30 April 2015

Review: The Riot Club (Posh) (2015)


"I'm sick to fucking death.. of poor people!"

Kamu pasti pernah menemukan kalimat dengan inti seperti berikut ini, “kita tidak hanya belajar menjadi sosok yang lebih baik dari hal-hal positif yang kita temui, karena hal-hal negatif juga punya power yang sama besar untuk membawa kita menjadi individu yang lebih baik lagi.” Secara garis besar hal tersebut yang coba di sajikan oleh The Riot Club (Posh) kepada penontonnya, membuat kamu semakin mencintai kehidupan dengan menyaksikan para pria yang mencintai kehidupan mereka dengan cara yang “rotten”.

Meskipun memiliki tradisi keluarga yang baik di Oxford University karena saudaranya yang merupakan seorang mahasiswa legendaris, mahasiswa baru bernama Miles (Max Irons) justru memilih untuk tidak menjadikan hal itu membatasi kehidupannya di kampus. Bersama temannya yang bernama Alistair (Sam Claflin), Miles justru memilih untuk bergabung dengan The Riot Club, sebuah organisasi laki-laki yang sedang mencari anggota baru. Namun ujian datang menghampiri Miles karena kegiatan hedonistic penuh pesta pora yang dilakukan The Riot Club justru membawa kehidupannya menjadi lebih buruk. 



Menyaksikan The Riot Club seperti mengamati para “penjahat” yang akan membuat kamu merasa jengkel dengan apa yang mereka lakukan tapi disisi lain juga mampu membuat kamu tidak ingin meninggalkan mereka. Itu yang menjadikan The Riot Club dapat mempertahankan atensi penontonnya hingga akhir, karena dibalik aksi filthy, spoilt, dan rotten yang mereka sajikan kita juga menemukan pesona dari karakter-karakter di dalam cerita. Terasa aneh memang karena selalu tidak mudah menyaksikan film dengan karakter utama yang memilih menjadi loveable dengan hal-hal negatif, meminta penonton berjalan bersama dengan mereka untuk melakukan aksi yang akan membuat kamu merasa gusar karena sepintas seolah merayakan berbagai tindakan buruk.



The Riot Club memang terasa kasar, tapi disamping membuat penonton gusar ia memiliki isu utama yang oleh Lone Scherfig cukup berhasil diolah untuk terus menarik. Hal yang paling mengejutkan disini adalah kita akan menjumpai emosi yang terbilang oke dari karakter, kehancuran dari pribadi yang rusak. The Riot Club juga punya intensitas yang oke meskipun tidak bisa dikatakan istimewa, tumbuh secara stabil dalam gerak mondar-mandir yang sukses memanipulasi penontonnya. Iya, manipulasi, itu pula yang mungkin akan memecah film ini menjadi dua bagian, usaha untuk memberikan kamu kisah destruktif dengan bumbu terkait moralitas disampingnya yang mampu berdiri kokoh di pusat bersama dua karakter utama, tapi tidak sedikit pula mereka tenggelam didalam kesan hiperbola yang membuat gusar.



Love and hate memang, dari sinematografi terasa mumpuni, begitupula dengan kualitas akting yang meskipun tidak luar biasa tapi sangat efektif terutama dua karakter utamanya, tapi disisi lain ada hal yang akhirnya hanya membuat The Riot Club (Posh) sebatas menjadi film yang okay. Hal yang paling menganggu selain konsistensinya bermain tarik dan ulur bersama penonton adalah hal terpenting terletak di bagian akhir tapi setelah kita sampai disana jalan menuju titik akhir tadi jadi terasa kurang bermakna. Itu yang menjadikan kesan yang ditinggalkan oleh The Riot Club terasa kurang kuat, ia punya pesona, ia punya isu yang menarik, ia juga tampil berani dengan menyajikan penonton hal-hal yang membuat mereka suka dan gusar secara bergantian, tapi ia tidak meninggalkan kesan yang istimewa dibalik eksplorasi yang ia sajikan.








0 komentar :

Post a Comment