ia menyasar para judgmental people yang kini jumlahnya tumbuh sangat cepat.


Hal terakhir tadi terasa berkesan buat saya, sama seperti pesan tentang belajar menjadi sosok yang lebih baik lagi dengan di mulai dari diri sendiri. Scene terakhir adalah sesuatu yang cerdik, seorang remaja yang beranjak dewasa yang merasa sulit untuk melawan nafsunya, sebuah penggambaran bagaimana manusia sangat mudah untuk tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Karen Maine sukses mengemas itu tanpa sedikitpun menciptakan kesan menggurui, dibantu dengan kinerja akting yang mumpuni terutama dari Natalia Dyer serta kualitas editing yang simple namun padat, penonton ia lepas untuk mengamati isu dan menyerap pesan penuh ironi yang ia letakkan secara eksplisit itu.

Overall, ‘Yes, God, Yes’ adalah film yang memuaskan. Ini adalah sebuah dramedy yang simple namun berhasil bekerja dengan sangat efektif dalam menyampaikan isu dan pesan yang ia bawa, dari hoax lalu disambung isu tentang judgmental people, hingga masuk ke ranah tentang hubungan spiritual di antara manusia dan Tuhan yang menggunakan isu nafsu duniawi sebagai jalan. Karen Maine tidak bertele-tele dalam mengembangkan film pendeknya itu, kerangkanya sama lalu ia tambahkan “bumbu” yang membuat cerita terasa semakin sedap, membuat isu dan pesan sederhana yang dulu pernah ia usung berkembang menjadi semakin luas, dan tentu saja menjadi terasa semakin kuat. 









1 comment :

  1. “Can you create children from sex with yourself?” :)

    ReplyDelete