05 December 2020

Movie Review: Mulan (2020)


“There is no courage without fear.”

So, this is it, salah satu film yang paling dinantikan di tahun 2020 ini. Tentu menjadi sebuah kekecewaan menyaksikan film ini hanya dari layar televisi mengingat visual yang indah tentu menjadi satu dari beberapa hal yang coba dijual oleh film ini, dapat menyaksikannya di layar bioskop mungkin akan terasa jauh lebih menyenangkan. Pandemi Covid-19 sendiri merupakan rintangan terakhir bagi film yang kabarnya mengalami development hell selama satu dekade ini. Apakah setelah akhirnya berhasil terbang apakah ia juga mendarat dengan baik? ‘Mulan’ : a run-of-the-mill live-action adaptation.


Seorang mantan prajurit yang kini telah pensiun bernama Hua Zhou (Tzi Ma) tentu saja merasa bersyukur memiliki dua orang anak perempuan bersama istrinya Hua Li (Rosalind Chao), tapi di sisi lain keluarga mereka selalu menjadi sorotan karena tidak memiliki anak laki-laki. Tapi anak sulung mereka, Hua Mulan (Yifei Liu) tampaknya tidak senang dengan penilaian tersebut terlebih karena dirinya sangat menyukai hal-hal yang berkaitan dengan martial arts. Ya, Mulan memiliki DNA seorang prajurit milik Ayah-nya, tidak heran ia mengambil keputusan berani dengan nekat bergabung mengikuti pelatihan militer.

Karena invasi Rouran Warriors di bawah pimpinan Böri Khan (Jason Scott Lee) dan sekutunya Xianniang (Gong Li) yang tampak semakin agresif, The Emperor of China (Jet Li) meminta agar setiap keluarga mengirimkan satu anak laki-laki mereka untuk mengikuti pelatihan di bawah komando Commander Tung (Donnie Yen). Sadar akan kondisi yang sang Ayah yang tidak lagi "memungkinkan" ikut berperang, Mulan memutuskan untuk menjadi wakil bagi keluarga mereka. Tapi masalah bagi Mulan sudah jelas sejak awal, bahwa yang dapat ikut serta hanya anak laki-laki. Mengakali hal tersebut Mulan menyamar menjadi laki-laki.  

Setiap kali mendengar nama Mulan maka hal pertama yang terlintas di pikiran saya adalah women empowerment. Selalu seperti itu karena harus diakui memang bahwa di antara karakter Disney Princesses itu Mulan merupakan yang paling kontras dalam hal “memperjuangkan” kesetaraan derajat di antara pria dan wanita. Kita bisa lihat karakter Mulan yang tidak terlibat di dalam hubungan cinta super rumit, fokusnya ialah untuk memperjuangkan kesetaraan gender dengan melakukan pemberontakan besar yang meruntuhkan berbagai aturan konvensional. Itu pesona paling baik dari Mulan, ia tidak menyembunyikan jati dirinya hanya untuk membuat orang lain puas, ia justru menciptakan perubahan dengan membuktikan kemampuan yang dimiliki oleh wanita tapi tetap dengan mengedepankan kehormatan.


Terkesan “magical”, bukan? Seharusnya begitulah karakter Mulan ditampilkan dan di tangan Sutradara Niki Caro semua berjalan di track yang tepat, pada awalnya. Bagi yang sudah pernah menonton film animasi Mulan maka cara karakter utama kita itu memperkenalkan dirinya akan terasa memikat. Tidak menggunakan waktu banyak pesona wanita muda yang tangguh langsung terbentuk dengan cepat, ada jiwa rebel di dalam diri Mulan dan ia sukses membuat penonton ingin mendukung dirinya. Ini sebenarnya kondisi yang sudah tepat bagi cerita karena meamng ia akan berurusan dengan isu women empowerment, tapi sayangnya kualitas untuk hal terakhir tadi terasa kurang kuat, kurang mampu membuat kisah salah satu Disney Princess yang punya pesona khas ini untuk terasa menonjol.

Kekurangan yang paling kentara hadir hingga akhir adalah eksplorasi emosi yang terasa kurang dalam. Penonton paham dengan apa yang ingin disampaikan di sini, sebuah pembuktian diri mungkin yang paling menonjol, tapi Mulan tidak diberikan kesempatan untuk membuat isu-isu yang emban terasa tajam. Mulan lebih terasa seperti figure yang digunakan untuk menunjukkan women empowerment secara garis besar saja, tanpa perlu meninggalkan kesan yang mendalam. Mencapai target memang tapi hasil akhirnya terasa too normal untuk ukuran sosok Disney Princess yang potensial seperti Mulan, ia seperti diberikan begitu banyak tugas yang harus diselesaikan dengan cepat. Hasilnya Mulan jadi sibuk menyelesaikan tugas tersebut, ruang cerita banyak dihabiskan untuk mengurai masalah menuju konklusi.


