12 August 2015

Review: The Gift (2015)


"You think you've done with the past, but the past did not done with you. "

Tentu saja ada alasan kenapa saat persidangan pengacara selalu mencoba menyerang saksi kubu lawan dengan berbagai pertanyaan secara bertubi-tubi, karena ketika berada di medan perang salah satu cara mudah untuk menang adalah dengan mengganggu bahkan merusak kestabilan emosi sang lawan. Emosi itu sangat sensitif, kamu bisa menjadikan sosok idaman kamu jatuh cinta padamu dengan mengaduk-aduk emosinya lewat persembahan indah, tapi disisi lain kamu juga dapat membuat tetanggamu cemas hingga takut dengan menebar terror psikologis seperti misalnya memberikan hadiah misterius secara periodik. The Gift menggambarkan hal tersebut, sebuah psychological thriller efektif yang “mengganggu”.

Pasangan muda Simon Callen (Jason Bateman) dan Robyn Callen (Rebecca Hall) sepertinya harus sedikit mengurungkan euphoria menikmati kediaman baru mereka yang indah setelah pindah dari Chicago menuju kampung halaman Simon, LA. Semua berawal ketika Simon didekati oleh pria asing dengan sikap sopan bernama Gordo (Joel Edgerton) yang mengatakan mengenal Simon karena pernah berada di sekolah yang sama, dan karena rasa simpati dari Robyn hubungan diantara mereka dengan cepat terbangun. Tapi rasa canggung diantara mereka mengundang rasa curiga dari Simon dan Robyn terlebih seusai sebuah makan malam mereka secara berkala memperoleh “hadiah” dari Gordo yang ia letakkan di depan pintu rumah mereka. 



The Gift adalah ketika segala hal klasik dari sebuah film psychological thriller tampil bersama dengan manis. Iya, itu alasan mengapa The Gift berhasil terasa menyenangkan karena dibalik kesan standard dan bermain aman yang ia gunakan di debutnya sebagai sutradara ini, Joel Edgerton yang disini juga menjadi produser, penulis, serta aktor justru mampu memberikan penonton apa yang mereka harapkan dan cari ketika datang menyaksikan sebuah film psychological thriller: terus di buat terpaku dan tegang hingga akhir. Dasar utama dari film ini sebenarnya normal, apakah kamu pernah merasa tidak nyaman dengan seorang asing yang tiba-tiba datang dan mencoba membangun hubungan lebih jauh denganmu, tapi dari pertanyaan sederhana itu justru hadir petualangan tenang yang akan membuat kamu merasa cemas, tegang, hingga takut.



The Gift bukan sebuah film horror, tapi setelah selesai menyaksikannya kamu akan ditinggalkan dengan perasaan horror. The Gift memang punya beberapa efek kejut yang terasa murahan meskipun efektif tapi sejak awal ia berhasil memposisikan penilaian kamu bahwa ini bukan tentang aksi kejut disana-sini, ini adalah sebuah thriller yang bergerak lambat dan hati-hati yang bermaksud menangkap penontonnya dengan rasa curiga, mengurung mereka dengan rasa tegang, lalu meninggalkan mereka dengan rasa takut. Perlu waktu bagi penonton untuk mengidentifikasi apa yang berkembang diantara tiga karakter utama itu, namun misteri yang tidak di dorong dengan tergesa-gesa itu justru mampu memberikan kita salah satu kunci lain dari sebuah psychological thriller: permainan atmosfir. The Gift berhasil menjadi dingin, dan ketika secara bertahap semakin dingin apa yang terjadi juga semakin mencekam.



Walaupun begitu The Gift bukannya tidak punya kelemahan, ia punya meskipun saya rasa tidak punya efek yang berarti, sebut saja seperti cara bergerak yang akan membuat frustasi penonton dengan rasa tidak nyaman, begitu juga dengan “setting” yang di buat oleh Gordo bisa saja terasa palsu bagi beberapa penonton, terasa di sengaja. The Gift memang tampak simple tapi ada sesuatu yang lebih dalam dibalik itu, bukan sekedar sebuah penyelesaian dari kisah masa lalu yang belum tuntas. Saya merasa ini seperti sebuah pesan kepada penonton tentang bahaya dari bullying, menggunakan Gordo, Simon, dan Robyn untuk mengarahkan penilaian kita pada aksi kekerasan yang akan meninggalkan luka yang begitu sulit untuk di sembuhkan.



Kekuatan utama lain dari The Gift terletak pada kesuksesan Joel Edgerton membuat karakter dan konflik terasa menarik. Kondisi di ikuti oleh penguntit seperti itu tentu banyak yang pernah mengalami, dan itu semakin mempermudah jalan baginya karena kamu akan dengan mudah mengerti apa yang karakter rasakan. Keberhasilan tadi juga tidak lepas dari kontribusi Jason Bateman dan Rebecca Hall yang disini tampil sebagai korban. Kondisi dimana Gordo lebih berperan sebagai sosok misterius menjadikan Joel Edgerton tidak begitu dominan, tapi kombinasi Bateman dan Hall sukses memaku dan membawa penonton terjebak lebih dalam bersama mereka. Saya suka cara Edgerton membangun dua karakter tersebut, tidak terburu-buru sehingga proses pengungkapan yang disertai rasa curiga punya momentum yang oke dalam membangun rasa paranoia penonton.



The Gift mengingatkan saya pada Side Effects karya Steven Soderbergh, misterius, tampak berkelok-kelok, tapi dengan penanganan yang gesit atau cekatan serta hati-hati ia mampu terus “mengganggu” penonton dengan rasa tidak nyaman hingga akhir, dengan resiko tentu saja mungkin tidak akan mampu menjerat semua penonton kedalam permainannya. Setting mood yang oke, karakter yang mampu mengundang rasa simpati, ketegangan dan kejutan yang dibangun perlahan dengan grafik yang tumbuh positif, eksekusi yang hati-hati dan tidak tergesa-gesa, licin serta tajam, The Gift adalah sebuah thriller efektif yang “mengganggu”. Segmented. 











Thanks to: rory pinem

3 comments :

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Blog ini salah satu blog pedoman saya sebelum nonton film (terutama film drama/festival). Coba review film Me and Earl and the Dying Girl (2015) bang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya review MEDG sudah dibuat bulan juni, tapi karena saat itu ada “masalah” jadi postnya hilang. Rory - Laura juga sudah nonton dua bulan lalu, tapi mid-september masalah yang sama terulang sehingga tidak jadi di review. Jika memungkinkan akan kami coba buat kembali. :D

      Delete