“Some things won't go away just because you pretend to forget all about it. It has to come from both sides for it to be over.”
Jika kamu pernah berpindah tempat tinggal maka kamu akan mencoba memilah mana saja barang yang akan kamu bawa ke tempat yang baru. Dan itu adalah pekerjaan yang tidak mudah, karena tidak perduli seberapa biasa dan monotonnya hidupmu selalu ada "kenangan" yang tercipta setiap kali kamu mulai membuka mata di pagi hari. Dan hal tersebut juga hadir dalam bentuk fisik, dalam bentuk barang yang pernah berhasil memberimu perasaan senang dan bahagia ketika melihatnya, menggenggamnya, dan memeluknya. Film ini mencoba bercerita tentang itu, tentang betapa sulitnya untuk, sederhananya, merelakan pergi yang kamu pernah sayangi. ‘Happy Old Year’ : a good essay on growing up and letting go.
Menghabiskan waktu di Swedia membuat selera wanita bernama Jean (Chutimon Chuengcharoensukying) ikut berubah, dirinya kini sangat jatuh cinta dengan konsep gaya hidup minimalis, gaya hidup yang bersih meskipun kerap dianggap terlalu sepi oleh beberapa orang, seperti Ibunya (Apasiri Chantrasmi). Namun hal tersebut tidak menghalangi tekad Jean, tidak heran secara agresif ia langsung menyusun rencana untuk “membersihkan” rumahnya di Thailand yang saat ini ditempati oleh sang Ibu dan adiknya, Jay (Mee Thirawat Ngosawang), rumah tersebut akan dia ubah menjadi kantor, syarat dari tawaran pekerjaan yang harus ia penuhi.
Celakanya
rencana tersebut tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari sang Ibu yang merasa
bahwa rumah tersebut menyimpan banyak kenangan bagi keluarga mereka. Namun
dengan bantuan temannya Pink (Praew
Patcha Kitchaicharoen), Jean tetap menjalankan keinginannya tersebut, dan
hal pertama yang harus ia lakukan adalah membuang barang-barang yang tidak lagi
dibutuhkan di rumah mereka. Tapi tanpa Jean sadari ternyata apa yang dikatakan
oleh sang Ibu benar, rumah mereka menyimpan banyak kenangan bagi Jean, salah
satunya benda yang membawa Jean bertemu kembali dengan Aim (Sunny Suwanmethanont), mantan kekasihnya.
Di film terbarunya ini Sutradara ‘Heart Attack’, Nawapol Thamrongrattanarit punya ide yang terasa sederhana namun menarik yaitu tentang proses bertumbuh. Memang sepanjang cerita ‘Happy Old Year’ mencoba menampilkan perjuangan para karakter untuk “membuang” masa lalu mereka tapi itu bagian dari upaya karakter mencoba berdamai dengan masa lalu tersebut, lalu kemudian bertumbuh dengan cara move on, melanjutkan hidup mereka. Yang saya suka adalah proses tersebut dihadirkan oleh Nawapol Thamrongrattanarit dalam bentuk layaknya sebuah esai dengan judul “How to Dump” yang kemudian ia bagi menjadi beberapa step atau langkah.
Itu kemudian menciptakan berbagai arena yang oleh Nawapol Thamrongrattanarit digunakan untuk membawa penonton masuk lebih dalam pada perjuangan move on yang sebenarnya tidak semudah yang dibayangkan. Terutama oleh karakter Jean. Ini bukan cuma sekedar memisahkan mana yang masih bisa dan layak disimpan serta mana yang sudah harus dibuang saja, kemudian hadir emosi di dalamnya yang membuat semuanya menjadi sedikit lebih rumit. Di bagian ini Thamrongrattanarit dengan cermat membentuk agar kondisi bingung dan ragu yang kemudian dialami oleh Jean itu menjadi sesuatu yang dapat dirasakan pula oleh penontonnya, karena memang faktanya “membuang” masa lalu itu tidak mudah.
