29 April 2020

Movie Review: The Assistant (2020)


“First one in. Last one out.”

Sangat mudah menemukan para pekerja yang menggunakan waktu istirahat makan siang mereka untuk berdiskusi masalah pekerjaan, dari Boss yang sebenarnya salah namun tidak terima bahwa ia salah, data rumit baru diberikan pagi namun dokumen harus siap dua jam kemudian, hingga bekerja lembur tanpa memperoleh bayaran. Ya, jauh lebih mudah menemukan di antara mereka yang membahas bagaimana “kerasnya” tempat kerja mereka. Memang semua akan bergantung pada kualitas pekerja itu sendiri, namun sistem yang diterapkan juga punya andil besar dalam terciptanya kondisi tersebut, sistem yang mungkin menjurus ke arah abusive dan memaksa para pekerja tersebut untuk belajar menjadi seorang “penyihir”. ‘The Assistant’ : quiet but speak louder, it’s popping with calm.

Kehidupan wanita bernama Jane (Julia Garner) tampak monoton, dari harus bangun sangat pagi untuk mempersiapkan kantor serta kemudian pulang larut malam untuk kembali membenahi kantor. Namun apa yang terjadi di antara dua momen tersebut ternyata tidak kalah menguras emosi Jane, selain harus mempersiapkan segala macam dokumen serta jadwal yang sudah menjadi pekerjaannya, Jane juga harus berurusan dengan hal-hal personal dari sang Boss yang merupakan produser, seorang media dan film mogul yang sangat powerful.

Jane terhitung masih baru di tempat kerjanya tersebut, wanita yang memiliki ambisi dan motivasi besar untuk dapat menjadi produser yang terkenal itu perlahan mulai menyadari bahwa tempat kerjanya itu menerapkan sebuah sistem yang sangat “kasar” di dalam industri yang sangat kompetitif. Melayani pertanyaan dari istri sang boss yang penuh curiga tampak mudah bagi Jane, namun tidak dengan perasaan ganjil yang ia rasakan dan perlahan semakin besar. Jane menaruh curiga pada sang Boss, ia merasa terjebak di dalam sebuah abusive system yang ia nilai sangat beracun.
Apa yang coba dilakukan oleh Sutradara Kitty Green di ‘The Assistant’ adalah sedikit “merenovasi” percikan yang dihasilkan dari gerakan #metoo. Sedikit mild-spoiler, sedari awal hingga akhir sosok Boss dari Jane dikemas secara misterius, kita melihat fisiknya namun tidak pernah ada sorotan frontal yang menunjukkan bagaimana cara ia menjalankan sistem di perusahaannya itu. Namun tanpa perlu melakukan itu rasa kesal penonton terhadap sang Boss menariknya secara perlahan terus bertumbuh semakin besar. Pencapaian tersebut lahir berkat kemampuan Kitty Green mengarahkan semua emosi ke dalam tubuh seorang Jane, sedari awal menaruh fokus pada Jane hingga akhir kita sebagai penonton dibawa “hanyut” bersama gejolak yang sedang terjadi di dalam pikiran wanita muda tersebut.

Fokus utama cerita adalah menyaksikan keseharian dari Jane sebagai “pelayan” bagi sang Boss, dari menghidupkan dan mematikan lampu, membuatkan minuman, hingga mengorder makanan, semua ditampilkan Kitty Green tanpa menggunakan dramatisasi yang berlebihan. Tapi menariknya tensi cerita bergerak semakin besar secara perlahan dan halus, gesekan di dalam pikiran Jane menghasilkan berbagai tumpukan emosi yang semakin rumit. Berbagai tekanan yang menghampiri Jane dihadirkan oleh Kitty Green lewat berbagai hal sederhana, misalnya permintaan tolong untuk menjawab telepon, namun hal-hal sederhana semacam itu justru pada akhirnya terasa sebagai sebuah assaults bagi karakter Jane.
‘The Assistant’ tampaknya sengaja dibentuk untuk tidak tampak frontal dari luar, namun pembatasan tersebut tidak menghalangi Kitty Green untuk menghadirkan sebuah penggambaran yang terasa tajam terhadap abusive system yang dapat eksis di tempat kerja. Staging terasa manis, penonton diajak mengamati secara dekat seorang Jane dan melihat berbagai detail kecil yang bermakna besar, assaults ditampilkan tidak secara fisik namun justru secara psikis. Ada sedikit isu seksual yang coba disuntikkan oleh Kitty Green di sini, namun ia memilih untuk mengemas itu secara "tertutup" yang justru menghasilkan dampak positif bagi gejolak yang sedang dialami oleh Jane, sosok yang dibalik semua perlakuan padanya itu pada dasarnya merupakan seorang korban.

