22 March 2020

Movie Review: Klaus (2019)


“A true selfless act always sparks another.”

Selalu ada tempat tersendiri bagi film-film animasi seperti ‘Klaus’ ini, mereka yang masih memilih untuk tampil sebagai sebuah traditional animation, sesuatu yang perlahan mulai terasa langka di tengah perkembangan teknologi berisikan computer animated. Ditangani oleh sosok yang sebelumnya telah lama mengenal Disney serta merupakan pencetus lahirnya Gru dan para Minions, film ini mencoba menggunakan origin story dari legenda Santa Claus untuk menghantarkan berbagai isu sederhana yang menarik. ‘Klaus’ : beautiful and lovely hand-drawn animation.

Jesper Johansson (Jason Schwartzman) merupakan anak laki-laki dari seorang Postmaster General yang kaya raya, kondisi yang kemudian ia manfaatkan untuk tidak mengikuti aturan ketat yang diterapkan oleh sang ayah. Pria muda itu punya sifat malas dan manja sehingga membuat sang ayah pada akhirnya memutuskan untuk memberinya hukuman agar ia dapat merubah sifatnya itu. Jesper dikirim oleh sang ayah ke kantor pos di titik terjauh, di sebuah kota bernama Smeerensburg yang terletak di pulau yang terasing. Jesper baru dijinkan kembali pulang jika ia sudah memenuhi syarat yang diminta oleh sang ayah, yaitu sampai dengan ia telah memproses 6.000 surat dalam satu tahun.

Syarat itu semakin terasa berat setelah Jesper tiba di Smeerensburg. Penduduk kota yang berisikan dua clan yang gemar saling baku hantam, The Ellingboes dipimpin oleh Mr. Aksel Ellingboe (Will Sasso) dan the Krums dipimpin oleh Mrs. Tammy Krum (Joan Cusack) itu ternyata tidak pernah berkirim kabar menggunakan surat. Suatu ketika Jesper menemukan ide agar syarat tadi dapat terpenuhi, berawal dari sebuah gambar yang ia dapatkan secara tidak sengaja dari seorang anak kecil kemudian Jesper mencoba memanfaatkan kenalan barunya yang memiliki banyak mainan tidak terpakai, sosok bertubuh besar bernama Klaus (J.K. Simmons).
Nama Sergio Pablos memang belum begitu familiar di industri film animasi sebagai seorang sutradara hal tersebut mengingat ‘Klaus’ sendiri merupakan film debutnya di posisi tersebut. Namun trackrecord pria asal Spanyol ini di bidang animasi bukan sesuatu yang dapat dianggap sebelah mata. Sejak terjun menjadi animator lewat film ‘Once Upon A Forest’ di tahun 1993 yang lalu ia telah menjadi bagian Disney dan ikut terlibat di film-film rumah Mickey Mouse itu, seperti Hercules, Tarzan, The Hunchback of Notre Dame, dan Treasure Planet. Lepas dari Disney film ‘Despicable Me’ merupakan salah satu karya dari Sergio Pablos di mana ia menjadi penulis cerita serta ia juga menjadi character designer di film ‘Rio’.

Tidak heran kualitas dari apa yang disajikan oleh ‘Klaus’ berada di level yang tidak sembarangan, dan untungnya itu hadir lewat presentasi hand-drawn cartoons yang sekarang ini seolah mulai tidak lagi menjadi komoditas yang terlalu menarik untuk dilirik bagi para pelaku bisnis film animasi. ‘Klaus’ adalah kombinasi dari hand-drawn dan computer-generated, menciptakan tampilan animasi dengan tekstur yang terasa kompleks namun tetap memiliki pesona klasik dari hand-drawn cartoons. Animasi di ‘Klaus’ terasa seperti sebuah buku dongeng namun dengan bantuan sentuhan trik dari komputer menghadirkan dinamika yang terasa halus di mana gerakan karakter terasa ekpresif.
Kombinasi dua hal tadi yang memberikan ‘Klaus’ kesan fairy tales yang terasa manis, terlebih cerita yang diangkat juga merupakan origin story dari sebuah kisah popular tentang Santa Claus. Atmosfir dan tone yang dimiliki cerita sebenarnya beragam, ada bagian di mana cerita dan animasi tampil sedikit dark namun juga banyak momen penuh kegembiraan yang terasa ringan, perpaduan keduanya bagus dengan transisi yang halus. score dari Alfonso G. Aguilar juga memiliki peran yang cukup besar, terasa jernih dan ekspresif sama seperti visual yang tidak mencoba untuk membuat karakter tampak terlalu realistic. Hasilnya sejak awal hingga akhir ‘Klaus’ punya pesona yang mengikat penonton untuk terus bergulir bersama perjuangan Jesper untuk segera pulang itu.