Hal tersebut ditampilkan lewat perubahan yang ditunjukkan oleh karakter Jean, ia yang awalnya tampak seperti cold hearted and heartless woman mulai menyadari arti dan nilai dari masa lalu yang masih tersimpan di dalam rumahnya itu. Ya, musuh di dalam cerita ‘Happy Old Year’ adalah masa lalu dari karakter itu sendiri, sesuatu yang sangat sulit untuk dibuang. Dari yang sederhana seperti foto, lalu piano, hingga kembali munculnya orang-orang di sekitarnya, Jean secara tidak langsung dipaksa untuk kembali memaknai arti dari masa lalunya, dari awalnya hanya memilih yang terbaik untuk dirinya sendiri hingga kemudian mulai masuk ke dalam proses self-reflection di mana ia bertarung dengan ego-nya.
Semua kondisi tadi dibentuk Nawapol Thamrongrattanarit dengan sensitifitas yang lembut dan berjalan dengan slow-paced, ia benar-benar memberi cukup banyak waktu bagi karakter dan cerita agar setiap potongan punya momen “menggantung” di layar, momen bagi penonton untuk meresapi dan menaruh empati pada karakter. Saya pernah berada di situasi tersebut di mana saya sangat menyayangi sebuah benda meskipun benda tersebut faktanya sudah tua dan sudah rusak, tidak lagi dapat digunakan. Namun benda tersebut punya nilai histori di dalam kehidupan saya, setiap kali saya melihatnya dan memegangnya ada muncul spark joy, tapi di sisi lain saya juga sadar bahwa sebenarnya saya tidak lagi “membutuhkan” benda tersebut.
Itu membuat saya seperti duduk di samping Jean, because I did what she did. Lewat Jean penonton diajak untuk merasakan proses melupakan yang di sini menggunakan cara sederhana, yaitu dengan meminta maaf. Jean terjebak di dalam utopia di mana ia ingin hidup dengan konsep minimalis, ia kemudian menerapkan metode yang brutal namun justru membuat dirinya “dihantui” oleh masa lalunya yang tersimpan di berbagai macam benda. Dan dari sana cara Thamrongrattanarit menarik konflik tersebut menuju konklusi juga terasa manis, meskipun memberi banyak kesempatan “membedah” bagi Jean dan juga penonton tapi di sisi lain ia juga tetap menekankan realita dari proses moving on dan bertumbuh.
Salah satu senjata Thamrongrattanarit adalah visual. Kamera bergerak dengan irama yang terasa lambat, terkadang ia juga cukup lama memaku gambar agar tampil statis untuk memberi kesempatan emosi bermain di momen tersebut. Penggunaan benda yang menjadi respresentasi masa lalu karakter juga oke, ditambah dengan tone yang banyak mengingatkan saya pada cara bermain Hirokazu Koreeda. Dari sisi cast saya rasa merata mengingat kesempatan yang mereka miliki juga terbatas, kecuali Chutimon Chuengcharoensukying (Bad Genius) yang kembali berhasil mengemban tugas untuk menggambarkan karakter yang sedang berada di dala, kondisi sulit dan dilanda rasa bingung. Scene stealer menjadi milik Sarika Sartsilpsupa yang berperan sebagai Mee.
Overall, ‘Happy Old Year’ (ฮาวทูทิ้ง..ทิ้งà¸à¸¢่างไรไม่ให้เหลืà¸à¹€à¸˜à¸) adalah film yang memuaskan. Tampil layaknya sebuah esai tentang cara “membuang” masa lalu, Sutradara Nawapol Thamrongrattanarit yang juga menjadi Screenwriter berhasil menyajikan sebuah pembedahan terkait betapa tidak mudahnya bagi manusia untuk dapat meninggalkan masa lalu yang pernah menjadi bagian penting di dalam kehidupan mereka. Kenangan dari masa lalu itu memang seperti time capsule dan menyelesaikan “urusan” dengan mereka adalah salah satu bagian yang harus ditempuh oleh setiap manusia untuk dapat bergerak maju. Letting go to growing up. Segmented.
“We should get rid of things we don't need. We must learn to throw stuff out and keep only what's important.”
ReplyDelete“We see what we want to see. We remember what we choose to. That's all there is. Just get on with your life.”