12 June 2020

Movie Review: The Lodge (2019)


“I heard something. A voice.”

Psychological horror merupakan subgenre yang unik, tidak bermain layaknya sebuah horror secara langsung namun justru kerap lebih berhasil “meninggalkan” bekas mendalam di ingatan penontonnya. The Babadook, It Follows,Get Out, Hereditary, hingga The Lighthouse adalah beberapa contoh film psychological horror yang sangat kuat dalam beberapa tahun terakhir yang berhasil mengolah materi tentang kondisi mental, emosional, dan psikologis untuk “mengganggu” pikiran penontonnya. Film ini mencoba untuk melakukan hal terakhir tadi. ‘The Lodge’ : a well-staged but doesn't bite paranoia.

Remaja bernama Aidan Hall (Jaeden Martell) sedang bercanda dengan adik perempuannya Mia (Lia McHugh) saat mereka berada dalam perjalanan bersama Ibu mereka, Laura Hall (Alicia Silverstone) untuk bertemu dengan Richard Hall (Richard Armitage). Laura awalnya mengira bahwa pertemuan tersebut adalah acara kumpul keluarga biasa namun ternyata rencana berbeda telah disusun Richard, bahwa pria tersebut ingin meminta agar proses perceraian mereka segera dipercepat karena dirinya ingin segera menikah dengan kekasih barunya, Grace Marshall (Riley Keough).

Sebuah tragedi diciptakan oleh Laura yang membuat kedua anaknya tadi kini harus tinggal bersama Richard. Untuk membuat anak-anaknya itu segera lepas dari kesedihan Richard membawa mereka ke pondok milik keluarga mereka yang terletak di tempat terpencil. Tapi tidak hanya bertiga, karena Grace juga ikut bersama mereka, dan itu menjadi sumber sebuah masalah besar. Aidan dan Mia tidak menyukai Grace, dan menganggap wanita tersebut sebagai penyebab mereka kehilangan Laura. Sedangkan Grace ternyata memiliki memori buruk di masa lalunya, terkait aksi bunuh diri massal.
Veronika Franz dan Severin Fiala kembali menghadirkan formula yang pernah mereka gunakan di ‘Goodnight Mommy’ yang pada akhirnya membuat psychological horror tersebut terasa memorable. Kembali mencoba bermain dengan beban berat di dalam pikiran karakter utama yang tiba-tiba berkembang menjadi sesuatu yang berbahaya, ‘The Lodge’ juga akan mengingatkan penonton pada apa yang dua tahun lalu telah Ari Aster coba lakukan di ‘Hereditary’. Konsepnya sendiri terbilang oke, bagaimana seorang wanita yang masih terbelenggu sebuah tragedi di masa lalunya kemudian harus berhadapan dengan problema baru di dalam hidupnya. Kali ini kita punya dua karakter anak-anak yang menjadi pion.

Sejak kemunculannya di layar Grace Marshall harus diakui memegang penuh kendali cerita, namun di sisi lain ia justru “digerakkan” oleh Aidan dan juga Mia. Cerita yang ditulis oleh Veronika Franz dan Severin Fiala bersama dengan Sergio Casci itu pada akhirnya tidak mencoba menjadi sebuah eksplorasi yang menggali sangat jauh ke dalam tentang beberapa isu yang ia bawa, namun secara efektif justru mampu mencapai target yang ingin ia capai. Secara sederhana ‘The Lodge’ dibuat untuk “mempermainkan” emosi penontonnya, bukan bertemu dengan konflik atau masalah yang berat namun lebih ke arah memposisikan penonton untuk mengamati secara sabar bersama dengan rasa penasaran.
‘The Lodge’ ini terasa lambat namun tidak pernah dekat dengan kesan menyiksa. Penonton yang telah menyaksikan ‘Hereditary’ akan dengan mudah merasakan bahwa ini merupakan sebuah carbon copy dari film tersebut, ada miniatur rumah boneka lengkap dengan tragedi mengejutkan yang tersimpan di dalam narasi dengan motif yang seolah terus menerus mencoba bermain hide and seek dengan penontonnya. Veronika Franz dan Severin Fiala terus mencoba membuat penonton menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tersebut, proses yang berhasil mereka kemas dengan thrill yang cukup oke, eksekusinya terasa percaya diri terlebih pada cara mereka dan Thimios Bakatakis menciptakan visual yang mencekam itu.

Beberapa isu yang sudah tidak asing lagi juga berhasil tersampaikan dengan baik, terutama berkat eksplorasi yang tidak mencoba untuk menjadi sesuatu yang terlalu rumit. Isu tentang penyakit mental yang di sini hadir lewat tragedi masa lalu penyampaiannya terasa oke, masalah pernikahan juga oke, sedangkan suicide prevention yang di bagian akhir sempat menjadi bintang utama di pusat cerita juga oke. Kombinasi ketiganya di beberapa bagian mampu menghasilkan tensi yang tinggi untuk cerita, Veronika Franz dan Severin Fiala paham momen mana di dalam cerita yang dapat difungsikan untuk bermain “tarik dan ulur” bersama penonton, bahkan untuk tangga kosong sekalipun.
Veronika Franz dan Severin Fiala memang tahu bagaimana cara bermain dengan rasa takut penonton, tapi di sisi lain meskipun punya permainan “tarik dan ulur” yang oke serta punya beberapa bagian yang seolah hampir melepaskan ledakan besar, ‘The Lodge’ ternyata juga terperangkap di dalam permasalahan dari horror ruang sempit seperti ini. Repetitif juga jelas namun yang terasa lemah adalah thrill yang hadir pada transisi antara ketika kekacauan di dalam pikiran karakter utama siap meledak dengan kemunculan pengungkapan di balik misteri pada cerita. Perpindahan itu terasa kurang mengigit padahal itu seharusnya menjadi wtf moment yang mengguncang penonton.

Alhasil kisah yang mencoba bermain dengan sisi spiritual karakter ini tidak punya sengatan atau punch yang sangat kuat. Sangat disayangkan memang apalagi setelah ia mempermainkan penonton yang terisolasi bersama karakter di dalam pacing yang terasa lambat itu. Untungnya Veronika Franz dan Severin Fiala piawai dalam bermain dengan atmosfir cerita jadi at least mereka masih mampu memaku atensi penonton dengan baik, jika tidak maka adegan penutupnya itu tidak akan memiliki kesan eksentrik yang sekuat dan semenarik itu. Mereka juga patut berterimakasih pada Riley Keough, ia menjalankan tugasnya dengan baik, begitupula dengan Jaeden Martell.
Overall, ‘The Lodge’ adalah film yang cukup memuaskan. Perjalanan menuju titik akhir terasa menarik, dipermainkan dengan misteri yang berkombinasi bersama ekplorasi terhadap sisi psikologis karakter, Veronika Franz dan Severin Fiala berhasil membuat ‘The Lodge’ sebagai sebuah penggambaran tentang mental illness yang terasa oke. Secara konsisten terasa mencekam lewat pendekatan yang lembut, ‘The Lodge’ jelas sebuah sajian psychological horror yang menarik, walaupun pada akhirnya tidak menghasilkan punch yang memikat dan, well, mungkin tidak ada akan terasa memorable. Segmented.













0 komentar :

Post a Comment