11 August 2016

Movie Review: A Girl at My Door (2014)


A long time ago in a galaxy far, far away, ketika terjadi sebuah tabrakan orang-orang di sekitar lokasi akan bergerak cepat untuk menyelamatkan korban, namun sekarang berbeda, dari yang berlalu karena tidak merasa peduli banyak manusia yang kini semakin berhati-hati dan berpikir berulang kali untuk memberikan bantuan. Mengapa? Karena memberikan bantuan kini bisa menjadi boomerang yang berbahaya serta merugikan. Hal tersebut yang digunakan oleh film ini dalam menyampaikan berbagai isu seperti harapan dan keadilan. A Girl At My Door (Dohee-ya): an absorbing drama.

Polisi bernama Lee Young-Nam (Bae Doo-Na) dipindah tugaskan dari Seoul untuk menjabat sebagai kepala substasiun di sebuah kota tepi pantai di Yeosu. Ketika bertugas wanita yang ditransfer akibat sebuah skandal pribadi itu menerapkan aturan yang sedikit longgar di tempat barunya terutama pada kebiasaan mabuk penduduk lokal yang berada di atas batas normal, termasuk mencoba menjaga jarak dengan mereka. Suatu ketika saat sedang berkendara Young-Nam bertemu dengan remaja putri yang berada dalam kondisi berantakan, dan ketika Young-Nam coba mengecek wanita muda tadi respon yang ia peroleh hanya sebuah tatapan kosong tanpa sepatah katapun.

Remaja putri berusia 14 tahun itu bernama Sun Do-hee (Kim Sae-ron), di bully oleh teman sekolahnya serta ayah tirinya Park Yong-ha (Song Sae-byeok). Warga kota tahu perlakuan Yong-ha kepada Do-hee namun memilih bungkam karena status Yong-ha yang merupakan “majikan” dari bisnis di kota tersebut. Young-Nam mencoba membantu Do-hee atas perlakuan kasar yang ia terima salah satunya dengan mempersilahkan Do-hee tinggal di rumahnya untuk menghindar dari Yong-ha. Rencana Young-Nam tampak berjalan dengan baik sampai ketika Yong-ha mulai membuat masalah, semakin rumit ketika melibatkan rumor serta pandangan dari penduduk kota terhadap masalah di antara Young-Nam, Do-hee, dan Yong-ha.   


Selalu hadir impresi yang kuat dan memikat dari sebuah film bergenre drama dengan dasar sebuah masalah personal yang sederhana mampu dimodifikasi dengan baik sehingga menghasilkan sebuah drama yang mengasyikkan untuk diikuti. Film yang menjadi debut July Jung sebagai sutradara ini memiliki hal yang membuat sebuah drama terasa menarik, perpaduan cerita dan karakter yang bukan hanya sekedar mampu tampil menarik saja tapi juga mampu menarik penonton untuk terlibat di dalam perputaran masalah di dalam cerita. Semakin menarik karena hal tersebut A Girl at My Door capai dengan menggunakan perpaduan konflik yang tidak “mudah”, perpaduan yang terasa “risky” dari sebuah film asal Korea Selatan, berangkat dari alkohol kita kemudian bertemu dengan tindak penganiayaan termasuk isu terkait seksualitas di dalamnya. Untung saja hal tersebut berhasil di handle dengan baik oleh July Jung.

Yang menarik adalah meskipun isu yang ia bawa terasa kelam tidak ada kesan berlebihan yang timbul pada masalah yang mengusung pesan keadilan di posisi terdepan ini. Terasa halus, ‘A Girl at My Door’ terasa halus ketika berusaha mencapai misinya dengan bercerita menggunakan sebuah kisah yang sederhana namun mengerikan itu. Ini memiliki rasa “rich” yang cukup mumpuni, memadukan sudut pandang modern dan tradisional dalam sebuah “pertarungan” yang mampu mencengkeram penontonnya namun tidak mencoba membebani kita secara berlebihan. Mengalir, ‘A Girl at My Door’ mengalir dengan lembut tanpa mencoba “menyuapi” kita para penontonnya secara paksa, setiap satu bagian kecil terungkap kita semakin memahami dan merasakan segala problema yang terjadi di dalam cerita. Itu hal terbaik dari sebuah drama yang sederhana di luar namun kompleks di dalam, July Jung tampilkan dalam sebuah arena berupa kota kecil namun mencoba menyentuh banyak topik dengan manis, termasuk trust dan politik. 


