15 March 2021

Movie Review: Raya and the Last Dragon (2021)

"It may feel impossible, but sometimes, you just have to take the first step, even before you're ready."

Indonesia bersama sepuluh negara Asia Tenggara lainnya disebut menjadi inspirasi bagi dunia fantasi di film ini, bernama Kumandra yang dilindungi oleh para naga. Ini menarik karena untuk pertama kalinya Disney menggunakan Asia Tenggara sebagai latar bagi fictional land di dalam cerita film animasi mereka. Lantas apakah hal itu juga menjadi pertanda akan ada pendekatan yang berbeda dan lebih segar terhadap kisah yang kembali menggunakan setting klasik Disney tersebut, yakni seorang putri raja yang bertarung dan menyelesaikan masalah? Dari segi visual template Disney kembali beraksi, dan dari segi cerita ternyata juga sama. ‘Raya and the Last Dragon’ : another Disney’s magic with their tried-and-tested ingredients.


Dahulu kala terbentuk sebuah negara bernama Kumandra yang dilindungi oleh para naga, namun suatu ketika muncul roh jahat bernama Druun yang menghancurkan dan memecah belah Kumandra menjadi beberapa bagian. Druun menyerap nyawa dari banyak orang di Kumandra dan kemudian mengubah mereka menjadi batu tak bernyawa. Para naga pelindung tadi menggunakan sihir mereka dan menyatukannya dalam bentuk sebuah bola ajaib, aksi yang celakanya mengubah para naga menjadi batu. Sayangnya pasca kejadian tersebut Kumandra juga terpecah belah, terbentuk beberapa suku baru yakni Fang, Heart, Spine, Talon, dan Tail.


Bola ajaib tadi disimpan oleh suku Heart yang di bawah pimpinan Chief Benja (Daniel Dae Kim) sebenarnya mencoba untuk menyatukan kembali para suku, hal serupa kepada anak perempuannya, Raya (Kelly Marie Tran) sehingga acara pertemuan antar para suku yang ia gagas menjadi momen yang tepat untuk menunjukkan hal tersebut kepada Raya. Celakanya sebuah rencana jahat menyebabkan bola ajaib tadi menjadi rusak, pecah menjadi beberapa keping. Hal tersebut membuat Druun dapat kembali beraksi, situasi yang memaksa Raya untuk bertualang untuk menemukan dan menyatukan kembali kepingan bola ajaib tadi.

So, adalah sesuatu yang wajar jika saya menaruh ekspektasi pada ‘Raya and the Last Dragon’ bahwa ia dapat menjadi sebuah angin segar bagi jajaran para princess Disney, meskipun tidak tinggi namun ada harapan bahwa keunikan Asia Tenggara dapat diolah menjadi amunisi yang mumpuni agar template dasar yang digunakan itu bisa menelurkan cerita yang segar meski tidak sepenuhnya baru. Sayang kejutan yang muncul justru berasal dari fakta bahwa ‘Raya and the Last Dragon’ ternyata bermain di template yang sama, seratus persen. Sutradara Don Hall bersama dengan Carlos López Estrada tidak dibekali materi cerita yang “berani” tampil beda.


Tentu saja script yang ditulis oleh Qui Nguyen dan Adele Lim sangat jauh dari kata buruk tapi cukup kentara kesan bermain aman pada cara mereka memutar isu dan pesan klasik itu untuk tampil ke hadapan penontonnya, tidak ada kesan berani untuk bermain sedikit out of the box. Ini adalah debut Qui Nguyen di film layar lebar sedangkan film ini menjadi film kedua yang naskahnya ditulis oleh Adele Lim setelah debut lewat ‘Crazy Rich Asians’ yang manis itu. Keduanya menyusun dengan baik rangkaian atau runtutan cerita, di balik hadirnya beberapa momen yang sedikit dark saya rasa tidak sulit bagi penonton usia muda untuk klik dan menikmati perjuangan Raya dan rekan-rekannya itu. Lagipula jalur utamanya juga sangat sederhana.

