19 February 2015

Review: The Loft (2015)


"The right place to do wrong."

Salah satu kondisi menjengkelkan dalam movie experience adalah ketika kamu dibuat oleh film tersebut untuk berada dalam kondisi menunggu sesuatu yang sesungguhnya tidak kamu nantikan dengan begitu antusias. Ya, saya sangat benci dengan film yang mencoba tampil pintar dengan cara yang tidak pintar, menjadikan penontonnya terombang-ambing bersama materi yang perlahan tidak lagi menarik untuk di ikuti. Penyakit yang fatal itu dimiliki oleh The Loft. What a dicky thriller.

Seorang arsitek bernama Vincent (Karl Urban) melemparkan sebuah ide kepada empat sahabatnya, Lukas (Wentworth Miller), Chris (James Marsden), Marty (Eric Stonestreet), dan Philip (Matthias Schoenaerts), untuk membagi sebuah apartemen sebagai tempat rahasia mereka. Disana mereka dapat melakukan segala sesuatu yang tidak dapat mereka lakukan di dunia luar tanpa batas, seperti contoh ketika masalah dengan istri dan keluarga mereka. Namun suatu ketika sebuah peristiwa mengejutkan menjadikan tempat yang seharusnya menjadi surga bagi lima pria itu berubah menjadi sebuah neraka, ketika seorang gadis terbaring tak bernyawa di atas tempat tidur. 



Saya bukan hanya tidak mengerti apa yang Erik Van Looy selaku sutradara ingin capai di sini, tapi juga Bart De Pauw dan Wesley Strick sebagai screenwriter. Tiga pria tadi seperti tidak pernah menjadikan narasi dan eksekusi sebagai sebuah kesatuan yang menarik di The Loft, dan semakin kacaunya adalah karena sejak awal mereka sudah tidak mencoba menjadikan ini sebagai film yang berdiri tunggal. Maksudnya adalah sejak awal The Loft terasa seperti thriller yang mencoba memadukan berbagai sisi menarik dari thriller dan film dengan tema serupa menjadi satu, ketimbang menaruh fokus pada materi yang ia miliki. Ada sedikit Hitchcock disini, lalu ada Fatal Attraction, tapi celakanya semakin jauh kamu berjalan bersamanya ini menjadi seperti Modern Family bersama lima orang lelaki.


Ya, ketimbang menjadi sebuah misteri dalam ruang sempit The Loft justru tampak seperti sebuah keluarga yang di penuhi rasa bingung yang disengaja. Iya, sengaja, banyak gimmick yang celakanya sangat mudah untuk kamu nilai sebagai sesuatu yang konyol, berputar-putar dalam permainan menebak siapa tersangka dibalik peristiwa tersebut yang sesungguhnya dapat diselesaikan dengan sangat mudah terlebih dengan keputusan mereka dalam melibatkan polisi kedalam cerita. Tapi pada akhirnya The Loft justru terasa mati segan hidup tak mau, sudah dibangun dengan buruk ia terus menerus menawarkan narasi berbelit-belit yang sejak awal sudah gagal menjadikan salah satu dari lima karakter untuk mencengkeram atensi penontonnya. Itu menjengkelkan, mengikuti narasi yang mencoba tampil layaknya lima detektif sedang berupaya memecahkan masalah tapi ditemani pesona dalam kualitas yang sangat rendah.



Cukup disayangkan memang hasil akhir yang film ini berikan mengingat para pemeran yang ia miliki sendiri terhitung punya kualitas akting yang tidak buruk, tapi materi yang diberikan menjadikan mereka sulit untuk meyakinkan penonton bahwa karakter mereka punya arti yang menarik bagi cerita. Red herring jadi masalah utama di sini, karakter seperti di set oleh Erik Van Looy untuk terus menjauh dari logika yang mampu membawa kamu mendekat menuju jawaban, lantas berputar-putar dalam pilihan bodoh yang ditemani dengan dialog hambar yang tidak jarang terasa konyol sehingga akan mampu membuat kamu tertawa atau setidaknya tersenyum geli. Tapi yang paling menjengkelkan dari film ini adalah cara ia bercerita yang terkesan menganggap penonton sebagai sosok yang bodoh, sosok yang tidak akan mengerti apa yang mereka saksikan tanpa diberikan penjelasan, sesuatu yang sangat murahan jika mengingat materi yang film ini miliki pada dasarnya tidak rumit dan sangat dangkal.



Merangkumnya dalam sebuah kalimat sederhana, The Loft adalah sebuah dicky thriller, sebuah thriller yang tidak tahu diri karena dengan materi yang tidak berkualitas ia terus menerus mencoba menciptakan situasi dimana ia tampak sebagai sosok yang berkualitas dan disisi lain penonton sebagai sosok yang bodoh, menampilkan misteri miskin pesona yang perlahan terasa konyol. Ibarat mentalist yang masih amatir, film ini mencoba menghipnotis penontonnya tapi justru ia sendiri yang terhipnotis sehingga terombang-ambing di alam bawah sadar.









3 comments :

  1. Habis nonton ini..penilaian saya gak jelek2 amat kok. Plotnya sekilas hampir mirip dengan novel detektif Agatha Christie yang berjudul Pembunuhan di Orient Express. Hanya dengan motif dan ending yg berbeda. Flashback dan segala gimnick memang diperlukan dalam film semacam ini. Tujuannya ya apalagi kalo bukan untuk membingungkan penonton. Membuat penonton menebak2 siapa yg motifnya paling kuat diantara semua motif yg ada. btw, tebakan saya tepat tuh..dari awal kalo Luke lah otak semua ini. Alasannya karena dia yang paling 'bersih'. Sementara yang lainnya digambarkan secara jelek dari awal. Seperti yg sering saya baca di novel detektif. Curigalah kepada orang yang paling tidak mencurigakan. Overall saya kasih nilai 7/10

    ReplyDelete
  2. You should watch the original one first before watching this remake.

    ReplyDelete
  3. Hahaha, kalian harus nonton loft original nya yang dari belgium deh! Disitu keren banget, dari segi tokoh, alur cerita, lokasi tempat! Difilm loft yang itu, emg dapet banget suasana mencekam dan karakter para tokoh yang passs. Awalnya gue ga sengaja nonton versi belgium, baru gue nonton yang versi remake. Dan ngeliat yg versi remake, jelek bgt sumpah. Hahaha kayak aneh gitu yaa. Bagus yang versi belgium so recommended!!

    ReplyDelete