Script yang July Jung susun memiliki banyak substansi klasik yang mampu tampil menarik berkat kemampuannya dalam menciptakan “nuansa” di dalam cerita. Karakter menggerakkan cerita tapi fokus kita tidak terlepas dari cerita yang berisikan jiwa dengan emosi yang sedang terluka itu. Dari segi tujuan utama ‘A Girl at My Door’ terasa lurus, kita tahu apa yang film ini ingin ceritakan dan capai, tapi jalan menuju ke sana tidak sepenuhnya lurus. July Jung mencoba menyampaikan berbagai isu tidak dengan cara berteriak sehingga berhasil menarik perhatian penonton, kisah tentang hope and desire ini tampil dengan berbagai lapisan yang dikemas secara matang serta mampu menampilkan isu pula dengan cara yang matang dan fokus yang terjaga. Menarik mengamati kemana “arah” dari masing-masing karakter terlebih dengan pertarungan pola pikir yang terjadi di antara mereka.

Hal terakhir tadi merupakan salah satu materi dipresentasikan dengan sangat baik oleh film ini, isu tentang pola pikir yang juga sukses menggelitik penonton dengan cara yang cantik. Cerita berisikan problem dan isu sosial yang standard tapi tidak semua tampil di atas permukaan, ada yang bersembunyi di bawah permukaan. Itu menjadi jangkar serta menciptakan kedalaman yang cukup baik pada kisah sederhana ini, dan fakta bahwa July Jung tidak hanya mencoba membuat mereka mengapung tanpa mencoba menyelesaikan masalah di dalam cerita menghasilkan impresi akhir yang manis. Hal lain yang mengejutkan rasa atau feel dari drama yang film ini hasilkan ternyata tidak terlalu mellow dan itu sebuah keputusan yang cermat karena dengan begitu rasa intens yang ditampilkan terasa stabil atau konsisten kualitasnya sejak awal hingga akhir. 


Terlepas dari kemampuan dalam mengolah materi secara cermat hal impresif lain yang July Jung lakukan di ‘A Girl at My Door’ terletak di elemen teknis. Ini merupakan kisah yang mencoba terus mencengkeram penontonnya bersama konflik serta karakter dan itu tercapai dengan baik juga berkat peran elemen teknis di dalamnya. Visual film ini berhasil memperkaya rasa yang dimiliki oleh cerita, kota kecil yang menjadi tempat cerita berputar ditampilkan dengan manis, menciptakan atmosfir yang mampu memainkan kegelisahan, pertumbuhan ancaman dari karakter antagonis, serta menampilkan sisi buruk yang tersimpan dari kota kecil itu. Score juga cukup sering membantu terbentuknya suspense di dalam cerita, terasa cukup oke dalam menunjang setting kelam yang dibawa ‘A Girl at My Door’.

Di balik pencapaian July Jung dari eksekusinya di berbagai bagian tadi alasan lain mengapa ‘A Girl at My Door’ berhasil menjadi drama sederhana yang tidak terlalu biasa adalah berkat kepiawaian cast dalam memerankan karakter mereka, dalam hal ini dua pemeran utama. Song Sae-byeok juga tampil baik namun fokus penonton terus mengarah pada hubungan antara Young-Nam dan Do-hee yang berhasil ditampilkan dengan baik oleh Bae Doo-Na dan Kim Sae-ron (we picked her as one of the best youth performances last year). Chemistry di antara Bae Doo-Na dan Kim Sae-ron terasa oke, dan secara individual mereka juga oke. Bae Doo-Na kerap bermain tanpa kata tapi ekspresi, her eyes, dan gerak tubuh yang ia tampilkan merupakan gabungan trauma dan rahasia yang memikat. Kim Sae-ron sukses memadukan kondisi “lemah” Do-hee bersama kesan ambigu yang menarik, ia korban tapi Do-hee di beberapa bagian terasa seperti remaja manipulatif. 


Overall, A Girl At My Door (Dohee-ya) adalah film yang memuaskan. Memusatkan cerita pada hubungan antara korban dan hero lalu masukkan mereka ke arena di mana opini mudah dimanipulasi, ‘A Girl At My Door’ merupakan kombinasi berbagai isu kompleks dalam presentasi yang memikat dan mengikat. Ceritanya compelling dan berhasil ditampilkan dengan baik oleh cast terutama dua pemeran utama wanitanya yang mampu menjadi “hati” bagi cerita dengan kesan yang believable serta membangun koneksi yang manis dengan penontonnya. Ditunjang pula dengan kinerja elemen teknis yang baik July Jung berhasil menciptakan sebuah kisah yang impresif dengan mempersilahkan kita para penonton tertarik, mencoba masuk, dan terikat dengan “kekacauan” yang terjadi di dalam ‘A Girl At My Door’. She is obviously one of directors to watch in the future. Segmented.













Note: This movie is not eligible for PNMA6.  

0 komentar :

Post a Comment