29 September 2016

Movie Review: Deepwater Horizon (2016)


"That oil is a monster."

Kini tampaknya setiap tahun manusia semakin terampil dalam menciptakan "kehebohan" dalam skala besar, dan enam tahun lalu salah satu kehebohan itu muncul dari Gulf of Mexico ketika sebuah unit dari proyek pengeboran minyak bernama ‘Deepwater Horizon’ menciptakan sebuah “kekacauan” yang membuatnya dilabeli sebagai "the largest environmental disaster in U.S. history". Diangkat dari ‘Deepwater Horizon's Final Hours’ sutradara ‘Hancock’ dan Lone Survivor mencoba “menghidupkan” kembali bencana tersebut ke dalam layar lebar, dari fosil untuk sang buah hati, birokrasi, hingga bertarung melawan api. Deepwater Horizon: an understated presentation about a giant catastrophe.

Mike Williams (Mark Wahlberg) merupakan seorang chief electrician yang bekerja di Deepwater Horizon, sebuah anjungan pengeboran minyak lepas pantai yang berlokasi di Gulf of Mexico, milik Transocean dan disewakan kepada perusahaan minyak dan gas British Petroleum (BP). Pagi itu Mike bangun dan bersiap untuk menuju Deepwater Horizon di mana ia akan berpisah dengan istrinya Felicia Williams (Kate Hudson) serta anak perempuan mereka yang selalu berharap agar Mike dapat membawa pulang sebuah fosil untuknya. Perjalanan Mike menuju Deepwater Horizon tampak lancar, namun bersama rekan kerja diantaranya Jimmy "Mr. Jimmy" Harrell (Kurt Russell) dan Andrea Fleytas (Gina Rodriguez) mereka tiba di Deepwater Horizon dengan sebuah perasaan “kurang nyaman”, berasal dari cement bond log test, pengujian dan evaluasi integritas serta kekuatan dan kinerja semen.

Anjungan yang berada 41 mile dari lepas pantai Louisiana dan melakukan proyek pengeboran sedalam 5000 kaki di bawah permukaan laut itu ternyata sedang berada di bawah tekanan. Performa mereka telah terlambat 43 hari dari jadwal yang dicanangkan serta telah over budget, dan dengan kondisi terus ditekan oleh pimpinannya di BP site manager Don Vidrine (John Malkovich) berupaya untuk membuat proyek terus berjalan agar cepat selesai dengan harga murah. Cara yang ia gunakan adalah dengan mencoba “mengabaikan” kegagalan pada pressure test yang telah dilakukan meskipun telah mendapat peringatan dan penolakan dari Jimmy. Memiliki tameng yang lebih besar di belakangnya membuat Don Vidrine memenangkan argument dengan Jimmy, namun aksi mengabaikan bahaya tersebut justru mengundang sebuah bencana besar untuk masuk ke dalam Deepwater Horizon. 


Kisah nyata yang menjadi materi cerita film ini, Deepwater Horizon oil spill, atau BP oil spill, atau the BP oil disaster, atau the Gulf of Mexico oil spill sesungguhnya menyimpan berbagai konflik menarik lain pasca kejadian, dari dampak terhadap lingkungan, kesehatan, dan tentu saja ekonomi. Untung saja hal-hal tersebut tidak menciptakan beban bagi sutradara Peter Berg bersama tim penulis cerita Matthew Michael Carnahan dan Matthew Sand, meskipun tetap mencoba menghadirkan sebuah pembelajaran dari aksi ceroboh yang menciptakan bencana yang menguras kocek BP sedalam $20 milyar itu namun Peter Berg menaruh fokus pada betapa mengerikannya on-site destruction yang terjadi pada tanggal 20 April 2010 yang lalu itu. Di awal penonton bertemu dengan karakter yang dengan cepat membangun pesona mereka seperti Mike dengan sedikit “pemanis” melibatkan istri dan anaknya, kemudian masuk ke dalam sebuah polemik pelik terkait hal teknis penuh gesekan antar pihak berwenang, dan setelah itu hadirkan ledakan dalam skala besar. Proses satu, dua, dan boom tadi sejak sinopsis berhasil menciptakan sebuah grafik daya tarik dan kesan intens yang meningkat.

Deepwater Horizon seperti terbagi menjadi dua bagian. Paruh pertama dari kisah dengan durasi 107 menit ini banyak dihabiskan untuk membahas satu masalah: apakah lampu hijau layak diberikan setelah pressure tests gagal memenuhi syarat keselamatan, berisikan berbagai jargon teknis yang uniknya tidak mengganggu kesan “something wrong” yang sejak awal memang coba ditampilkan oleh Peter Berg secara bertahap. Tidak hanya dari dialog antar karakter yang berhasil ditampilkan dengan padat namun penggunaan visual seperti dari lantai laut hingga retakan juga membantu semakin tumbuhnya kesan berbahaya dari proses pengeboran tersebut. Terkadang karakter terasa seperti mencoba tampil "lucu" untuk membuat intensitas cerita terasa sedikit lebih ringan, namun upaya mereka itu gagal. Sama seperti kaleng soda yang meledak di bagian awal itu fokus penonton sudah dipaku pada ledakan yang akan muncul kemudian, tensi dari bahaya yang mengancam konsisten bergerak naik dan kesan “dingin” di Deepwater Horizon tumbuh semakin besar. 


