22 August 2020

Movie Review: Palm Springs (2020)


“So, this is today. Today is yesterday. And tomorrow is also today.”

Harus diakui bahwa time loops merupakan plot device yang sangat menarik untuk digunakan dalam menggerakkan narasi dan mengeksplorasi cerita. Karena di sisi lain konsepnya yang sederhana itu terhitung sangat mudah untuk menelurkan rasa penasaran di pikiran penonton. Coba bayangkan saja bagaimana jika kamu harus kembali bertemu dengan berbagai hal yang sama dan telah kamu lalui kemarin setiap kali kamu membuka mata di pagi hari, di pagi hari yang kamu sebut sebagai besok ketika kamu memejamkan mata untuk tidur pada malam di hari ini. Stuck, hidupmu terus berputar di lingkaran yang sama. ‘Palm Springs’ : an understated and charming time-loop movie.

Pagi hari di tanggal 9 November, seorang pria bernama Nyles (Andy Samberg) bangun dari tidurnya setelah mendengar bisikan dari kekasihnya, Misty (Meredith Hagner). Mereka harus segera mempersiapkan diri menghadiri acara pernikahan Tala (Camila Mendes) dan Abraham (Tyler Hoechlin). Misty ditunjuk menjadi host pada salah satu sesi acara dan ketika tiba di momen saat keluarga dan sahabat pengantin menyampaikan speech, tiba-tiba microphone yang ada di tangan Misty disambar oleh Nyles. Pria yang menggunakan pakaian santai tersebut memberikan speech seolah ia telah sangat mengenal kedua mempelai.

Faktanya Tala dan Abraham tidak mengenal sosok Nyles yang memang sengaja merebut microphone untuk “menyelamatkan” Sarah (Cristin Milioti), saudara perempuannya Tala. Perbincangan antara Nyles & Sarah berlanjut sampai mereka berada dalam kondisi setengah sadar hingga tiba-tiba muncul Roy (J. K. Simmons) yang memaksa Nyles berlari ke dalam sebuah goa. Celakanya Sarah mengikutinya dari belakang. Setelah kejadian tersebut keesokan harinya Nyles dan Sarah bangun di atas tempat tidur mereka masing-masing, dan Nyles kembali mendengar bisikan dari kekasihnya, Misty. Itu adalah pagi hari di tanggal 9 November.
Sutradara Max Barbakow berhasil melakukan pekerjaan yang sangat baik di bagian pembuka film ini. Sebelum membawa penonton bertemu dengan “kejutan” utama dan juga akar dari masalah yang harus dihadapi oleh karakter, penonton terlebih dahulu sudah dibuat penasaran dengan present life yang sedang dialami oleh karakter. Sarah Wilder menjadi pintu masuk, dari tatapan mata dan ekspresi yang ia tunjukkan sangat mudah untuk menilai bahwa wanita ini memiliki perasaan “tidak nyaman” di dalam acara pernikahan yang ia hadiri. Seolah tidak mau bermain terlalu lama script yang ditulis oleh Andy Siara kemudian membawa kita menyaksikan Nyles melakukan aksinya.

Dan dari titik tersebut cerita dibangun dengan cara yang terasa tidak terburu-buru. Max Barbakow seolah memberi kesempatan yang cukup leluasa bagi momen kaget yang menimpa Sarah untuk menguasai beberapa menit durasi, karena memang di momen tersebut pulalah kita sebagai penonton yang awalnya dapat merasakan hal ganjil di dalam diri dua karakter utama mulai didorong rasa penasarannya terhadap apa yang terjadi pada karakter. Roy kemudian menjadi pintu masuk berikutnya. Menunjukkan eksistensinya dengan cara yang terasa cukup ekstrim karakter Roy merupakan misteri yang menarik bagi cerita sebelumnya akhirnya semuanya terungkap di dalam gua tersebut.
Max Barbakow dan Andy Siara sebenarnya punya kesempatan yang jauh lebih luas untuk mengeksploitasi premis di dalam cerita, tapi tampaknya mereka tidak mau bermain terlalu jauh dalam hal ini. Apa yang terjadi di dalam gua tersebut menjadi sebuah kunci yang kemudian mampu membuat berbagai pertanyaan berputar-putar di dalam pikiran penonton dan juga karakter, mereka mulai mencoba mencari jawaban dari pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana itu. Jika hanya menaruh fokus pada apa yang terjadi pada dua karakter utama saja sebenarnya pertanyaan yang dihasilkan sudah cukup banyak, tapi pesona cerita mampu membuat penonton ingin mencoba mengurai lebih jauh, salah satunya tentang yang terjadi di sekitar tiga karakter yang tidak “terjebak” tersebut.

