14 August 2016

Movie Review: Alice in Earnestland (2015)


Cinta memiliki beragam definisi, yang paling sederhana adalah bahwa cinta merupakan sebuah rasa yang menyatukan dua insan manusia dan kemudian mereka gunakan untuk hidup bahagia bersama. Namun terdapat kekuatan magis yang dimiliki oleh cinta, hal yang akan membuat orang rela berkorban untuk dapat membuat sosok yang ia sayangi, kasihi, dan cintai merasakan bahagia, dan ketika itu tercapai dia juga akan merasa bahagia. How far love can go, how deep love can go, itu tadi hal yang digunakan oleh film ini untuk bercerita tentang cinta dengan cara yang tidak biasa. Alice In Earnestland (Sungsilhan Naraui Aellisu): a crazy love story.

Soo-Nam (Lee Jung-Hyun) memiliki tangan dengan kemampuan yang dashyat, ia dapat melakukan dengan mudah berbagai pekerjaan yang menuntut kecepatan. Tidak heran ketika telah dewasa Soo-Nam berani mengambil berbagai pekerjaan untuk dapat memenuhi sebuah permintaan dari Kyu-Jung (Lee Hae-Young), suaminya. Kyu-jung sangat menginginkan agar ia dan Soo-Nam dapat memiliki rumah dengan alasan agar anak mereka kelak tidak tumbuh seperti yang pernah ia alami dahulu. Celakanya ketika Soo-Nam telah memenuhi permintaan suaminya Kyu-Jung justru melakukan sebuah tindakan bodoh yang membuatnya berakhir di rumah sakit.

Alhasil Soo-Nam kembali harus berusaha mendapatkan uang dalam jumlah yang besar untuk dapat membayar biaya pengobatan suaminya itu. Kesempatan datang menghampiri Soo-Nam, berasal dari seorang pria (Lee Dae-Yeon) yang sedang menyusun sebuah proyek besar. Pria tersebut membutuhkan persetujuan setengah dari jumlah warga yang kini menetap di lokasi yang hendak ia gunakan agar proyek tersebut mendapat lampu hijau untuk dilaksanakan. Soo-Nam mencoba membantu pria tadi untuk memenuhi persyaratan tersebut karena jika proyek tersebut berjalan harga rumah Soo-Nam yang kini ia sewakan akan melonjak tinggi.  


‘Alice In Earnestland’ merupakan tipe film yang di perkenalan pertama terasa aneh, kemudian membuat penonton merasa bimbang kemana ia akan berjalan, tapi pesona memikat yang ia miliki berhasil mengikat atensi dan kemudian membuat penonton terjebak di dalam “dongeng” yang ia sampaikan. Ya, memang tidak sepenuhnya merupakan sebuah dongeng tapi di debutnya sebagai sutradara ini Ahn Gook-jin berusaha membuat agar kisah yang berisikan berbagai isu ini memiliki kesan quirky yang mengunci atensi. Inventive, di awal ‘Alice In Earnestland’ tampak sederhana dan ketika ia bergulir semakin jauh dari sinopsis ia juga masih tampak sederhana, tapi yang menarik adalah Ahn Gook-jin membentuk sisi buas dari karakter utamanya dengan baik dan ia juga mempertahankan kesan mentah. Alhasil muncul rasa ambigu dari ‘Alice In Earnestland’, apa yang ingin film ini sampaikan?

Banyak hal yang ingin film ini ceritakan, dari masalah strata misalnya, kekuasaan, hingga hal sederhana yang disebutkan di awal tadi, sebuah kisah tentang cinta dan kasih sayang. Mereka semua dikemas tanpa meninggalkan kesan “gamblang” di salah satu bagian sehingga kombinasi yang tercipta terasa sedikit serampangan, tapi dari situ pula lahir salah satu kenikmatan yang manis dari film ini, mood swings yang sukses membuat cerita menjadi terasa aneh, unik, dan menarik. Ahn Gook-jin cerdik dalam meramu script dan juga hubungan sebab akibat di dalam cerita, membuat setiap elemen cerita seperti bermain lurus tapi tetap mampu menghasilkan splash yang menarik, menjaga cerita bermain dengan tone a la Wes Anderson dengan menyelipkan hal-hal brutal yang tampil berani, narasi yang bergerak cepat dengan timing yang oke lalu menyeimbangkannya dengan drama dan komedi penuh ironi yang terasa sama menariknya.  