Memang kualitas yang mereka miliki tidak berada di level yang sama tapi apa yang Deepwater Horizon coba lakukan terasa serupa namun tak sama dengan Sully. Walaupun telah mengetahui peristiwa yang dianggap sebagai bencana lingkungan terbesar dalam sejarah USA itu “panas” yang dimiliki cerita tetap menyala dengan baik hingga akhir, suspense dan nerves perlahan terasa semakin kental secara bertahap. Segala macam tik-tok thought-provoking terkait hal teknis di paruh pertama sukses menarik penonton untuk merasa seolah berada di antara para teknisi dan crew di Deepwater Horizon, ikut merasakan kondisi life-or-death di lingkungan dan suasana yang terasa cukup otentik itu dan bergantung pada sebuah keputusan sederhana antara go or stop. Dan setelah set up itu terbentuk dengan baik kemudian Berg hadirkan ledakan bombastic yang sukses menghasilkan thrill yang cukup impresif. Ya, cukup, meskipun dipenuhi lumpur hingga api tapi menariknya paruh pertama terasa lebih intens ketimbang ketika Deepwater Horizon menghajar penonton dengan berbagai ledakan dan kehancuran.

Paruh kedua Deepwater Horizon memang terasa impresif tapi eksistensinya lebih terasa bersifat run-of-the mill, mereka di sana tapi impact yang mereka hasilkan tidak begitu special. Bukan berarti dengan begitu excitement terasa kendur ketika “kehancuran” itu muncul tapi jika dibandingkan dengan momen ketika karakter masih berkutat dengan masalah teknis itu kesan "menyeramkan" yang dihasilkan berada satu level lebih rendah. Hal tersebut dapat dikatakan merupakan dampak dari keputusan Berg yang kembali tidak mencoba going deeper dengan konflik dan karakter, di konflik tidak begitu masalah namun karakter menjadi terasa sedikit lack human emotions. Peter Berg sudah menunjukkan niatnya sejak awal pada bagian tersebut sehingga apa yang ia tampilkan di sini tidak begitu mengganggu, namun seandainya ia sedikit “membumbui” konflik dan karakter mungkin dramatic impact di bagian akhir itu akan mampu terasa lebih kuat lagi setelah berputar-putar bersama berbagai kompleksitas yang tampil efektif. 


Namun apakah kualitas visual yang notabene menjadi alasan di balik budget sebesar $156 juta itu berhasil memenuhi ekspektasi? Yes, it pays off. Upaya recreate sebuah bencana Peter Berg “membangun” sebuah anjungan skala besar yang begitu impresif, perpaduan antara elemen nyata dan CGI terasa baik dan realistik. Visualisasi terhadap anjungan Deepwater Horizon serta berbagai bahaya yang siap meledak di bagian awal banyak membantu kemampuan cerita dalam mengikat penonton, membuat mereka seolah merasa ikut terjebak di tengah laut sehingga ketika kehancuran itu muncul kekuatan destruktif yang dihasilkan terasa mumpuni. Menyajikan gambar aktual atau footage dari kejadian di tahun 2010 pada bagian akhir semakin membuat kualitas visual Deepwater Horizon terasa manis, perbedaan feel “seram” di antara mereka tidak begitu banyak.  Selain visual effects ‘Deepwater Horizon’ juga punya sound design yang oke.

Alasan mengapa di paruh pertama meskipun berisikan perdebatan terkait hal teknis ‘Deepwater Horizon’ terasa begitu intens juga berkat kontribusi dari divisi cast dalam menciptakan impresi mengapa hal yang tampak sepele itu begitu penting bagi eksistensi karakter mereka. Mark Wahlberg dijual sebagai pemeran utama di sini, memberikan kinerja yang baik dengan membuat penonton root for him namun sayangnya peran karakter Mike kurang kuat untuk memaku dirinya di posisi tersebut dan bersinar paling dominan. Hal tersebut juga disebabkan oleh karakter lain yang sukses mencuri perhatian, seperti Jimmy misalnya yang ditampilkan oleh Kurt Russell dengan karisma yang kokoh, kemudian Donald Vidrine yang dibentuk dengan baik oleh John Malkovich sebagai villain egois serta keras kepala yang membuat penonton geram dan ingin menonjoknya, serta Gina Rodriguez, Dylan O'Brien, Kate Hudson, dan Ethan Suplee yang meskipun memerankan one-dimensional charaters tapi berhasil membuat karakter mereka berkontribusi dengan baik di dalam cerita. 


Overall, Deepwater Horizon adalah film yang cukup memuaskan. Sebagai sebuah disaster movie ini menampilkan “kehancuran” dengan baik, sedikit bumbu heroism yang tidak terlalu dominan menemani berbagai tekanan dan juga ledakan yang divisualisasikan dengan excitement yang manis. Peter Berg tidak mencoba mendramatisasi cerita secara lebih jauh atau lebih mendalam membuat after effect yang tercipta terasa kurang segar namun itu bukan masalah karena sejak awal ia telah mengindikasikan untuk bermain aman di sini, tanpa lapisan dan kejutan yang berlebihan di plot dan straightforward menghadirkan sebuah taut and tense experience bagi penontonnya. Kesan “mentah” dan tidak dipoles terlalu jauh itu yang membuat kesan "mengerikan" dari kisah nyata itu terasa kuat, sebuah visceral drama yang berhasil tampil understated. Remember, safety first! Segmented. 











1 comment :

  1. Ngerasain hal yg sama. Setengah pertamanya terasa intens, dan kehancurannya oke banget.

    ReplyDelete