Saya suka bagian awal cerita ketika kita bertemu Chief Benja dan berkenalan dengan Raya, penyebab dari terpecahnya Kumandra serta latar belakang masalah terbentuk cepat dan oke. Bahkan ada satu momen ketika saya menaikkan ekspektasi terhadap Raya, ia tidak hanya tampak tangguh tapi juga memiliki pesona yang oke sebagai pemimpin yang bermimpi untuk mewujudkan coexistence yang damai di Kumandra. Namun ternyata menemukan kepingan bola ajaib serta the last dragon itu membawa saya masuk ke dalam jalur lurus dan cepat di dalam misi seorang Raya. Dan semakin lengkap karena Qui Nguyen dan Adele Lim memasukkan berbagai macam karakter pendukung yang berulang kali sukses mencuri perhatian penontonnya.


Berada di jalur lurus dan cepat untuk menyelesaikan misi membuat sosok Raya tidak memiliki ruang ekstra untuk menunjukkan empowerment yang ia punya, ia justru ditempatkan pada posisi sebagai komandan sebuah kapal yang berpindah cepat dari satu titik ke titik lain menyelesaikan tugas. Memang di bagian akhir ada momen yang tersedia bagi Raya untuk membuat “statement” tapi sayangnya heart and soul yang tampil di sana tidak luar biasa. Ceritanya sendiri memang up to date namun isu dan pesan yang seharusnya dapat bersinar justru tertutupi dengan fokus yang semakin lama semakin terkunci pada “tugas” tersebut tadi, bahkan pesan kebersamaan yang seharusnya menjadi spotlight terasa kurang bersinar terang.

Andai saja Qui Nguyen dan Adele Lim sedikit lebih berani memberi ruang bagi Raya untuk “berkuasa” mungkin hasilnya akan lebih baik, karena itu yang kurang di sini yaitu sinar terang dari karakter utama. Bahkan dalam hal pesona posisi Raya berada di bawah Sisu, ia juga bersaing dengan Tuk-tuk dan Little Noi yang bersama monyet nakal itu berhasil tampil kocak. Boun dan Namaari juga selalu mampu mengalahkan Raya ketika giliran tampil mereka tiba. Saya tidak merasa “terpaku” dengan pesona Raya sehingga berdampak pada excitement dari perjuangannya, semakin lengkap karena narasi juga berjalan menggunakan template standard milik Disney dengan beberapa dialog yang terasa kaku dan canggung.


Ini yang membuat image ‘Raya and the Last Dragon’ bagi saya adalah sebuah animasi cantik yang takut tampil berani dan kreatif. Menjadi predictable bukan sesuatu yang salah tapi dengan plot yang “membosankan” itu seharusnya ada hal mencolok untuk memoles plot dan pesan agar terasa sangat memorable dari sektor cerita. Padahal ini sudah start dengan sangat baik, bergerak dengan tempo tinggi ditemani dengan kualitas animasi yang stunning, dari tekstur hingga design. Cantik. Begitupula action sequence, terasa engaging dan dope malah, menyokong karakter yang disuntikkan nyawa dengan baik oleh pada pengisi suara. Awkwafina tentu paling bersinar, her liveliness menyatu sangat baik dengan Sisu yang dari segi design terasa biasa saja.

Overall, ‘Raya and the Last Dragon’ adalah film yang cukup memuaskan. Saya kurang bahagia dengan film animasi ke-59 dari Walt Disney Animation Studios ini karena ia punya keunikan yang berpotensi membawa sesuatu yang “segar” ke dalam jajaran film animasi Disney. Tapi sayang not everything was successful, familiar adventure ini jelas merupakan animasi yang diproduksi dengan sangat baik, visual-nya cantik, predictable tapi tetap mampu menyajikan kegembiraan dengan cara yang fun dan cute. Kekurangannya adalah isu, pesan, hingga "statement" tenggelam di balik aksi para karakter yang mengeksploitasi materi klasik dan teruji milik Disney. Biasalah.





1 comment :

  1. "We have a choice. We can tear each other apart, or we can come together and build a better world. It’s not too late.”

    ReplyDelete