06 December 2020

Movie Review: Run (2020)

“Will she be okay?”

Ada sesuatu yang sangat menyeramkan di film ini, dan “celakanya” hadir dalam presentasi sederhana, menggunakan formula terjebak dan mencari jalan keluar. Tapi ada satu hal yang menarik dari sana yakin bagaimana Sutradara Aneesh Chaganty kembali melakukan apa yang dahulu pernah ia hadirkan di film ‘Searching’, yaitu bahwa bagi sebuah film karakterisasi adalah kunci penting prestasi, terlepas dari apakah script yang ia punya sangat bagus, bagus, lumayan, atau bahkan biasa saja. Kita dibawa bertemu Diane serta Chloe dan “ikut bermain” bersama mereka di dalam sebuah psychological thriller. ‘Run’ : an effectively and smartly packaged madness.


Wanita bernama Diane Sherman (Sarah Paulson) melahirkan secara prematur di mana sang bayi berada dalam kondisi yang tidak baik sehingga harus menjalani perawatan intensif. Anak bayi tersebut kini telah tumbuh besar menjadi remaja yang sedang beranjak dewasa bernama Chloe (Kiera Allen), tapi ironisnya kini Chloe telah mengidap penyakit arrhythmia, hemochromatosis, diabetes dan paralysis. Ya, Chloe lumpuh dan harus menjalani aktifitas dengan menggunakan kursi roda. Sosok yang pintar di bidang teknologi dan engineering itu kini masih terus menantikan surat pemberitahuan apakah ia diterima untuk menjadi mahasiswa di the University of Washington.

Chloe sendiri belajar dari rumah dan untungnya guru pengajar baginya tidak selalu berganti-ganti, tidak seperti Dokter yang menangani resep obat bagi Chloe. Diane sendiri tidak masalah jika Chloe harus pergi meninggalkannya dan memulai hidup baru sebagai Mahasiswi, karena ia paham itu mimpi terbesar Chloe sehingga tidak heran jika Diane selalu menjadi orang yang mengambil surat yang dikirimkan ke rumah mereka. Kehidupan mereka tampak normal, tidak ada pertengkaran meski Chloe tidak diberikan iphone oleh Diane, hingga tiba di satu hari ketika Chloe hendak mengambil cokelat, ia menemukan sebuah botol obat berwarna hijau milik Diane.

Mengapa di awal tadi saya menyebut film ‘Searching’, karena di film terbarunya ini Sutradara Aneesh Chaganty menggunakan formula yang banyak mengingatkan saya pada apa yang dahulu sukses menghantarkannya meraih atensi banyak penonton. Urutannya sendiri tentu saja berbeda tapi pola yang diterapkan serupa, dari awalnya memperkenalkan karakter dan kemudian secara bertahap membawa karakter tadi bertemu dengan isu yang menguras emosinya secara perlahan. Aneesh Chaganty jelas tidak mau semua langsung “bergerak cepat” di sini, ia cukup sering menginjak pedal rem terutama pada momen revelation yang selalu dinantikan penonton, tapi keputusannya itu justru menjadi salah satu pesona terbaik film ini.


Mengapa? Karena setelah penonton tahu latar belakang masalah yang eksis di antara Chloe dan Diane yang hadir kemudian adalah kita digiring untuk bermain dengan rasa curiga terhadap karakter, dan di sana Aneesh Chaganty bermain tarik dan ulur pada naskah yang ia tulis bersama Sev Ohanian itu. Jelas ada sesuatu yang terasa sangat ganjil di antara karakter tapi penonton tidak langsung bertemu dengan sebuah kepastian, tidak hanya pada cerita saja tapi juga pada opini penonton itu sendiri terhadap apa yang sedang terjadi di dalam cerita. Jelas ada korban di sana tapi apakah itu mungkin jika menilik bagaimana karakter lain memiliki berbagai alibi yang uniknya terasa meyakinkan, kerap sukses mementahkan rasa curiga penonton walau untuk sejenak. 

