10 April 2020

Movie Review: A Beautiful Day in the Neighborhood (2019)


“There is no normal life that is free from pain.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang setiap manusia pasti akan berada pada kondisi di mana mereka tidak dapat mengatur atau mengendalikan emosi maupun tekanan yang berasal dari berbagai hal yang mereka temui di dalam kehidupan. Terkadang kita dapat emosi lalu kemudian merasa kesal pada satu hal sederhana, terkadang kita juga merasa angkuh atau egois untuk mengalah atau sekedar meminta maaf karena merasa terlalu gengsi misal. ‘A Beautiful Day in the Neighborhood’ : an uplifting therapy.

Lloyd Vogel (Matthew Rhys) merupakan seorang jurnalis untuk majalah Esquire, pria yang dari ekspresi wajahnya saja mudah untuk dinilai sedang merasa letih dan lesu dengan kondisi hidupnya kini. Lloyd tinggal bersama istrinya, Andrea Vogel (Susan Kelechi Watson), seorang wanita karir yang sedang beradaptasi dengan pengalaman baru menjadi seorang Ibu, dan mereka memiliki seorang anak bernama Gavin. Suatu ketika mereka diundang untuk menghadiri acara pernikahan Lorraine (Tammy Blanchard), saudara perempuan Lloyd.

Di acara tersebut Lloyd bertemu dengan Jerry Vogel (Chris Cooper), dan akibat tidak mampu lagi menahan rasa kesal dan emosinya mereka berdua terlibat pertengkaran. Dalam kondisi tersebut Lloyd justru mendadak mendapat tugas dari pimpinannya Ellen (Christine Lahti) untuk meliput keseharian sosok yang sangat terkenal di kalangan masyarakat. Namanya Fred Rogers (Tom Hanks), seorang pembawa acara Mister Rogers' Neighborhood, sebuah televisi series yang mencoba memberikan edukasi untuk anak-anak, dan merupakan sosok yang dianggap pahlawan bahkan sosok suci oleh banyak orang.
Jika harus digambarkan dalam kalimat paling sederhana, ‘A Beautiful Day in the Neighborhood’ merupakan sebuah terapi yang memikat. Saya pribadi telah menyaksikan film dokumenter yang menjadikan sosok Fred Rogers sebagai sorotan utama, Won't You Be My Neighbor?, yang sukses membawa penonton mengenal sedikit lebih detail tentang sosok yang dinilai telah “memperkaya” generasi muda lewat cara mengedukasi. Di tangan Marielle Heller (The Diary of a Teenage Girl, Can You Ever Forgive Me?) sosok tersebut kemudian digunakan untuk menjadi jangkar utama bagi dramatisasi dari kehidupan seorang pria yang sedang dirundung masalah, sosok dewasa yang di sini justru secara tidak sadar menerima “treatment” layaknya seorang anak kecil.

Marielle Heller menggunakan berbagai mainan untuk membantu penonton menyaksikan “dunia” yang dimiliki oleh Fred Rogers, ia gabungkan itu dengan dunia nyata di mana Lloyd sedang berjuang menghadapi gejolak emosi. Dari gedung-gedung tinggi, pesawat terbang dan juga trolley ada kesan misterius yang kemudian tercipta namun memiliki kesesuaian yang manis dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Dua dunia tersebut menciptakan kombinasi yang manis, mereka tidak terasa saling tumpang tindih namun justru saling memperkuat satu sama lain, terutama pada gejolak emosi karakter utama kita yaitu Lloyd, sosok yang sedang berjuang untuk mengatasi kondisi tidak bahagia yang sedang ia rasakan.
Ada semacam kekacauan di dalam diri karakter Lloyd, seperti sedang merasa galau dan sesak dengan hidupnya yang Lloyd butuhkan adalah sedikit udara segar yang akan dapat membuatnya sejenak bernafas lega. Mengambil dasar dari artikel "Can You Say ... Hero?" karya Tom Junod, duet screenwriter Micah Fitzerman-Blue dan Noah Harpster berhasil menciptakan script yang menunjang dengan baik terbentuknya kondisi tersebut tadi. Kita punya karakter yang sedang bermasalah, di sisi lain kita juga menemukan karakter yang pekerjaan utamanya adalah mengedukasi anak-anak. Mereka kemudian bertemu dalam sebuah agenda di dunia jurnalisme di mana kemudian tercipta sebuah ikatan persahabatan.