‘The Assistant’ pada dasarnya merupakan sebuah “suara” yang mewakili para pekerja yang menjadi korbak dari “eksploitasi” di tempat kerja mereka. Dan bagaimana itu bekerja terasa sangat efektif dalam mencapai targetnya. Penonton dibuat bersimpati dengan kondisi Jane karena sedari awal atmosfir cerita yang Kitty Green ciptakan juga sudah berhasil mengikat atensi, ada kesan creepy yang kuat namun dengan penggunaan eksposisi yang terasa halus. Tidak mudah menciptakan presentasi semacam itu yang kemudian tampil konsisten sejak awal hingga akhir, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam merangkai berbagai gesekan kecil sehingga di balik kesan minimalis tersaji sebuah penggambaran yang tajam.
Kitty Green hadirkan itu dalam kualitas yang memikat, secara tidak mencolok penonton dibawa ikut merasakan bahwa tempat kerja Jane merupakan sebuah tempat yang beracun, dari panggilan telepon hingga email yang selalu mengandung amarah hingga berbagai lelucon yang justru membuat situasi Jane semakin tertekan. Tapi di sisi lain Jane sendiri memiliki semacam kontradiksi di dalam pikirannya yang mungkin mewakili banyak pekerja lainnya, bahwa ia harus menahan segala macam kesulitan tersebut demi “kelancaran” karirnya sendiri. Bukankah hal tersebut terasa umum? Bagaimana para pekerja pada akhrinya harus belajar menerima kondisi yang tidak menyenangkan di tempat kerjanya, keep silent karena pada akhirnya semua akan tampak normal setelah mereka mulai terbiasa dengan sistem yang diterapkan.

Script ‘The Assistant’ terasa manis dalam membantu berbagai isu tersampaikan dengan baik, namun bagaimana peran dari gambar ikut bermain di dalamnya juga tidak kalah penting. Di tangan Michael Latham visual ikut berbicara di sini, lewat detail-detail kecil serta bird's eye view ia juga sukses membuat penonton merasakan situasi yang dialami Jane. Hal tersebut semakin kuat karena kinerja akting Julia Garner sebagai Jane juga tidak kalah kuat, ia sukses menampilkan seorang pemula yang tampak terkejut dengan hal baru yang ia temukan di tempat kerja, seorang wanita muda yang merasa terjebak di antara dua hal, yaitu ambisinya yang besar untuk meniti karir yang tinggi dengan “penindasan” yang harus ia hadapi setiap hari demi mencapai mimpinya tersebut tadi. Jane merasa sakit, dan itu dapat dirasakan penonton.
Overall, ‘The Assistant’ adalah film yang memuaskan. Kitty Green berhasil mengembangkan topik yang umum itu menjadi sebuah penggambaran serta kritik tajam terhadap sistem yang kini tampak semakin mudah ditemukan di banyak industri, lewat situasi rumit yang terjadi di dalam diri karakter utamanya. Jane harus menjalani kesehariannya di tempat kerja berhadapan dengan penyalahgunaan kekuasaan, hal yang perlahan dapat membuat manusia berubah menjadi penyihir. Simple and quiet, ‘The Assistant’ has a louder voice afterwards, it’s popping with calm. Understated. Segmented.









1 comment :

  1. “I’m tough on you because I’m gonna make you great.”

    ReplyDelete