31 January 2017

Review: Resident Evil: The Final Chapter (2017)


"My name is Alice, and this is my story."

Salah satu kalimat yang berasal Alice di film sebenarnya sudah cukup untuk mewakili perjalanan Resident Evil film series sejauh ini, seluruh kehidupannya berisikan running away dan juga killing. Masih bermain bersama para zombie terasa cukup mengejutkan memang mendapati para produser dengan berani menaruh “The Final Chapter” di dalam judul dari film keenam petualangan Alice ini, meskipun secara kualitas belum menunjukkan perubahan besar kearah positif namun dua film sebelumnya berhasil meraih box office di atas $200 juta. Final? Really? One last ride?

Terbangun di Washington, D.C., Alice (Milla Jovovich) kemudian ditemukan oleh The Red Queen (Ever Anderson) yang menjalankan tugas dari the Umbrella Corporation. Diminta untuk kembali ke The Hive Alice mendapat tawaran dari The Red Queen terkait lokasi obat untuk T-Virus yang dapat menghentikan wabah zombie. Alice menerima tawaran tersebut dengan konsekuensi ia menjadi target dari Dr. Isaacs (Iain Glen) yang berencana untuk membawa para mayat hidup ke dalam Raccoon City. Dibantu oleh Claire (Ali Larter), Abigail (Ruby Rose), Doc (Eoin Macken), dan Christian (William Levy), Alice bersiap untuk bertarung dengan batas waktu sempit yang ia miliki.  


Sinopsis yang klise! Di sini Paul W.S. Anderson masih bermain dengan formula yang telah ia terapkan di film-film Resident Evil sebelumnya. Yang menarik dari situ adalah terdapat dua sisi berseberangan dari keputusannya tersebut yang seperti tidak mencoba untuk memberikan sesuatu yang baru dan segar kedalam petualangan Alice ini. Yang pertama adalah sisi negatif yang punya kuantitas besar. Masih sama seperti pendahulunya sajian action, horror, dan sci-fi ini masih terasa draggy di sektor cerita, menenggelamkan potensi yang ia punya Anderson di sini ternyata hanya mencoba mendaur ulang pola yang sama yaitu hadirkan konflik, kemudian aksi combat, lalu setelah itu masuk ke dalam tujuan yang tidak memberikan sebuah akhir yang oke. Seperti yang disebutkan di awal tadi, sulit untuk benar-benar yakin bahwa ini merupakan bagian terakhir dari petualangan Alice jika melihat cara Anderson menutup perjuangan dari Alice. 


Menariknya adalah terdapat sisi positif yang cukup kecil dari film ini jika dilakukan perbandingan dengan dua film sebelumnya. Formulanya masih sama tapi uniknya kualitas bagian action film ini, well, terasa cukup oke dengan semua koreografi kaku dan eksposisi yang tidak terasa rapi itu. Anderson masih tahu bahwa alasan dari sebagian besar penonton datang menyaksikan film Resident Evil adalah karena istrinya Milla Jovovich, di sini ia coba eksploitasi karakter Alice dengan memberikan banyak kesempatan baginya untuk berusaha menciptakan kesan “cool” kepada penonton. Tidak semuanya berhasil tapi jika dibandingkan dengan betapa menjengkelkannya kualitas yang dimiliki cerita apa yang Alice lakukan di sini dengan berbagai pose yang oke itu terasa menarik, dari membanting hingga upside down. Hal itu juga terbantu kemampuan Jovovich dalam menciptakan intensitas di setiap kesempatan yang ia punya. 


Pesona yang Jovovich hadirkan di sini masih terasa kuat. Milla Jovovich di sini ibarat paracetamol dosis besar yang dengan cepat menghilangkan rasa pusing di kepala penonton setelah bergerak kesana kemari akibat editing yang “kurang ajar” itu. Silahkan coba tonton dalam format 3D dan bersiaplah bertemu dengan headache, banyak scene yang terasa blur. Tapi menariknya terdapat pula sisi positif dari editing yang terasa hyper itu yaitu feel video game yang tercipta terasa cukup oke, keputusan untuk menggunakan beberapa bumbu first person shooter juga membuat bagian action terasa cukup oke di balik “kekacauan” yang ia ciptakan itu, begitu juga dengan bangunan yang meledak kemudian anggota badan dari karakter yang “menghilang” mereka berhasil menjadi bagian dari elemen action yang jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya secara kualitas menghadirkan sebuah grafik menanjak yang oke, meskipun tidak terasa konsisten di semua bagian.


So, kembali ke pertanyaan di awal tadi, apakah benar ini merupakan final chapter dari petualangan Alice yang masih “sama saja” itu? Sebelum menonton film ini saya menganggap itu sebuah berita yang bagus dan positif namun menariknya setelah menonton Resident Evil: The Final Chapter anehnya terdapat sedikit perasaan kurang rela jika Alice harus berhenti di sini. Tidak seperti Underworld film series Alice masih punya pesona yang kuat dan memikat, hal yang ia kembali tunjukkan di film ini. Secara kualitas Resident Evil: The Final Chapter memang belum berada di level yang positif namun jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya film ini berhasil bergerak kea rah yang lebih positif, no matter seberapa klise dan dangkal materi serta formula yang digunakan oleh Paul W.S. Anderson. So, another shot, maybe?










2 comments :