20 April 2021

Movie Review: The Father (2020)

“Pardon me for breathing.”

Manusia berawal dari bayi dan akan berakhir sebagai bayi pula. Sebuah pernyataan yang secara logika memang aneh namun sangat mudah ditemukan di kehidupan nyata meskipun tidak lantas membuatnya menjadi sebuah fakta. Saat kecil kamu dirawat oleh orangtua, kemudian tumbuh dewasa dan memiliki kemampuan untuk melakukan segala macam hal, namun ketika energi itu perlahan tergerus kamu akan kembali membutuhkan “bantuan” dari anak-anakmu. Dengan cara sederhana namun terasa luar biasa siklus tadi diceritakan oleh film ini. ‘The Father’ : they’re thinking of ending things.


Ketika masuk ke dalam sebuah apartemen wanita bernama Anne (Olivia Colman) seolah telah tahu dan siap dengan situasi yang akan segera ia temui. Di sana tinggal pria bernama Anthony (Anthony Hopkins), Ayah dari Anne yang mengidap penyakit demensia yang juga baru saja mengusir caretaker yang disewa Anne untuk merawat sang Ayah. Anthony mengatakan bahwa caretaker tersebut telah mencuri jam tangan yang selama ini selalu ia taruh di satu tempat yang sama. Anthony tetap bersikeras bahwa dugaannya itu tidak salah dan ia menunjukkan sikap risih pada upaya Anne yang mencoba meyakinkan sang Ayah bahwa dia butuh caretaker.

Anne tahu akan kondisi sang Ayah setelah mengidap penyakit dementia, tidak heran ia menyewa caretaker yang dapat mengawasi dan membantu Anthony ketika nanti Anne telah pindah ke Paris. Tidak hanya itu, Anthony juga bersikeras menolak untuk pindah dari apartemen yang terletak di kota London itu, yang ia klaim merupakan miliknya. Berbagai cara coba dilakukan oleh Anne untuk meyakinkan sang Ayah dan salah satunya menunjuk wanita bernama Laura (Imogen Poots) menjadi caretaker pengganti, sosok yang kemudian disebut Anthony mirip dengan anak perempuannya yang bernama Lucy.

Semuanya tampak biasa sebenarnya di bagian awal ketika penonton dibawa oleh Sutradara bertemu dengan Anthony serta anak perempuannya yang bernama Anne itu. Anthony sendiri dengan sangat cepat dan mudah langsung membuat saya tersenyum dengan perawakannya, ia adalah tipikal manusia yang telah berada di usia senja pada umumnya, ia gemar menggerutu dan tampak cerewet, tapi di sisi lain Anthony berusaha menunjukkan bahwa dia bukanlah pria yang manja. Dan dari sana muncul konflik pertama yakni penolakan Anthony terhadap ide Anne yang ingin menyewa perawat untuk membantu Anthony beraktifitas sehari-hari. Lagi-lagi, itu isu klasik tapi dikemas secara menarik.


Yang saya suka adalah Florian Zeller menciptakan kombinasi antara gejolak batin yang sedang dialami oleh Anne terkait kondisi sang Ayah serta gejolak di dalam diri Anthony, yang mulai kewalahan saat berurusan dengan demensia yang membuatnya mengalami perubahan penurunan fungsional tidak hanya pada kemampuan motorik saja tapi juga memori jangka pendek. Anthony semakin mudah lupa dan kondisi itu yang kemudian dieksploitasi dengan manis oleh Florian Zeller dengan menggunakan teknik narasi non-linear. Nah, ini merupakan faktor paling mengejutkan dari film ini, muncul berbagai macam “stage” dengan keteraturan yang tidak runtut.

Meskipun diambil dari play berjudul ‘Le Père’ yang ia tulis sendiri, pada awalnya saya mengira Florian Zeller akan menyajikan ‘The Father’ sebagai drama konvensional tapi ternyata ini tampil sedikit lebih artsy. Saya suka dengan narasi non-linear yang digunakan, sangat sukses mengakomodir ruang bagi goals yang ingin dicapai yakni menempatkan penonton di dalam pikiran seseorang yang sedang bertarung dengan demensia. Presentasinya sendiri mungkin tampak rumit terlebih ketidakteraturan tadi membuat jalannya cerita serta karakter yang tampil kerap mendorong kejutan tidak hanya kepada Anthony namun juga penonton di dalam drama satu ruang.