Ini menyenangkan melihat bagaimana origin story dari cerita tentang Santa Claus dikemas dalam presentasi yang tepat sasaran di semua bagian. Sedari awal penonton berkenalan dengan sosok Jesper mereka dengan mudah telah dapat melihat bagaimana sikap yang dimiliki karakter utama tersebut, seorang pria yang menjadi "malas" karena berbagai kemudahan hidup yang ia dapatkan dari sang ayah. Dan ternyata sebuah hukuman justru membawanya ke dalam sebuah proses penemuan jati diri, sebuah storyboard yang memikat. Ketimbang membawa kisah Santa Claus dibentuk dengan fokus yang langsung menyasar pada karakter klaus itu sendiri di sini kita punya Jesper sebagai kapten utama cerita.
It's all about Jesper pada dasarnya, dari bagaimana ambisinya untuk dapat segera pulang yang kemudian memaksanya menciptakan sebuah "cerita" baru dengan anak-anak sebagai target hingga dampak yang ia berikan terhadap lingkungan sekitarnya. Sergio Pablos dengan cermat menata cerita agar situasi yang sedang dihadapi oleh Jesper dapat menjadi arena bagi berbagai hal baik muncul dan menunjukkan dampak yang bisa ia berikan. Setting kota yang gloomy, penduduk yang tidak kalah gloomy, hingga karakter Klaus yang juga gloomy, Jesper yang awalnya murung justru berhasil menjadi vitamin bagi kota Smeerensburg. ‘Klaus’ mendorong kehadapan para penontonnya isu tentang keajaiban yang dimiliki manusia dengan cara yang tepat, ia tidak langsung menceburkan isu tersebut lalu mencoba mengemis simpati dan empati dari penonton.

Senang rasanya mendapati bagaimana posisi dari isu terkait peran cinta dan kasih sayang yang coba disampaikan terus bertumbuh dengan ritme yang manis sedari awal. Mereka tidak muncul secara frontal, Sergio bahkan sepertinya mengerti bahwa ini adalah kisah yang klise, tapi kondisi tersebut berhasil ia olah agar tidak menghasilkan dampak negatif dengan membuat semuanya untuk tidak tampak palsu dan unimaginative. Cinta dan kasih sayang tadi hadir lewat hal-hal kecil dan sederhana. Ambil contoh bagaimana sikap anak-anak yang polos karena menginginkan mainan justru membuka mata penduduk dewasa untuk sadar bahwa peperangan yang selama ini terjadi itu merupakan sesuatu yang melelahkan dan harus diakhiri.
Ya, being predictable doesn't hurt namun justru menciptakan batas yang jelas dan menghasikan punch yang memikat. Sergio Pablos berhasil membuat cerita terasa dinamis berkat kemampuannya menjaga kesan menyenangkan dan excitement, contohnya bagaimana ia satu per satu menampilkan berbagai ciri khas dari legenda Santa Claus seperti asal muasal dari kemunculan kereta dan rusa, mengapa Santa Claus identik masuk ke rumah lewat cerobong asap, hingga terkait penyebab mengapa Santa Claus identik dengan baju warna merah. Sergio Pablos juga dibantu oleh kinerja dari para pengisi suara yang oke, dari Jason Schwartzman yang menjadikan Jesper sebagai pria muda childish namun baik hati hingga Rashida Jones sebagai karakter Alva yang sayangnya memang perannya terbatas.
Overall, ‘Klaus’ adalah film yang memuaskan. Membawa beberapa isu dari pertemanan hingga niat baik, Sergio Pablos bersama timnya berhasil menciptakan sebuah sajian animasi yang menghibur, memiliki kualitas animasi yang impresif dengan cita rasa tradisional yang berpadu dengan sentuhan modern. ‘Klaus’ menggunakan premis mengirim berkirim surat dan origin story tentang Santa Claus untuk menyampaikan berbagai isu klasik dengan cara yang manis dan tajam, perpaduan style dan substance yang terasa compact and touching without being too sentimental. Lovely.











1 comment :