Tapi karena sedari awal tidak ingin bermain terlalu jauh sehingga tidak heran ‘Palm Springs’ tidak sampai ke titik tersebut. Max Barbakow benar-benar fokus pada misi utama cerita yang ternyata jauh lebih sederhana ketimbang kerumitan yang terjadi di dalam permainan menggunakan waktu tersebut. Dibalik geraknya yang terasa dinamis itu ternyata ‘Palm Springs’ sedari awal menaruh unsur romance sebagai spotlight di dalam cerita. Ini banyak mengingatkan saya dengan ‘About Time’ yang menggunakan konsep time loop untuk mengobrak-abrik emosi penonton dengan kisah percintaan di antara dua karakter utamanya, ‘Palm Springs’ berada di kelas yang sama namun terasa jauh lebih kalem, lebih sederhana, dan terasa jauh lebih implisit.
Ya, presentasi yang tampil implisit itu sayangnya membuat hasil akhir film ini tidak berada di posisi yang sangat tinggi. Hasil akhirnya sendiri terasa oke terlebih jika mengingat target yang dipasang sejak awal, namun momen di penghujung film yang seharusnya dapat memberikan punch kuat itu terasa kurang nendang buat saya. Ada konsep “idgaf” di sana tapi sayangnya unsur romance sendiri sejak awal seolah terlalu segan untuk berdiri tegap di pusat cerita, narasi terus disibukkan dengan pertanyaan seputar time loop yang sukses membuat penonton ikut terpaku bersamanya. Hasilnya ketika mereka semua mendarat di garis finish baik itu elemen romance, komedi, dan misteri berada di kelas yang sama, yaitu understated.

Dan itu pencapaian yang terhitung bagus jika melihat bagaimana semuanya dibuat simple dan ringkas. Konsep time loop digunakan dengan sangat baik terutama dalam hal menciptakan sebuah ruang cerita yang tertutup dan menarik untuk dicari jalan keluarnya, sedangkan dari segi teknis saya suka dengan penggunaan pallete warna yang diterapkan di sini, selalu konsisten menebar kesan optimis yang ada di dalam cerita. Tapi tentu jika selain konsep time loop yang ia gunakan hal yang memorable dari ‘Palm Springs’ setelah itu adalah kinerja akting dari para aktor. Andy Samberg just doing Andy Samberg things, he’s good, sedangkan Cristin Milioti membuat Sarah berperan sebagai bola pinball yang tenggelam dalam kepanikan yang terasa menarik.
Overall, ‘Palm Springs’ adalah film yang cukup memuaskan. Yang dilakukan Max Barbakow, Andy Siara, dan jajaran Produser di sini adalah menggunakan kembali time loop sebagai sebuah plot device sebuah rom-com yang ringan dan santai. Ibarat sebuah pohon di mana cerita memiliki akar masalah yang menarik ‘Palm Springs’ ternyata tidak mencoba untuk membawa penonton bermain hingga menuju ke ranting dan daun serta buah, cukup bermain di batang pohon saja tanpa memberikan akses bagi penonton untuk “memanjat” lebih tinggi. Itu strategi dan terbukti berhasil, ‘Palm Springs’ berhasil meraih target yang ingin ia capai yaitu menjadi sebuah film tentang time loop yang terasa efektif dan menyenangkan. 

















1 comment :