01 September 2020

Movie Review: We Are Little Zombies (2019)


“Anyway, we’re zombies. We’re dead, we’re dying. But we’re alive. So we decided to form a kick-ass band.”

Premis film ini sangat unik dan sangat menarik. Bagaimana jika empat orang anak kecil bertemu untuk pertama kalinya ketika mereka menghadiri acara pemakaman orang tua mereka masing-masing, lalu setelah itu mereka mulai berteman dan memutuskan untuk membentuk sebuah band. Dari titik itu kemudian hadir begitu banyak opsi yang dapat dieksplorasi. Apakah band sebagai jalan untuk mereka bertahan hidup? Apakah band dan music merupakan cara yang mereka gunakan untuk lepas dari kesedihan? Atau apakah membentuk band merupakan upaya pencarian “jiwa” yang selama ini absen dalam hidup mereka? Karena mereka zombie? We Are Little Zombies (Wî â Ritoru Zonbîzu): an antic and jolly-crazy dark comedy. We are zombies but alive.

Nasib malang menimpa anak laki-laki bernama Hikari (Keita Ninomiya), ketika sikap dingin dan cuek yang ia tunjukkan ketika kedua orangtua pamit untuk pergi ke sebuah perjalanan wisata ternyata merupakan momen terakhir di mana Hikari dapat melihat orangtuanya dalam kondisi hidup. Kedua orangtua Hikari menjadi korban dalam sebuah kecelakaan bus yang sedang melakukan perjalanan wisata bernama “All-You-Can-Eat Strawberries”. Menariknya Hikari tidak menunjukkan ekspresi sedih yang sangat mendalam, ia tampak dingin dalam sikap diamnya itu.

Pada acara pemakaman orangtua Hikari ia kemudian bertemu dengan tiga orang anak kecil lainnya. Ishi (Satoshi Mizuno) kehilangan kedua orangtuanya yang menjadi korban kebakaran, Yuki (Mondo Okumura) ditinggalkan oleh orangtuanya yang bunuh diri, sedangkan orangtua Ikuko (Sena Nakajima) tewas dibunuh. Mengalami nasib yang sama membuat empat anak kecil itu seolah mereka saling memiliki satu sama lain, tidak heran persahabatan di antara mereka tumbuh dengan cepat hingga suatu ketika mereka memutuskan untuk membentuk sebuah band yang mereka namai Little Zombies.
Dibuka dengan satu kalimat mengejutkan yaitu, “Today, mommy turned to dust”, di bagian awal perkenalannya dengan penonton sosok seorang Hikari tidak langsung mencuri perhatian dalam kuantitas yang sangat besar dan kuat, namun kesan unik yang ia miliki sudah dapat dirasakan oleh penonton. Makoto Nagahisa menggunakan Hikari sebagai sosok central bagi cerita, karena memang pada dasarnya Hikari memiliki apa yang ingin Makoto Nagahisa sampaikan di sini. Tampak dingin dan lebih sering diam, Hikari sepintas memang tampak seperti seorang anak kecil yang pemalu namun jika diamati atau ditelisik sedikit lebih jauh kita dapat mengerti mengapa Hikari bersikap seperti itu. Anak laki-laki yang gemar bermain video-game itu tidak punya range emosi yang luas.

Hikari tampak terdampar di satu sudut di mana yang dapat ia rasakan adalah hanyalah sensasi ketika ia sedang bermain game, di luar hal tersebut ia memiliki kesulitan ketika berurusan dengan emosi. Sepintas memang tampak sederhana namun di sana justru letak pesan atau isu terbesar yang coba disampaikan oleh Makoto Nagahisa, yaitu perjuangan empat sosok yang masih sangat muda itu untuk menemukan “emosi” mereka. Bahkan sejak awal ia telah menempatkan Hikari dan tiga sahabat barunya itu ke dalam situasi yang sangat sulit untuk anak kecil seperti mereka, yaitu kehilangan sosok orangtua. Namun jalan yang ditempuh terasa keren, Hikari, Ishi, Yuki, dan Ikuko menolak untuk menjadi lemah.
Ada satu kalimat menarik di film ini yang sangat membekas, yaitu “babies cry to signal that they need help. Since no one can help me, there's no point in crying.” Itu sangat mewakili sikap yang dipilih oleh Little Zombies, sedikit kesan masa bodoh dengan kondisi yang mereka alami dan justru lebih memilih untuk berusaha membuat kehidupan mereka, terutama jiwa mereka, menjadi lebih baik. Mereka bahkan menyebut diri mereka sebagai sekelompok zombie, empat sosok yang tidak dapat menangis lalu memutuskan untuk mencoba “menerobos” masuk ke dalam dunia dan mencoba menikmati isi di dalam dunia tersebut tanpa “emosi”. Itu isu yang tidak ringan dan seolah sadar akan hal itu Makoto Nagahisa seimbangkan dengan membentuk presentasi yang tidak berat.

