24 August 2016

Review: Imperium (2016)


"For evil to triumph, it only takes good men to do nothing."

Ketika berbicara tentang aksi terorisme fokus kita kerap selalu mengarah pada arah yang sama, baik itu yang melibatkan kelompok, negara, dan yang paling gila mengikutsertakan agama. Namun sesungguhnya aksi terorisme dapat lahir dalam berbagai bentuk dan dari berbagai arah, salah satunya dari “dalam” setiap negara. Mereka yang merasa ditindas serta diabaikan oleh negara mereka sendiri itu dapat menghasilkan kekacauan atau mimpi buruk yang lebih besar dari apa yang diperoleh suatu negara dari serangan negara lain. Itu yang diceritakan oleh ‘Imperium’ dengan cara yang efektif, aksi menyusup dan rasa cemas, when Harry Potter shaving his hair and doing undercover mission as a Nazi skinhead.

Dibandingkan dengan rekan-rekannya yang penuh aksi agent FBI bernama Nate Foster (Daniel Radcliffe) masih berjuang dengan perasaan terisolasi yang ia rasakan, lebih senang melakukan penelitian ditemani dengan musik klasik melalui headphone-nya. Tapi boss Nate Foster, Angela Zamparo (Toni Collette) merasa Nate Foster memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu agen terbaik FBI dan untuk melatih pengalaman lapangannya yang masih minim Nate Foster ditugaskan untuk menyusup kedalam sebuah kelompok supremasi kulit putih dan gerakan modern neo-Nazi yang disinyalir sedang merencanakan sebuah serangan terorisme terhadap USA. Berusaha untuk mempelajari rencana kelompok tersebut celakanya Nate Foster “terjebak” lebih dalam dari apa yang ia bayangkan sebelumnya.  


Film yang ditulis dan disutradarai oleh Daniel Ragussis ini banyak mengingatkan saya pada Green Room, sebuah thriller yang berisikan usaha karakter utamanya “masuk” ke dalam organisasi neo-Nazi lalu berurusan dengan subjek kontroversial. Di debut layar lebarnya ini Daniel Ragussis berhasil mengemas pola tadi menjadi sebuah sajian undercover thriller yang cukup oke, mementaskan salah satu realita kehidupan yang keras dengan membawa karakter utama mulai terjebak di dalam sarang musuh. Semakin jauh ia berusaha semakin dalam ikatan yang terjalin antara Foster dan kelompok tersebut, yang awalnya musuh Foster mulai melihat mereka sebagai manusia normal yang bertingkah liar. Ragussis oke dalam memutar-mutar materi, dia tidak berusaha keras menciptakan something new di film dengan kisah undercover tapi ia mampu membentuk agar materi terasa padat bersama tensi cerita yang terasa oke untuk kemudian memberikan kejutan pada penontonnya. 


Ya, sejak sinopsis yang simple itu saya beranggapan apa yang akan ‘Imperium’ lakukan membawa Foster terjebak di dalam kandang musuh lalu kemudian membawanya keluar, tapi yang Daniel Ragussis lakukan sedikit lebih baik dari itu. Hal terbaik dari ‘Imperium’ adalah kesan mengerikan yang ia tampilkan terasa efektif. Ini mungkin banyak disebabkan kehebohan yang diciptakan oleh kelompok teroris di kawasan timur tengah yang mengatasnamakan agama itu sehingga feel yang ‘Imperium’ hasilkan terasa oke. Bagaimana bisa sosok yang mencintai negaranya dan memilih agent FBI sebagai pekerjaannya bisa “goyah” ketika menyusup ke kandang “lawan” yang sedang berusaha menyerang negaranya? ‘Imperium’ mampu menampilkan bahwa musuh yang sebuah negara hadapi bisa datang dalam bentuk apapun, termasuk yang berasal dari dalam negara mereka sendiri. 


Terasa aneh ketika sempat muncul simpati pada kelompok supremasi kulit putih tersebut, kondisi sosial macam apa yang menyebabkan mereka menjadi banalitas kejahatan seperti itu. ‘Imperium’ mampu membuat penonton membayangkan situasi berhadapan dengan kejahatan seperti yang Foster hadapi berkat suspense yang cukup oke dan bersanding bersama drama yang juga cukup oke. Tensi cerita di mayoritas bagian terasa hidup, Daniel Ragussis cermat dalam menggabungkan unsur crime, drama, dan thriller dengan membuat Foster berada di kondisi “almost” yang mampu mengunci atensi. Tidak terasa standout memang, contohnya di unsur drama yang tidak selalu menampilkan kedalaman yang oke meskipun tidak pernah jatuh menjemukan berkat kehadiran unsur crime dan thriller di sampingnya. Narasi juga memiliki tingkat sensitifitas yang terlalu mini meskipun terus mengalir dengan baik dibawah kendali Daniel Radcliffe. 


Tipe cerita yang dimiliki ‘Imperium’ mewajibkannya untuk memiliki karakter utama yang mampu tampil memikat hingga akhir, dan Daniel Radcliffe melakukan hal tersebut. Awalnya memang sempat ragu tapi di sini Daniel Radcliffe kembali membuktikan ia perlahan mampu membuat penonton tidak lagi memandangnya sebagai totally Harry Potter, kurang memikat di Now You See Me 2 kinerja di sini sejajar dengan apa yang ia lakukan di Swiss Army Man’. Foster seperti berada di tepi jurang, berada di ambang antara berhasil atau gagal jika identitas aslinya terkuak, Daniel Radcliffe berhasil menciptakan dan menjaga tensi cerita lewat penggambaran rasa cemas Foster yang terasa oke. Toni Collette tampil baik sebagai official yang quirky dan off-beat sementara anggota kelompok supremasi terasa mixed, di satu titik mereka mampu menarik simpati tapi di sisi lain mereka terasa kurang menakutkan sebagai sebuah kesatuan yang dianggap sedang menyusun sebuah serangan. 


Menaruh fokus membawa karakter terus bergerak sambil menghindari “ranjau” yang dapat mengancam nyawanya ‘Imperium’ berhasil menjadi sebuah kombinasi crime, drama, dan thriller yang oke, dari isu tentang kondisi sosial hingga aksi terorisme yang dapat datang dalam berbagai bentuk dan dari berbagai arah. Ditunjang dengan kinerja akting Daniel Radcliffe yang sekali lagi membuktikan ia terus bertumbuh sebagai seorang aktor, sutradara Daniel Ragussis berhasil membentuk sebuah thriller yang cukup efektif di debut layar lebarnya ini, bermain aman dan tepat sasaran, tidak terasa standout tapi mampu memutar rasa takut dan putus asa karakter untuk menyajikan hiburan berisikan thrill penuh kecemasan yang cukup mumpuni. It’s not reaching a top point but surprisingly succeeded giving a quite effective crime drama thriller entertainment. Segmented.









0 komentar :

Post a Comment