10 October 2016

Review: Under the Shadow (2016)


"They’ll always know how to find you."

Debut fitur layar lebar dari sutradara asal Iran bernama Babak Anvari ini, Under the Shadow, akan mengingatkan kamu pada film horror yang juga menjadi debut layar lebar dari Jennifer Kent, The Babadook. Menggunakan konsep yang sama yaitu menempatkan terror bersama hubungan antara ibu dan anak film yang dipilih oleh United Kingdom untuk mewakili mereka pada perhelatan 89th Academy Awards di kategori “Best Foreign Language Film” ini menjadi bukti bagaimana apa yang penonton sebut formula dan materi yang klasik, klise, bahkan basi itu selalu dapat kembali dibentuk menjadi sebuah presentasi penuh terror yang terasa segar dan menyenangkan. It's horror with lovely terrors. Oh, what a year, what a lovely year for horror films!

Tehran, 1988, ketika perang Iran-Irak sedang berlangsung pria bernama Iraj (Bobby Naderi) terpaksa harus ikut terlibat di dalam peperangan tersebut dan meninggalkan istrinya Shideh (Narges Rashidi) serta anak perempuan mereka Dorsa (Avin Manshadi). Shideh merupakan wanita dengan pendirian yang teguh, ia menolak untuk mengungsi dan memilih untuk tinggal di apartement mereka. Dengan tidak adanya kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak banyak hal yang dapat dilakukan oleh Shideh dan Dorsa, namun ketenangan itu meledak setelah sebuah misil menghampiri kediaman mereka. Tapi masalah terbesar bagi Shideh bukan itu, setelah kejadian tersebut hal-hal aneh semakin sering terjadi, Shideh dan Dorsa mulai dapat melihat penampakan makhluk supranatural, Jinn. 


Banyak cara yang dapat digunakan oleh filmmaker untuk menebar terror, salah satunya adalah dengan membuat karakter terjebak di dalam tekanan dan perlahan energi serta emosi mereka mulai goyah. Ibu dan anak yang terisolasi di dalam rumah, itu premis yang klise di genre horror, tapi di tangan Babak Anvari itu berhasil membentuk sebuah hiburan penuh terror yang menyenangkan. Yang dilakukan oleh Babak Anvari di sini sebenarnya bukan hal yang baru di ranah genre horror, berbagai hal klasik dan familiar akan kamu temui seperti momen menunggu dalam diam yang terasa chilling misalnya. Yang membedakan Under the Shadow dengan film horror yang gagal ketika menggunakan template klasik itu adalah ini punya bobot yang menarik, penonton tidak sekedar mengamati tapi juga seolah merasa menjadi orang ketiga di dalam apartement Shideh. Hmm, mungkin lebih tepatnya orang keempat setelah ditambah dengan hantu. 


Ya, ada hantu atau Jinn di sana tapi hal itu digunakan sebagai “peruncing” ketika kamu sudah terombang-ambing bersama Shideh dan Dorsa. Saya suka cara Babak Anvari menciptakan intimitas antara Shideh, Dorsa, dan juga penonton, posisi terkurung membuat tekanan terus naik secara perlahan, seperti menaiki anak tangga dengan ledakan di puncak. Harus diakui butuh cukup banyak waktu untuk Under the Shadow sebelum benar-benar menghadirkan “keganasan” ke hadapan penonton tapi proses menuju ke sana tetap menarik. Script cukup efektif menciptakan skenario untuk membuat tekanan terhadap karakter terus meningkat, awalnya tampak hanya perang yang akan menjadi masalah tapi setelah itu berbagai hal seperti hantu, budaya, agama (that hijab thing), pekerjaan, serta hubungan ibu dan anak muncul yang beberapa di antara mereka bahkan juga digunakan untuk “menyentil” Iran (that Jane Fonda video). Karakter semakin terisolasi tapi dengan urgensi yang menarik, alhasil proses menunggu sebelum “ledakan” tidak membosankan. 


Itu yang membuat ‘Under the Shadow’ banyak mengingatkan saya pada The Babadook, jika melihat sinopsis saja sudah cukup identik dan cara film ini tampil juga kurang lebih sama. Loneliness benar-benar dikuras di sini, ancaman dari “sosok aneh” dimasak secara sedikit demi sedikit, menciptakan rasa waspada dan cemas pada penonton sebelum menyerang mereka secara agresif. Tensi atau ketegangan di dalam cerita terasa oke jika penonton setelah merasa terikat kemudian sabar mengikuti aliran cerita bersama Shideh yang berhadapan dengan tekanan psikologis. Cerita semakin terasa mengganggu ketika Shideh mulai belajar tentang hal-hal terkait djinn tersebut dan dari sana atmosfir “mencekam” yang dimiliki cerita kemudian naik, cara elemen paranormal digabungkan dengan sebuah drama psikologis terasa oke dan menghasilkan kesan horror yang menarik. Anvari menggunakan bahaya yang mengancam ibu dan anak itu dengan cermat, membuat penonton on the edge tapi tidak bermain secara berlebihan. 


Hasilnya apa yang dialami oleh Shideh dan Dorsa terasa seperti real experience, kesan gimmick yang terasa mengganggu tidak pernah muncul. Kondisi “there, not there” memberikan terror yang menyenangkan dan itu juga berkat elemen teknis yang terasa oke. Di awal kita melihat sebuah ledakan dari jendela, itu sebuah terror pembuka, setelah hadir terror lainnya yang divisualisasikan dengan baik, menggabungkan cita rasa klasik dengan sentuhan modern. Cinematography terasa oke dalam mengajak penonton melihat pada satu “fokus” yang terasa dingin, bersama sound design serta editing yang oke menciptakan kesan claustrophobia yang oke. Performa cast juga menjadi faktor penting pada pencapaian itu, Narges Rashidi berhasil membuat Shideh yang punya pendirian teguh menarik simpati penonton, dia mampu memanfaatkan situasi sulit tersebut untuk menggabungkan dengan manis trauma dan juga mental stress. Sementara Avin Manshadi berhasil menjalankan tugasnya menampilkan “something fishy” dengan rapi. 


Menyenangkan mendapati jumlah film horror di tahun yang berhasil memberikan penonton kegembiraan ketika bermain bersama terror dengan mereka, seperti yang dilakukan oleh Under the Shadow ini. Babak Anvari berhasil menggunakan horror sebagai basic untuk menciptakan sebuah psycho drama dengan thrill yang terasa gripping, bergerak cepat dengan dipenuhi chills yang oke, terasa intim dan intens dipenuhi rasa takut yang solid. Ikut menyajikan lapisan sosiologis di dalam cerita yang fokus menampilkan karakter yang terus tersiksa, di durasi 84 menit itu bersama atmosfir cerita yang gloomy di sini kesabaran penonton diuji namun itu terbayar lunas ketika terror yang menyenangkan itu hadir dan meledak. One of the best horrors this year. Segmented. 









1 comment :

  1. Gila one of the best dah. Formula Babdook mulai ngetrend nih. Aneh nya justru sinopsis awal yang lambat membuat "ledakan" dari pertengahan ke akhir terasa sangat mengikat, karena kita dari awal udah terikat sama karakternya. Dan lagi gue gk nyangka film horror punya materi yang "sekaya" ini.

    Captivating...

    Nice Review, btw 👌

    ReplyDelete