Dari awalnya bertemu Paul misalnya, Anthony sedang membahas jam tangan lalu tiba-tiba Paul berganti dengan Bill, kemerosotan daya ingat dan mental dari old age berhasil ditampilkan dengan baik dan menarik lewat penggunaan teknik tersebut. Tampak membingungkan memang namun justru berhasil membawa penonton ikut merasakan bagaimana kondisi psikologis Anthony yang perlahan semakin “hancur” itu. Ketidakteraturan pada narasi justru memberi penonton pemahaman bagaimana para pasien demensia bertarung dengan penyakit yang menyiksa mereka itu, dalam narasi yang bergerak tenang serta dipenuhi dengan sensitifitas yang terasa sangat cantik.

Florian Zeller tidak menggunakan dramatisasi yang terasa berlebihan tapi justru sukses membuat penonton untuk ikut merasakan penderitaan karakter, untuk ikut berempati. Anthony sendiri merupakan senjata yang menarik buat Florian Zeller, berulang kali ia mengatakan bahwa apartemen itu adalah miliknya, berulang kali pula ia menyinggung satu lagi anak perempuannya yang bernama Lucy, kesan ganjil terbentuk dengan lembut namun disertai dengan emosi yang membuat penderitaan Anthony terasa semakin besar. Saya juga suka Florian membuat sosok Lucy menjadi semacam misteri untuk menarik simpati penonton lebih besar lagi, terutama melihat ekspresi dan reaksi dari Anne.


‘The Father’ terasa menyenangkan juga karena ada perpaduan “rasa” yang menarik di dalam cerita. Ini tidak melulu tentang pria tua yang penderitaannya mencoba menarik emosi penonton namun ada isu lain yang tampil lewat karakter Anne terkait bagaimana perlakuan kita terhadap mereka yang mengalami demensia. Anne lebih sering tampil dalam diam tapi kamu bisa rasakan kepedihan di dalam dirinya lewat cara ia melihat sang Ayah, ia mencoba mencari solusi dari penolakan sang Ayah untuk dirawat yang membuat rasa lelah dan frustasi Anne semakin menumpuk, bercampur dengan rasa cemas dan takut yang ia rasakan terhadap kondisi sang Ayah yang ia sayangi itu.

Kombinasi antara perjuangan Anthony dan perjuangan yang juga sedang dijalani Anne membuat panggung yang berputar di dalam satu ruang apartemen itu terus memiliki isu dan konflik yang konsisten menarik untuk diikuti, berisikan struggle and acceptance tanpa mencoba tampil terlalu sentimental. Pencapaian yang tidak lepas dari kinerja akting memikat. Anthony Hopkins tampil bersinar menampilkan rasa takut, bingung, dan juga amarah dari Anthony secara subtle, ia membuat sosok Anthony yang rumit itu tampak mudah untuk diperankan. Sedangkan Olivia Colman menampilkan performa akting yang sangat heartfelt, menjalankan tugasnya dengan baik sebagai penyeimbang dan supporter bagi Anthony.

Overall, ‘The Father’ adalah film yang sangat memuaskan. Pendekatan yang coba diterapkan oleh Florian Zeller memang bukan buat semua orang, ada potensi besar penonton juga akan mengalami apa yang dialami oleh Anthony yaitu merasa bingung dengan narasi non-linear itu. Ini adalah sebuah experience perjuangan dari penderita demensia di mana ketakutan, amarah, hingga rasa bingung berkombinasi menjadi sebuah pementasan yang terasa lembut serta tidak kaku, menarik masuk penonton untuk berada “di dalam” pikiran Anthony bersama eksposisi yang bergerak tenang serta dipenuhi dengan sensitifitas yang terasa sangat cantik. One of the best movie this year. Segmented. 







1 comment :