Mencampur berbagai materi dari drama, komedi, music, hingga sedikit unsur fantasi, Makoto Nagahisa membuat Little Zombies sebagai representasi masa remaja dan masa puber, momen di mana koneksi dengan orangtua menjadi renggang dan teman menjadi sosok yang lebih menarik. Tapi di sisi lain rasa kesepian itu selalu ada apalagi rasa bingung terhadap diri sendiri. Little Zombies semakin lengkap, karena mereka juga tidak punya emosi, mereka merasa mati di antara makhluk hidup, dan di sanalah perjuangan mereka bermula. Di sini karakter mulai belajar menerima situasi tragis yang mereka alami, sebuah observasi dari anak-anak kecil yang berusaha untuk sembuh dan menyelamatkan diri mereka dari “kerusakan” lebih besar yang sedang mengintai mereka.
Tapi seperti yang saya sebutkan tadi, berbagai isu yang terasa berat itu hadir dalam bentuk yang sangat ringan. Bahkan saking “ringannya” mungkin akan membuatmu merasakan pusing di beberapa bagian. Teknik bercerita yang digunakan oleh Makoto Nagahisa adalah segmented, tidak biasa atau konvensional, terasa sedikit ekstrim dengan kesan aneh dan unik yang sangat kental. Plot terasa hiperaktif lalu bergerak dengan pace yang terasa sangat energik, dialog yang cerdik tidak jarang terasa absurd dan tampil bersama dengan humor-humor kering yang sangat efektif. Selain itu Makoto Nagahisa juga bercerita layaknya sebuah jurnal dengan sentuhan video-game yang kental, berbagai montages dan animasi stop-motion sedikit mendorong style over substance untuk membuat Little Zombies bergerak cepat dan juga berisik.

Eksekusi Makoto Nagahisa terasa antic and manic, petualangan Little Zombies itu bahkan memiliki stage atau level layaknya sebuah permainan video-game. Tapi yang saya suka dibalik presentasi yang terasa surreal itu Makoto Nagahisa tetap mampu membuat semuanya terasa stabil dan tidak kelewat rusuh, terkesan flashy dan noisy tapi di pusat cerita narasi terus bergerak positif dan menebar berbagai isu menarik. Dan ya, tidak ada kesan “terputus” di antara semua bagian cerita, kombinasi visi seperti Sion Sono dan Takashi Miike ini punya koherensi yang manis di dalam narasi. Tidak heran sehingga pada akhirnya para aktor dapat mengekspresikan pesona dari karakter yang mereka mainkan dengan leluasa, mereka seperti berada di dalam arena sebuah permainan.
Keita Ninomiya, Satoshi Mizuno, Mondo Okumura, dan Sena Nakajima bermain dengan leluasa di arena permainan itu, dan kinerja akting mereka tepat sasaran. Arena permainan itu juga dibentuk oleh Makoto Nagahisa dengan bantuan elemen teknis yang tidak boleh dilupakan kontribusinya. Cinematography arahan Hiroaki Takeda tentu saja yang paling mencuri perhatian di antara mereka, terasa imersif, sangat energik dan terkesan unik dengan framing yang seolah “menampar” penonton untuk terpukau dengan kesan aneh yang ia jual. Permainan palet warna juga terasa memorable, dan begitupula dengan music. Proses terbentuknya sebuah band merupakan jalan yang digunakan Makoto Nagahisa dan ia berhasil membuat penonton merasa puas dengan penggunaan berbagai tunes yang terasa sangat catchy.
Overall, We Are Little Zombies (Wî â Ritoru Zonbîzu) adalah film yang sangat memuaskan. Berkisah tentang sekelompok anak kecil yang menolak untuk kalah lalu mencoba menantang diri mereka sendiri untuk menaklukkan dunia, We Are Little Zombies berhasil menjadi sebuah kisah yang sangat memorable tentang jiwa-jiwa yang terisolasi dan tidak dapat merasakan kebahagiaan, para manusia muda yang merasa bahwa diri mereka adalah para zombie, mereka hidup tapi merasa mati, dan mereka berjuang untuk mengalahkan kondisi tersebut. Eksplosif, antic, manic, dan tentu saja jolly-crazy, ini adalah sebuah debut yang sangat memukau dari seorang Makoto Nagahisa. Segmented.













1 comment :

  1. “We went from being poor zombies to glamorous rock stars.”

    ReplyDelete