06 March 2016

Review: London Has Fallen (2016)


"Your president dies tonight."

Berhasil meraih pendapatan $161 juta dengan menggunakan budget sebesar $70 juta tentu saja bukan sebuah pencapaian yang buruk bagi Olympus Has Fallen terlebih untuk ukuran sebuah action thriller dengan formula generik. Namun menariknya para produser seperti punya pandangan berbeda terhadap sekuel dengan hanya memberikan modal $60 juta. Mencoba mengulang kembali kesuksesan finansial dengan modal kecil atau justru rasa percaya diri akan peluang meraih sukses yang kini telah kecil? Tidak hanya punya power kuat untuk membuat kamu bertanya “hanya itu?” ketika telah selesai, London Has Fallen juga memiliki peluang kuat untuk menjadi film terbaik tahun ini versi Donald Trump.  

Secret Service Agent Mike Banning (Gerard Butler) berpikir untuk pensiun apalagi istrinya Leah Banning (Radha Mitchell) kini sedang hamil. Rencana itu gagal ketika Perdana Menteri Inggris tiba-tiba meninggal dunia, dan 40 pemimpin negara diundang ke acara pemakaman di London, termasuk Presiden USA, Benjamin Asher (Aaron Eckhart). Persiapan yang seadanya kembali membawa masalah bagi Banning ketika kelompok teroris yang dipimpin oleh Aamir Barkawi (Alon Aboutboul) melancarkan serangan dengan target para pejabat penting tadi. Niat mereka bukan sekedar balas dendam atas serangan pesawat tak berawak USA dua tahun silam, namun untuk membunuh Benjamin Asher dan menyiarkannya ke seluruh dunia.  



Jika saya harus memilih dua kata yang saya rasa paling tepat untuk mewakili London Has Fallen maka kata yang pertama adalah adalah pemalas. Ya, ini adalah sebuah action thriller yang pemalas, bukannya memanfaatkan “kelebihan” yang sudah diciptakan oleh pendahulunya dan membawa “bla bla Has Fallen” ini naik satu tingkat yang dilakukan oleh Babak Najafi dan tim penulis ternyata hanya copy paste. Tidak masalah jika pencapaian mereka ada di level yang sama dengan Olympus Has Fallen namun yang menjadi masalah adalah mereka tidak ada di level yang sama. London Has Fallen lebih jelek dari kakaknya itu, tanpa malu-malu atau bahasa halusnya penuh rasa percaya diri meminjam formula klasik sang kakak secara penuh, lalu ganti White House dengan London.



Salah satu hal menjengkelkan dari London Has Fallen adalah sang sutradara seperti menolak menjadikan cerita sebagai bagian penting dari film. Kamu seolah cukup tahu sinopsis yang sesungguhnya mengandung plot dengan potensi untuk menjadi kompleks, lalu setelah itu mari masuk kedalam sebuah film action dengan formula Michael Bay-esque dengan kualitas visual yang lemah. Fungsi utama mengumpulkan para pemimpin dan usaha pemberontakan tentu untuk menciptakan kesan mencekam penuh situasi berbahaya yang mematikan di dalam cerita, tapi yang terjadi justru sebuah film yang tidak tertarik membangun ketegangan, dasar masalah sudah terbentuk dan mari manfaatkan serta eksploitasi arena yang lebih luas dengan berlari bersama sekencang-kencangnya dengan thrill satu tingkat lebih rendah.



Lalu apa kata yang kedua? Berawal dari thrill, yaitu tasteless. Ya, sebagai sebuah film dengan kisah utama tentang upaya penyelamatan tokoh penting bersama berbagai action penuh ledakan sana-sini London Has Fallen terasa hambar. Alasan London Has Fallen terasa tasteless adalah selain usaha untuk terus menerus tampak bombastis yang monoton itu ia juga tidak punya alasan kuat mengapa karakter di dalam cerita begitu penting untuk tetap hidup. Nah, itu bahaya. Penonton terus dibuat menunggu kapan subteks politik di cerita akan mengambil panggung utama dan menjadi fokus terpenting cerita, tapi sayangnya hal itu tidak kunjung tiba. Sebaliknya, London Has Fallen lebih sering menyajikan momen konyol dengan dialog dan ekspresi karakter yang terasa kikuk serta dipaksa sehingga kerap lebih condong terasa lucu ketimbang sedang terancam.



Benar, jalur lurus pada niat untuk jadi action thriller yang hyperviolence ternyata juga dialami oleh karakter, ekspresi mereka lurus terutama Gerard Butler yang masih gagal untuk tampak seperti John McClane. Satu hal lagi yang tampil lurus, dengan premis cerita berisikan berbagai pemimpin dunia berada di bawah ancaman terorisme London Has Fallen ternyata hanya memilih untuk menampilkan kucing mengejar tikus. Olympus Has Fallen sebenarnya seperti itu juga tapi ruang bermain yang sempit hanya di White House berhasil dimanfaatkan Antoine Fuqua untuk menempatkan berbagai percikan kecil. Babak Najafi tidak berhasil melakukan itu, penggunaan lokasi tunggal gagal dimanfaatkan untuk menciptakan “feel” cerita.



Film pertama, Olympus Has Fallen, berhasil memanfaatkan White House sebagai gimmick untuk memberikan sebuah action thriller yang tidak buruk, ruang sempit menghasilkan thrill yang cukup oke. London Has Fallen ada di sisi yang berbeda dari kakaknya itu, dengan ruang yang luas serta thrill yang miskin ia berusaha menyajikan sebuah action thriller yang bombastis namun berakhir “lesu” dan tasteless. Tidak memilih untuk memanfaatkan setting yang lebih luas dan lebih besar Babak Najafi membawa London Has Fallen tampil sebagai sebuah action dipenuhi aksi kejar bersama kekerasan generik dengan feel atau taste terkait bahaya dan ancaman yang  tidak mematikan. Merupakan sebuah kesalahan fatal jika sebuah action thriller gagal mencengkeram penontonnya. Segmented. 













Thanks to: rory pinem

2 comments :

  1. Sepakat.
    Apalagi dari awal sudah ada kesalahan fatal. bendera Indonesia muncul di scene, tapi disebutnya filipina. sepanjang film emosi penonton dibawa datar, sehinga bagiku tak ada momen spesial sepanjang film yang mampu membuat film ini layak untuk ditonton berulang-ulang.

    ReplyDelete
  2. baru nonton film London has fallen dan menurut saya lebih seru yg pertama Olympus has fallen..
    Dikarenakan adegan action nya lebih banyak ,lebih seru dan lebih tegang yg pertama dan juga disni adegan bodoh nya terlalu banyak dibandingkan seri pertama..

    ReplyDelete