Jujur saja ini adalah sebuah film dengan cerita yang berada di kategori predictable, namun dengan menaruh fokus pada perkembangan karakter ke arah positif justru membuat penonton perlahan merasa terikat dengan pesona yang semakin kuat. Cara dari Marielle Heller mengemas premis dan juga fokus utama yang justru membuat ‘A Beautiful Day in the Neighborhood’ terasa menyenangkan. Awalnya terasa biasa saja namun seiring berjalannya cerita ditemani dengan humor dalam kadar yang oke penonton berhasil dibuat merasa terpikat pada karakter dan kehidupan mereka, trik yang mencoba membuat sebuah narasi seolah-olah menjadi salah satu bagian dari episode special "Mister Rogers' Neighborhood" juga merupakan sebuah ide yang sangat baik. 
Namun hal yang paling menarik adalah bagaimana proses menyembuhkan dan disembuhkan itu dibentuk. Bergerak tenang dan straightforward Marielle Heller menyuntikan kepekaan yang sangat kuat pada setiap baris kalimat di dalam dialog. Apa yang keluar dari mulut Fred Rogers terasa menenangkan dan encouraging, secara tulus dan hati-hati mendorong serta memberikan semangat yang terasa hangat. Tidak hanya di momen tenang, bahkan di momen yang tidak nyaman sekalipun hal tersebut berhasil hadir memikat. Berbagai macam pep talk yang hadir dari diskusi bahkan hal-hal yang sedikit kekanak-kanakan berhasil didramatisasi secara halus, dari membuat penonton merasa nyaman hingga kemudian membuat mereka tersadarkan akan isu-isu menarik tentang menjadi manusia itu.

Pencapaian tersebut tidak lepas dari kinerja akting yang memikat pula. Matthew Rhys tampil baik sebagai Lloyd, ia berhasil menampilkan gejolak emosi yang terasa halus dan tidak dipaksa secara berlebihan, serta yang paling penting ia mampu membuat Lloyd menjadi sosok yang menarik untuk diamati. Namun bintang utamanya adalah Tom Hanks. Waktu atau kesempatan karakter Fred tampil di layar tidak banyak namun di setiap kesempatan itu Tom Hanks membuat Fred muncul di layar dengan aura yang breathtaking. Setiap gerak dan ucapan yang berasal dari Fred terasa menenangkan, Tom Hanks meniru dengan sangat baik mimic Fred Rogers untuk kemudian menampilkan sosok pria yang eksistensinya seolah menjadi pabrik dari rasa semangat yang cantik bagi banyak orang di sekitarnya.
Overall, ‘A Beautiful Day in the Neighborhood’ adalah film yang sangat memuaskan. Banyak manusia yang bukannya tidak tahu namun terkadang lupa bagaimana cara menjadi manusia yang bahagia, mereka butuh sosok yang mampu menenangkan mereka dari masalah dan meyakinkan bahwa mereka dapat menjadi bahagia. Tampil layaknya sebuah terapi yang hangat dan manis Marielle Heller sukses menghadirkan itu di sini, sebuah drama dengan pesona dan irama yang terasa menyenangkan, bergerak tenang dan straightforward bersama dengan kepekaan yang manis berhasil menebar optimisme terkait isu bahwa menjadi bahagia adalah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Such a sweet and uplifting therapy. Segmented. 







1 comment :