Faktor yang menyebabkan ‘Alice In Earnestland’ tumbuh semakin menarik sejak perkenalan yang biasa itu adalah ia menggunakan kombinasi antara drama dan komedi untuk terus membuat penontonnya terkejut. Di satu bagian masuk ke dalam sebuah drama, belum sepenuhnya tuntas kemudian berpindah menuju elemen komedi, cukup menggelitik kemudian kembali ke drama, siklus itu berulang kembali. Ya, black comedy, menghadirkan sebuah kisah yang kelam tapi tetap mampu menarik masuk tawa ke panggung utama ketika gilirannya tiba, serius namun tidak berlebihan begitupula ketika tampil untuk menciptakan kesan lucu. Memang pada akhirnya terdapat bagian yang kurang maksimal ambil contoh beberapa komentar tentang isu sosial seperti kelas dan ketidakadilan yang terasa biasa, namun itu tidak menjadi masalah berarti karena sejak awal hal-hal tersebut merupakan pendamping bagi kisah utama, sebuah kisah tentang cinta dan kasih sayang.

Hal tersebut sesungguhnya terasa mengejutkan, penonton tahu elemen itu eksis di dalam cerita tapi karena mengisi bagian tengah dengan berbagai aksi “gila” bersama dengan sedikit sentuhan revenge yang dilakukan oleh Soo-Nam semenjak suaminya berada di rumah sakit elemen tadi terasa kurang menonjol. Penonton mengerti apa yang dilakukan oleh Soo-Nam merupakan sebuah perjuangan untuk orang yang ia cintai tapi meskipun telah dihangatkan kembali lewat perbincangan Soo-Nam dengan dokter elemen romance film ini tidak pernah tampil luar biasa, seperti bersembunyi di baris belakang untuk kemudian menghujam penonton menjelang bagian akhir. Ahn Gook-jin cerdik, berbagai isu tentang masalah sosial itu tidak hanya menjadi jalan saja tapi juga untuk “memecah” fokus perhatian penonton, dan ketika semua hampir selesai ia jatuhkan “bom” dengan daya ledak besar sebelum cerita berhenti sepenuhnya. 


‘Alice In Earnestland’ sukses melakukan hal serupa sejak awal hingga akhir seperti yang pernah dilakukan oleh Han Gong-ju, pesona oke menemani narasi yang menghanyutkan dan sekilas terkesan kosong namun punya energi yang baik lalu kemudian take your breath away di bagian akhir. Ada rasa horror di dalam cerita namun di sisi lain ada pula rasa lembut dari seorang manusia di dalamnya, mereka dicampur dengan baik dalam tekstur yang manis, dari cinematography yang terasa artsy namun tetap menjaga rasa indie untuk menciptakan visual dengan sedikit rasa cartoonish, score yang membantu menjaga mood meskipun cukup sering sukses membuat penonton tersenyum, dan balut mereka dalam editing yang berani dalam menonjolkan kesan savage, sadistic, and sane dari cerita yang terus berusaha menciptakan kesan over-the-top itu. Semua itu semakin lengkap berkat kinerja akting yang menawan dari Lee Jeong-hyun sebagai Soo-Nam termasuk cara ia menyajikan narasi melalui voiceover.

‘Alice in Earnestland’ merupakan comedy satire yang menjual ironi karakter utamanya, bertumpu pada apakah menarik atau tidak apa yang dilakukan oleh karakter utamanya, dan ini sukses karena memiliki karakter utama yang menarik. Komposisi dari karakterisasi Soo-Nam terasa menarik, ia punya emosi dengan dua sisi yaitu rapuh dan teguh, antusiasme miliknya terasa menarik tapi energi ketika ia bertingkah “gila” juga sama menariknya. Soo-Nam bukan tipe karakter yang mudah untuk dieksekusi, ia kombinasi hitam dan putih yang membuat penonton ragu ia ada di posisi mana, dan itu ditampilkan dengan menawan oleh Lee Jeong-hyun, tampil serius, sexy, dan sassy dengan kualitas appeal di masing-masing yang seimbang, punya sisi lembut dari seorang wanita yang sangat mencintai suaminya tapi juga memiliki sisi psychotic yang berbahaya. Supporting cast juga memberikan kontribusi yang baik sesuai peran mereka masing-masing. 


Overall, Alice In Earnestland (Sungsilhan Naraui Aellisu) adalah film yang memuaskan. Memadukan pertanyaan tentang cinta ke dalam situasi “hidup itu sulit” dan “hidup penuh ketidakdilan”, Alice In Earnestland berhasil menyajikan sebuah kisah yang menyenangkan dan mengejutkan, perpaduan drama dan komedi dengan topik biasa yang diolah menjadi presentasi dengan sedikit rasa kartun yang menghasilkan impact akhir yang tidak biasa. Sebuah debut dengan eksekusi yang percaya diri dari Ahn Gook-jin disokong dengan kinerja akting yang menawan dari Lee Jeong-hyun, Alice In Earnestland merupakan sebuah black comedy yang quirky, odd, heartwarming, brutal, charming and amusing. Alice In Earnestland memiliki banyak cabang di dalam narasi sehingga tampak seperti ingin berbicara tentang banyak hal yang sedikit di antaranya berakhir di titik maksimal, namun tidak sebagai kisah tentang kasih sayang dan cinta. It’s a crazy love story. Segmented.




                     








1 comment :