29 July 2016

Review: Nerve (2016)


"Welcome to Nerve, a game like truth or dare, minus the truth."

Apa yang sedang “HOT” saat ini? Banyak, salah satunya adalah Pokémon Go, permainan AR dengan sistem location-based di mana para pemainnya harus bergerak untuk menemukan dan kemudian menangkap pokemon. Nerve tidak mungkin dapat menemukan timing yang lebih baik dan lebih tepat dibandingkan jadwal rilisnya yang berada di saat Pokémon Go sedang sangat populer. Menggabungkan konsep ‘Pokémon Go’ bersama sentuhan ‘Periscope’ dan juga beberapa isu sosial dalam bentuk sebuah petualangan action techno-thriller yang bergerak cepat, it’s a “short-handed” cyber thriller.

Venus "Vee" Delmonico (Emma Roberts) merupakan seorang wanita pemalu dan “penakut” sehingga jadi terasa aneh bagi teman-temannya ketika ia memilih bergabung dengan online reality video game ‘Nerve’ sebagai pemain ketimbang menjadi penonton. Nerve merupakan fenomena online di mana pemain melakukan apa yang diminta penonton dan jika berhasil maka mendapat hadiah berupa uang dari penonton. Tantangan pertama Vee adalah untuk mencium orang asing bernama Ian (Dave Franco), player level advanced di Nerve, dan dari sana Vee merasakan excitement dan membentuk partnership dengan Ian. Bersama mereka mencoba menyelesaikan berbagai tantangan menggiurkan yang celakanya membawa mereka masuk ke dalam situasi berbahaya.


Sudah banyak film yang mencoba berbicara tentang sisi buruk dari perkembangan teknologi yang juga menghasilkan banyak ancaman berbahaya, tapi ide dan konsep yang Nerve bawa bagi saya merupakan yang paling “segar” sejauh ini. Fyi, ‘Nerve’ di set sebagai sebuah tantangan namun di sisi lain memiliki taruhan yang sama berbahayanya seperti tantangan yang harus dihadapi player. Kondisi tersebut berhasil menciptakan tensi yang begitu memikat di bagian awal cerita, berbagai ide dan isu terkait ugliness dari internet dan online society berhasil ditampilkan dengan baik oleh duet sutradara Henry Joost dan Ariel Schulman serta script yang ditulis oleh Jessica Sharzer yang mengambil dasar dari novel karya Jeanne Ryan. Permainannya quite fun tapi di sisi lain kamu dapat melihat dan merasakan betapa “kejam” cyberworld kita sekarang ini, media di mana setiap orang mudah untuk “being awful” satu sama lain.


Sayangnya konsep yang keren itu tidak berakhir di posisi akhir yang seharusnya ‘Nerve’ tempati. Seharusnya kondisi di mana pemain menyerahkan “privacy” mereka sebagai alat tukar untuk sebuah hiburan dapat dimanfaatkan lebih tinggi untuk membuat berbagai isu yang ‘Nerve’ bawa sejak awal lebih menonjok, sayangnya ini tidak mencoba menjadi sedikit lebih detail. Memang hasilnya kita mendapat petualangan gerak cepat mengitari kota New York, Joost dan Schulman cukup oke memanfaatkan dunia internet untuk bukan sekedar menciptakan rasa berbahaya saja tapi juga membuat penonton seolah merasa berada di samping karakter yang mencoba menaklukkan bahaya. ‘Feel” itu memang tidak pernah mati sampai akhir tapi daya tarik cerita perlahan menurun. ‘Nerve’ perlahan kehilangan “keberaniannya” dan mulai bergeser dari awalnya action techno-thriller menjadi high school drama dengan sedikit rasa Disney.


Itu mengapa sejak awal kamu harus set ekspektasi kamu, sebaiknya jangan terlalu jauh berharap pada elemen "truth or dare” yang meskipun terus menguasai layar tapi pesonanya mulai terganggu oleh hubungan antara Vee dan Ian. Aksi mencuri, semi-nude, hingga berkendara dengan motor, kita mendapat berbagai near-death experience scenes yang intens tapi masalahnya rasa peduli pada karakter semakin lama semakin terasa biasa. Dampak screenplay yang repetitif memang dan eksekusi sutradara yang kurang mampu membuat irama cerita terus dinamis. Pada dasarnya it’s quite entertaining sampai akhir tapi kombinasi tone cerita kurang terasa menyenangkan, ketika bergerak cepat ini menghibur namun terasa kurang oke ketika speed sedikit dikendurkan. Hasilnya kualitas elemen di luar action dan thriller jadi lemah termasuk isu seperti cyberbullying yang film ini bawa sejak awal.


Nerve banyak mengingatkan saya pada The Purge, membawa berbagai isu menarik dalam social science fiction action horror namun ketika ia berakhir power dari isu tersebut terasa tanggung. Unsur melodrama ‘Nerve’ secara mengejutkan berhasil mencuri perhatian di babak kedua durasi, penonton jadi lebih tertarik pada pengkhianatan, persahabatan, hingga cinta, ketimbang permainan yang jadi jualan utama. Sebenarnya hal tersebut akan terasa oke seandainya karakter juga masih terasa "kuat" di babak kedua, namun meskipun Emma Roberts dan Dave Franco mampu menciptakan ikatan yang oke pada karakter mereka tapi basic dari karakter mereka tipis, Vee dan Ian sejak awal terasa seperti karikatur yang tugasnya sejak awal membawa kamu bergerak set tantangan menuju set tantangan lainnya. Seandainya pendekatan terhadap karakter mereka dapat lebih menarik ketimbang menjadi avatar belaka mungkin penonton dapat bertemu dengan sedikit emosi sehingga potensi dari berbagai isu di awal dapat berdiri tegap di bagian akhir.


Sederhananya ini akan sangat menghibur jika sejak awal kamu sama sekali tidak menaruh rasa tertarik pada bagaimana berbagai isu dan ide tentang bahaya internet dan online society diolah dan diselesaikan oleh Nerve. Sayangnya saya menaruh sedikit rasa tertarik pada bagian tersebut, bertumpu pada thrills yang memikat di awal perlahan bergabung dengan elemen melodrama. Stupid dan konyol bukan masalah mengganggu namun tidak mampunya ‘Nerve’ mencapai potensi tinggi yang ia miliki ketika sampai di destinasi akhir terasa sedikit mengecewakan walaupun petualangan yang ia berikan cukup menyenangkan. Mencoba menyisipkan kritik halus terhadap salah satu sisi dari budaya terkini dengan menggunakan inhumanity, this action techno-thriller is quite good enough to observed but never becomes a fully absorbing journey. Sayang sekali. Segmented. Btw, apakah sudah ada yang menemukan Pikachu













2 comments :

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Memang isu tentang bahaya internet nya gak di galih lebih dalam tapi bagi saya film ini tetap menarik tuk ditonton..Perpindahan nada yg semula bikin ketawa berubah menjadi tegang penahan nafas sukses buat saya terpaku sampai film nya berakhir..Hebat :)

    ReplyDelete