Celakanya proses mengurai masalah itu juga tidak dibarengi dengan keberadaan “tekanan” yang mumpuni terhadap Mulan dari karakter antagonis. Fokus terlalu melekat pada Mulan dan semua kemampuannya yang luar biasa itu, padahal untuk membuat pesona Mulan tersebut semakin bersinar harus ada proses “jatuh” yang juga kuat dan memikat, dan hal itu sebenarnya tugas karakter antagonis. Di sini karakter antagonis seperti tumpul, Böri Khan sejak awal kemunculan tidak mampu mengembangkan pesona menakutkan yang ia punya, sedangkan Xianniang hanyut dalam ambiguitas yang tidak tegas padahal ia punya pesona jahat yang lebih oke ketimbang Bori Khan. Latar belakang masalah yang mereka punya juga terasa lemah padahal perannya penting untuk membuat cerita menjadi lebih kompleks.

Dampaknya cukup signifikan di mana momen transisi antara proses pelatihan prajurit menuju ke main course di arena perang itu kurang mampu menampilkan excitement yang terasa kuat dan maksimal. Momen itu lebih kepada hadir untuk membuka jalan, begitupula ternyata dengan konflik lain yang kemudian muncul, mereka hanya sekedar menjadi batu loncatan yang kesan akhirnya justru terasa tidak terlalu penting. Script kurang oke dalam menciptakan runtutan masalah di mana pada tiap bagian cerita masalah-masalah tadi dapat digali sedikit lebih dalam, sehingga ada kesan yang oke ketika narasi berpindah untuk bergerak maju. Tampak sepele tapi itu sangat penting, terutama untuk membuat karakter menjadi terkesan “penting” di dalam cerita.


Yang terjadi justru sebaliknya, yang saya pedulikan hanya Mulan padahal di sana ada berbagai karakter lain yang sedang berada di dalam bahaya besar. Contohnya pada narasi, ada urgensi di sana terutama karena tercipta kondisi yang berbahaya bagi Mulan dan karakter lain, tapi tidak ada rasa peduli yang besar pada mereka. Itu menggerus kesan “magical” yang ada di dalam perjuangan seorang Mulan. Bagian akhir itu sendiri terasa oke tapi saya rasa dapat hadir dengan pesona yang jauh lebih memikat seandainya pada proses menuju ke sana hadir berbagai dramatisasi yang dengan kandungan emosi yang lebih kuat. Kekurangan tersebut tadi terasa menonjol dan sulit untuk dilupakan sekalipun Niki Caro terus menjejali penonton dengan visualisasi yang cantik itu.

Tone cerita boleh sedikit dark, tapi tidak dengan visual yang punya permainan tone warna yang kontras. Saya suka dengan visual Mulan terlebih ketika ia menampilkan berbagai action sequences yang sangat berbanding terbalik dengan cara cerita berkembang, mereka terasa sangat energik. Kualitas visual effect terasa oke terutama di bagian akhir saat berbagai action sequences mulai bermunculan dalam jumlah yang banyak dan bergerak cepat. Cinematography juga menjadi elemen yang paling mencolok di sektor teknis ini, cara ia berputar-putar itu merupakan sebuah perjudian besar yang terbayar lunas, ia mampu sedikit menutupi lemahnya narasi dengan terus memaku atensi penonton lewat berbagai gerak yang menyenangkan di layar, menyorot berbagai martial arts dengan baik dan menampilkan kesan epic yang menarik.


Tapi apakah hal positif di elemen teknis tadi mampu mendongkrak pesona ‘Mulan’ untuk melesat naik sangat jauh? Sayangnya tidak karena kekurangan di sektor cerita tadi juga ditemani dengan kekurangan yang dimiliki karakter. Ini dampak domino sebenarnya, karakter tidak dipersenjatai dengan materi yang meminta mereka untuk “tampak rumit” sehingga tidak heran mayoritas di antara mereka terasa flat. Datar, termasuk karakter yang diperankan oleh aktor-aktor kenamaan seperti Xianniang (Gong Li), The Emperor of China (Jet Li), dan Commander Tung (Donnie Yen). Love interest di dalam diri Chen Honghui (Yoson An) juga terasa mentah. Hanya Mulan yang punya kesempatan dan itu digunakan dengan cukup baik oleh Yifei Liu untuk memancarkan pesona wanita muda yang tangguh dan gigih serta teguh pada sikap dan pendirian yang ia pegang.

Overall, ‘Mulan’ adalah film yang kurang memuaskan. Di sektor cerita eksekusi dari Sutradara Niki Caro terasa kurang kuat, kualitas emosi serta impact yang dihasilkan terasa seadanya, begitupula dengan peran dari karakter lain di luar Mulan, namun di sektor teknis ia bersama timnya menyajikan salah satu pertunjukan visual paling manis di tahun 2020 ini. Goals tercapai, cerita tentang rasa hormat, kejujuran, dan pengabdian pada keluarga dan juga negara tersampaikan dengan baik sedangkan isu stereotip tentang gender juga mendarat manis. Yang kurang? Daya magis. Magical power itu absen. Too bad it's too normal.








1 comment :

  1. “When employed correctly four ounces can move 1,000 pounds.”

    ReplyDelete