Opening scene itu punya peran terhadap dua hal penting yang terjadi di ‘Run’, tidak hanya pada momen revelation tadi tapi juga sukses menjadi akar kuat bagi karakter yang mulai “tersudutkan” itu untuk tetap kokoh dan leluasa melemparkan berbagai alibi. Aneesh Chaganty bersama Sev Ohanian tidak mencoba menciptakan sesuatu yang benar-benar baru di sini, mereka menggunakan formula klasik namun mampu menghadirkan ekposisi berisikan dramatisasi yang mumpuni. Pertanyaan utama tentang apa yang sebenarnya terjadi terus disorot oleh Aneesh Chaganty, ia tidak memberi kesempatan pertanyaan itu rehat dan tenggelam, justru semakin jauh narasi berjalan pertanyaan tersebut menjadi seperti balon yang terus ditiup.


Dan kapanpun dapat pecah untuk membawa kejutan. Penonton “dipermainkan” oleh Aneesh Chaganty bersama dengan misteri yang berkembang menjadi semakin intens dan menegangkan. Tentu saja semakin menyeramkan pula. Gimmick klasik yang digunakan berfungsi dengan baik, tidak ada eksploitasi yang berlebihan sehingga tidak membuat cerita yang predictable di titik pusatnya itu jadi kehilangan dinamikanya. Pace cerita terasa stabil dan membuat “kepanikan” yang muncul di dalam cerita jadi tertata dengan baik. Itu pula yang membuat tiap punch dari berbagai kejutan yang hadir terasa kuat, bukan hanya sekedar dalam hal mengurai konflik saja tapi juga menyajikan pukulan telak dari sisi emosi.

Tidak ada rasa ragu di sana, tidak heran pula jika kata-kata seperti “gila” atau psycho cukup banyak dilontarkan oleh para penonton. Terutama ketika terungkap fakta di balik obat berwarna hijau bernama trigoxin itu. Itu seperti petir di teriknya panas siang hari, sebuah twist yang langsung membawa kesan gila pada cerita dan karakter naik tinggi. Saya suka cara karakter berkembang dari titik tersebut, ada aksi serang dan bertahan yang menciptakan gesekan masalah namun tampil mengakomodasi agar misteri tetap terjaga. Editing punya andil di sana dalam menciptakan transisi yang halus sehingga tensi di setiap momen tetap terjaga dengan baik, begitupula dengan cinematography Hillary Fyffe Spera dengan komposisi yang terasa ketat.


Tapi kembali ke bagian awal tadi, kesuksesan terbesar Aneesh Chaganty di film ini adalah karakterisasi terhadap karakter yang ia punya, dan pencapaian tersebut tidak lepas dari kontribusi dua pemeran utamanya yang tampil memikat. Sarah Paulson menampilkan kinerja akting yang solid, dan bukankah karakter seperti Diane ini itu merupakan makanan lezat baginya, sosok yang misterius dan menyeramkan dengan cara yang dingin, ekspresi wajahnya sangat on point sedangkan aura seorang wanita yang sedang menyembunyikan sebuah masalah sangat jelas di sorot matanya. Chloe juga diperankan dengan baik oleh Kiera Allen yang ternyata menjalani debutnya sebagai aktris di film ini, serta juga merupakan seorang penyandang disabilitas. 

Overall, ‘Run’ adalah film yang memuaskan. Durasinya terhitung kecil tapi punch yang dihasilkan oleh Aneesh Chaganty bersama timnya di film ini terasa sangat besar terutama caranya dalam menceritakan materi yang standar menjadi sebuah kisah yang mendebarkan. Dengan kinerja akting yang solid dari dua pemeran utamanya ‘Run’ berhasil menggunakan materi yang predictable itu untuk terus menjaga agar thrill tetap terjaga, perlahan mendorongnya untuk tumbuh semakin besar dengan cara menghadirkan kejutan menyenangkan tiap kali narasi telah bergerak maju. Dan ya, di sini karakterisasi menentukan prestasi.








1 comment :

  1. "Chloe is the most capable person I know. If there's someone to not worry about, it's her."

    ReplyDelete