10 August 2015

Review: Detective Conan: Sunflowers of Inferno [2015]


Ketika formula atau strategi yang kamu gunakan sekarang masih mampu bekerja dan memberikan hasil yang memuaskan, mengapa mencoba untuk melakukan perubahan? Konsep tadi mungkin menjadi andalan dari banyak film animasi dari Jepang, bahkan telah populer pada level tertinggi seperti Doraemon dan Studio Ghibli, mereka menggunakan formula klasik dalam hal struktur cerita tapi tetap mampu membuat penonton setia bersamanya hingga akhir dengan menggali salah satu keahlian mereka: memancarkan pesona dari karakter utamanya. Detective Conan punya pesona tersebut.

Di yakini telah hancur pada Perang Dunia II salah satu dari tujuh lukisan yang menjadi bagian sebuah seri bernama Sunflowers karya artis yang populer di Jepang, Van Gogh, tiba-tiba muncul pada sebuah acara pelelangan di Manhattan, New York. Jirokichi Suzuki (Kōsei Tomita) memenangkan acara lelang tersebut dan menyatakan akan mengumpulkan tujuh lukisan terkenal tadi didalam sebuah eksebisi besar. Celakanya tidak lama kemudian Kaitou Kid (Kappei Yamaguchi) menyatakan target terbarunya yang akan ia curi: seri Sunflower. 


Seri Conan sudah terbukti mampu menarik perhatian penggemarnya setiap kali ia hadir meskipun kerap tidak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru dari pendahulunya, hal tersebut dikarenakan Conan sendiri sudah punya dasar yang kuat untuk yang mampu menarik kita dan membuat kita terpaku sampai akhir. Detective Conan: Sunflowers of Inferno seperti itu, tidak ada sesuatu yang benar-benar istimewa di film terbarunya ini, bahkan jika harus dibandingkan ia juga tidak lebih baik dari film sebelumnya, Detective Conan: Dimensional Sniper, menjadi sajian yang tapi dengan segala formula klasik yang ia gunakan kembali itu Detective Conan: Dimensional Sniper berhasil menghibur.




Yang kamu temukan di bagian awal adalah apa yang selama ini film-film Conan berhasil lakukan, membuat penonton ingin tahu dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kita akan di buat bertanya-tanya mengapa Kaitou Kid yang selama ini selalu tertarik pada benda-benda seperti permata justru tiba-tiba mencuri sebuah lukisan. Pertanyaan tadi mampu membuat saya mencoba menebak hingga akhir, alur penyelidikan yang sering terasa seru disertai dengan beberapa tikungan yang sanggup menjaga misteri tetap menarik sembari mencoba mengurai benang merah cerita. Ya, itu selalu menjadi senjata utama dari film-film Conan, struktur cerita yang oke untuk mengalihkan atensi penonton dari teknik presentasi cerita yang akan terasa biasa bagi mereka yang telah akrab dengan petualangannya.




Tapi dengan kelebihan tadi bukan berarti Detective Conan: Sunflowers of Inferno lepas dari nilai minus. Alasan utama mengapa saya menyebutkan ini tidak lebih baik dari Dimensional Sniper adalah tujuan utama dari tokoh antagonis utama sendiri tidak digambarkan dengan kuat dengan dampak yang cukup signifikan pada hasil akhir. Begitupula dengan alur cerita, berbagai misteri itu dikemas dengan baik tapi jalan cerita terasa sedikit monoton disini, semakin dekat dengan garis finish cerita terasa semakin lelah. Begitupula dengan cara ia mempermainkan ide liar penonton pada cerita, terlalu nyaman sehingga thrill pada cerita tidak maksimal, meskipun sudah dibantu dengan adegan action gerak cepat yang kembali tampil dengan level atau kualitas yang baik.




Memang pada akhirnya ia akan terasa kurang maksimal bagi beberapa penonton tapi maksud atau tujuan dari Detective Conan: Sunflowers of Inferno (Meitantei Konan: Gōka no Himawari) sebenarnya sangat baik, membawa kamu menyaksikan petualangan dari detektif favorit kamu dengan tampilan yang kamu harapkan. Ya, ini Detective Conan: Sunflowers of Inferno berhasil memberikan Conan yang ingin banyak penonton saksikan, lapisan cerita penuh misteri yang kemudian di campur bersama adegan action gerak cepat andalannya itu, walaupun sayangnya bagi beberapa penonton ini juga punya potensi untuk tidak terasa begitu istimewa.







1 comment :